​Vulgarisasi Keributan di Pura 

BELAKANGAN ini, jagat maya Bali kembali digemparkan oleh beredarnya video perselisihan antar warga di sebuah pura. Rekaman itu memperlihatkan keributan di tempat suci yang kemudian menyebar luas di berbagai platform media sosial.

Fenomena ini menimbulkan keprihatinan mendalam, bukan hanya karena mencederai kesucian pura sebagai tempat pemujaan, tetapi juga karena penyebarannya dilakukan secara vulgar tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kesopanan dan etika bermedia.

Pura dan Sakralitas yang ternodai dalam ajaran Hindu di Bali, pura merupakan simbol kesucian dan tempat bersthananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya.

Pura bukan sekadar bangunan fisik, tetapi juga ruang spiritual yang dijaga kesakralannya melalui tatanan adat, tata krama, dan rasa bhakti.

Ketika terjadi keributan di dalam areal pura,  apalagi disebarluaskan di dunia maya, maka yang ternodai bukan hanya nama pihak yang berselisih, tetapi juga martabat adat, kehormatan desa, dan kesucian tempat suci itu sendiri.

Vulgarisasi konflik di dunia maya di era media sosial, siapa pun bisa menjadi “wartawan dadakan”. Kecepatan merekam dan mengunggah sering kali mengalahkan kesadaran etika. Banyak video konflik adat atau pertengkaran di tempat suci tersebar tanpa sensor, menampilkan wajah, kata-kata kasar, bahkan tindakan yang seharusnya tidak dipertontonkan.

Penyebaran video keributan di tempat suci secara vulgar dapat menimbulkan aib sosial yang sulit dihapus. Lebih jauh lagi, rekaman yang telah beredar di dunia maya tidak mudah dihapus. Jejak digital tersebut bisa muncul kembali, bahkan bertahun-tahun kemudian, sehingga memperpanjang stigma negatif terhadap pihak-pihak yang berselisih.

Hal ini bukan hanya melukai harga diri seseorang, tetapi juga menimbulkan beban psikologis dan sosial, terutama bagi generasi muda atau keluarga yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa tersebut.

Pura dan lembaga adat di Bali selama ini menjadi simbol kehormatan, persatuan, dan spiritualitas masyarakat. Namun, ketika keributan yang terjadi di lingkungan pura tersebar secara vulgar di media sosial, otoritas moral dan wibawa lembaga adat ikut tercoreng.

Masyarakat luar, yang tidak memahami konteks permasalahan, bisa saja menilai bahwa lembaga adat tidak mampu menjaga keharmonisan internalnya. Lebih berbahaya lagi, penyebaran video tanpa kendali dapat menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap tokoh adat dan pemimpin spiritual.

Padahal, mereka adalah pilar yang menjaga tatanan sosial dan nilai kesucian budaya Bali. Ketika wibawa lembaga ini merosot di mata masyarakat, maka legitimasi moral dan kekuatan sosialnya pun ikut melemah, yang pada akhirnya dapat mengganggu keharmonisan komunitas adat secara keseluruhan.

Komentar-komentar warganet sering kali memperbesar konflik, salah satu dampak paling nyata dari penyebaran video keributan di media sosial adalah munculnya gelombang komentar warganet yang tidak terkendali.

Banyak pengguna media sosial dengan mudah memberikan opini, sindiran, bahkan hujatan tanpa memahami duduk persoalan sebenarnya. Fenomena ini disebut trial by social media (penghukuman oleh publik dunia maya tanpa proses klarifikasi dan kebenaran fakta).

Alhasil, permasalahan kecil yang seharusnya dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah adat malah melebar menjadi konflik sosial yang lebih besar. Komentar provokatif juga dapat memecah belah solidaritas antarwarga, memperkuat sentimen kelompok, dan menciptakan suasana panas di dunia nyata.

Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi sarana komunikasi dan informasi malah berubah menjadi arena konflik digital yang memicu permusuhan dan perpecahan sosial. *Oleh : Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum. (Akademisi Universitas Dwijendra)