Ini Pernyataan Sikap Komunitas Masyarakat Sipil Bali Atas RKUHP

Kalau pun akan ditetapkan, tidak boleh ada aturan turunan atau yang terkait/dikaitkan yang dibuat dengan alasan pencegahan perzinaan sehingga semakin memasuki wilayah pribadi, termasuk wilayah pribadi wisatawan. Misalnya, aturan bahwa orang menginap di satu hotel harus menunjukkan surat nikah.

(Baliekbis.com), Komunitas Masyarakat Sipil Bali yang terdiri dari kalangan pariwisata, pekerja sosial serta aktivis penanggulangan HIV-AIDS membuat pernyataan sikap bersama atas RKUHP
yang akan segera dibahas di DPR RI,
dalam diskusi, Selasa (22/11) di Gedung PKBI Bali.

Komunitas Masyarakat Sipil Bali tersebut yakni
Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, Forum Peduli AIDS (FPA) Bali, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung, Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), Komunitas Jurnalis Peduli AIDS (KJPA), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali,
Yayasan Spirit Paramacita (YSP), Yayasan Kerti Praja (YKP), Ikatan Korban Napza (IKON) Bali, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Bali, Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Bali,
Yayasan Kasih Pelangi Dewata (Kapelata), Jaringan Indonesia Positif (JIP) Bali, Yayasan Gaya Dewata (YGD), Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) dan Pertiwi Bali.

Ketut Sukanata, SH dari Forum Peduli AIDS (FPA) Bali mengatakan RKUHP yang akan dibahas DPR setelah draftnya disiapkan oleh pemerintah ini sempat tertunda karena perpanjangan sosialisasinya kepada masyarakat. “Meski demikian, peluang untuk dilakukannya perubahan mestinya tetap dibuka sehingga masyarakat yang belum terakomodasi aspirasinya masih memiliki harapan pada RKUHP yang lebih baik,” jelas I Ketut Sukanata,SH.

Terkait hal tersebut, Komunitas Masyarakat Sipil di Bali memberikan catatan dan penekanan, yakni: Pertama, RKUHP mestinya menekankan perhatian pada masalah-masalah publik dimana terdapat potensi tindak pidana yang merugikan kepentingan publik. RKUHP tak selayaknya mengatur hubungan-hubungan antar pribadi yang berpotensi menimbulkan kriminalisasi. Hal ini khususnya terkait pada pasal 413 tentang Perzinaan dan pasal 414 tentang Kohabitasi (Hidup Bersama).

Ketut Sukanata, S.H.

Meskipun kemudian dinyatakan bahwa penerapan pasal pidana hanya bila ada pengaduan, dikhawatirkan kemudian terjadi aturan-aturan turunan dengan alasan untuk pencegahan Perzinaan atau Kohabitasi.

“Dalam konteks pariwisata, pasal tersebut berpotensi merugikan dunia pariwisata karena mengesankan Indonesia pada umumnya dan khususnya Bali sebagai daerah yang terlalu banyak mencampuri urusan pribadi. Selain itu, terdapat pula potensi pelanggaran kode etik pariwisata yang menjadi standar pariwisata secara global. Karena itu, kami pada dasarnya menolak pasal tersebut,” ungkap I Komang Sutama,SH, SE, MH dari Divisi Legal PHRI Bali.

Kalau pun akan ditetapkan, ia meminta penegasan, tidak boleh ada aturan turunan atau yang terkait/dikaitkan yang dibuat dengan alasan pencegahan perzinaan sehingga semakin memasuki wilayah pribadi, termasuk wilayah pribadi wisatawan. “Misalnya, aturan bahwa orang menginap di satu hotel harus menunjukkan surat nikah,” tegasnya.

Kedua, terkait dengan upaya penanggulangan HIV-AIDS, sampai saat ini penularan HIV-AIDS masih menjadi masalah bagi bangsa Indonesia dan menjadi program pemerintah mulai dari pencegahan hingga penghilangan stigma dan diskriminasi. Terkait hal itu Komunitas Masyarakat Sipil Bali menyampaikan catatan atas pasal 410 (sesuai update RKUHP terakhir per 9 November 2022) yang menyebut:

“Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak, dipidana dengan pidana penjara paling banyak kategori I”. Pasal ini berpotensi menjadi alasan pencelaan (stigma) pada alat pencegah kehamilan khususnya kondom yang seolah-olah tak bisa ditunjukkan khususnya kepada anak-anak, bahkan untuk kepentingan edukasi dan ilmu pengetahuan.

Di sisi lain, kondom pun merupakan alat untuk penanggulangan masalah kesehatan. Stigma pun dikhawatirkan kemudian tertuju para pegiat pencegahan HIV-AIDS khususnya kalangan pelajar dan anak muda melalui Kelompok Siswa Peduli AIDS Nasional (KSPAN).

“Karena itu perlu ditegaskan dalam penjelasan bahwa untuk kepentingan edukasi dan ilmu pengetahuan diberikan kewenangan kepada mereka yang memiliki kompetensi untuk menjelaskan penggunaan kondom untuk kepentingan kesehatan, khususnya pencegahan HIV-AIDS,” ujar Ketut Sukanata.

Selanjutnya tambah Sukanata, Pernyataan Bersama ini segera akan diserahkan kepada ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) dan diteruskan ke Kementerian Hukum dan HAM RI.

Sementara itu akademisi dan Kriminologi Universitas Udayana, Dr. Gde Made Swardhana, SH, MH mengatakan apa yang tertuang di pasal 410 tersebut sudah sangat jelas, termasuk pengecualian bila digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan edukasi atau ilmu pengetahuan.

“Jadi, untuk pasal ini saya rasa tidak perlu ada perdebatan atau usulan lagi, semua sudah lengkap tertuang di sana. Karena bahasa hukum dan persepsi orang itu bisa saja berbeda,” ujarnya. (bas)