Pertanian Organik Masih Angan-Angan, Bahan Pupuk Dibakar karena Tidak Paham Pengomposan

(Baliekbis.com), Implementasi pertanian organik secara menyeluruh di Bali masih angan-angan, karena penggunaan pupuk anorganik masih massif.

Di sisi lain bahan baku pupuk (organik) berupa jerami padi masih sering dibakar. Memerlukan waktu panjang untuk mewujudkan pertanian organik, apalagi jika tidak terdapat keseriusan dalam mewujudkannya. Belum lagi kondisi tanah yang kandungan bahan organiknya sudah sangat rendah. Hal ini terjadi karena masih banyaknya petani yang membuang bahan baku pupuk.

Sebagai sebuah contoh dalam penelitian di Kabupaten Klungkung beberapa waktu lalu, sekitar 30,34% jerami padi yang dihasilkan dibakar dengan alasan untuk mempercepat pengolahan lahan dan membahasmi hama.

Ada pula petani yang membakar jerami karena berdasarkan pengetahuan yang didapatkan bahwa abu pembakaran jerami padi dapat bermanfaat bagi kesuburan tanah. Kendati harus diakui pembakaran jerami padi merupakan salah satu awal penerapan pertanian organik yang berasal dari pengalaman petani.

Padahal pembakaran jerami sangat kurang efektif karena dapat merusak struktur tanah dan mengurangi aktivitas mikrobia tanah.

Jerami padi yang dibakar dapat kehilangan N (hingga 80%), P (25%), K (21%) dan S (4-60%) serta kehilangan bahan organik tanah.

Beberapa petani juga percaya bahwa pembakaran jerami padi terbuka dapat menghilangkan gulma, mengendalikan penyakit, dan melepaskan nutrisi untuk tanaman berikutnya. Pembakaran jerami juga memudahkan membajak lahan dan meratakan tanah yang menghemat waktu pengelolaan lahan untuk musim tanam berikutnya.

Maka disinilah perlu pendampingan kepada petani agar mengolah dan memanfaatkan jerami sebagai kompos. Pembakaran jerami artinya sama membuang bahan baku pupuk, Karena hamper 70-80 persen pupuk yang diserap tanaman padi berada dalam jerami padi. Kebiasaan petani membakar jerami padi juga sangat berkaitan dengan jenis tanaman palawija yang ditanam pasca panen padi.

Petani cenderung membakar jerami padi jika menanam palawija seperti jagung, kacang tanah atau menanam padi kembali. Berdasarkan hasil wawancara dan survei terhadap petani terungkap bahwa tidak ada petani yang melakukan pengomposan jerami padi.

Mayoritas (97,75%) petani mengakui tidak melakukan pengomposan jerami padi karena tidak tahu cara atau metode pengomposan jerami padi dan hanya 2,25% yang mengaku sedikit tahu cara pengomposan jerami padi.

Petani tidak melakukan pengomposan karena tidak pernah m,endapatkan cara mengomposkan jerami dari petugas PPL. Ini sejalan dengan hasil survey terhadap 12 orang petugas penyuluh lapangan (PPL) di Kabupaten Klungkung menunjukkan hasil bahwa 100% tidak pernah melakukan sosialisasi pengomposan jerami padi.

Tercatat 58.33% PPL beberapa kali melakukan sosialisasi pengomposan dan sebanyak 16.67% satu kali melakukan sosialisasi pengomposan, tetapi melakukan sosialisasi pengomposan dengan bahan kotoran sapi. Sementara 25% mengakui sama sekali tidak pernah melakukan sosialisasi pengomposan. Penyuluh lapangan pada dasarnya memegang peran utama dalam upaya mempopulerkan teknologi pengomposan di kalangan petani.

Secara umum, petani memiliki tingkat pengetahuan yang rendah terhadap manfaat jerami padi. Petani juga kurang mendapatkan informasi tentang perkembangan penggunaan jerami padi yang dapat memberi manfaat secara sosial dan ekonomi bagi petani. Jerami padi memiliki potensi ekonomi yang sangat besar bagi petani, tetapi akibat kurangnya kesadaran untuk mengembangkan alternatif pemanfaatan jerami padi telah menyebabkan turunnya manfaat ekonomi yang didapatkan.

Kondisi inilah yang menyebabkan sulitnya mewujudkan pertanian organik secara menyeluruh di Bali. Belum lagi saat petani menggunakan pupuk organik secara penuh maka produksi yang didapatkan akan turun drastic. Hal ini terjadi karena pupuk organik tidak dapat secara langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Pupuk organik yang ditambahkan perlu waktu untuk mengalami minderalisasi menjadi anorganik agar dapat dimanfaatkan langsung oleh tanaman.

Namun penggunaan pupuk organik akan memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah. Mikroba yang ada di tanam akan berkembang dengan keberadaan bahan organik.

Perlu waktu panjang agar mampu meningkatkan kesuburan tanah melalui penambahan bahan organik secara berulang-ulang. Peningkatan kesuburan juga sangat tergantung pada kuantitas dan kualitas bahan bahan organik yang ditambahkan.

Memerlukan waktu hingga 3 tahun untuk meningkatkan kondisi fisik, kimia dan biologi tanah saat. Kemudian menjadikan pertanian Bali menjadi pertanian organik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Secara teori dan hasil penelitian satu hektar lahan jika menggunakan pupuk organik memerlukan jumlah mencapai 8-10 ton/ha.

Sedangkan 1 hektar lahan menghasilkan 10-12 ton jerami padi. Dari jumlah tersebut jika diolah maka akan menghasilkan setengah atau sepertiga kompos. Tentu ini tidak nyambung, sehingga jalan keluarnya adalah mengkombinasikan pupuk organik dan anorganik. Penggunaannya dapat memulai dari 40 persen anorganik ditambahkan 60 persen organik. Kemudian hingga 80 persen organik dan 20 persen anorganik, sampai pada akhirnya bisa 100 persen organik.

Permasalahan berikutnya pada tahap pemasaran hasil produksi. Harga produk organik tidak jarang sama atau bahkan lebih tinggi dari anorganik. Kemudian konsumen cenderung mencari harga yang lebih murah. Apalagi secara kualitas tidak jauh berbeda. Padahal seharusnya kita berpikir bahwa penggunaan produk organik yang kadang lebih mahal merupakan bentuk investasi untuk melestarikan lingkungan.

Penggunaan produk pertanian organik juga menjadi semacam dukungan untuk terlibat dalam upaya mewujudkan pertanian berkelanjutan. (wm)

*I Nengah Muliarta
Dosen Prodi Agroteknologi
Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa