Tolak Kenaikan Pajak Hingga 75 Persen, Pengelola Spa di Bali Ajukan Yudicial Review

(Baliekbis.com), Pengusaha Spa di Bali minta kenaikan pajak antara 40 hingga 75 persen yang diterapkan tahun ini agar dibatalkan karena dapat mengancam kelangsungan usaha mereka.

“Kami baru mulai setelah diterpa pandemi covid-19 hampir tiga tahun. Kalau dipaksakan akan membuat pengusaha spa gulung tikar karena akan sedikit yang datang memanfaatkan usaha yang bergerak di bidang kesehatan ini,” ujar perwakilan pelaku usaha Spa Debra Maria Rumpesat dalam jumpa pers, Jumat (12/1/2024) di Kuta.

Debra berharap pemerintah membatalkan pemberlakuan pajak yang sangat besar itu. Sebab spa bukan hiburan melainkan kesehatan. Jadi tidak bisa diterapkan pajak hiburan.

“Kok tega pajak sebesar itu dilakukan kepada kita yang baru bangkit dari pandemi. Bahkan banyak pengusaha yang masih ngontrak tempat dan harus melakukan perbaikan setelah tiga tahun terhenti karena covid. Kita masih merayap, mestinya pemerintah yang support kita,” ujarnya.

Inisiator Bali Spa Bersatu IGK Jayeng Saputra

Hal senada disampaikan Inisiator Bali Bersatu I Gusti Ketut Jayeng Saputra mengatakan kalau pajak ini diterapkan maka besar dampak buruknya bagi usaha spa di Bali. “Pemberitahuannya juga sangat mendadak, tiba-tiba. Ini melanggar hak asasi,” ungkapnya.

Ia mengaku heran spa yang merupakan usaha bidang kesehatan dimasukkan ke hiburan. Ia berharap pemerintah tidak memaksakan penerapan pajak ini. Sebelumnya untuk pajak spa, pengusaha hanya dikenakan antara 12,5 hingga 15 persen.

Pengusaha spa Ketut dari Ubud Gianyar menyampaikan penolakan atas kenaikan pajak 40-75 persen. “Kenaikan pajak itu juga berdampak luas bagi usaha Terkait sepertti laundry. Selain itu pekerja spa akan lari ke luar negeri. Kami menolak dan minta pembatalkan pajak ini dan mengeluarkan dari hiburan sebab spa ini wellness bukan hiburan. Kami prihatin dengan kebijakan ini. Di Ubud banyak spa dikombinasi dengan healing (yoga),” tegasnya.

Rekannya Tari mengatakan imej spa jadi buruk kalau dimasukkan sebagai hiburan. “Kalo pajak besar maka spa akan jadi mahal dan ini menyulitkan kelangsungan usaha,” ujarnya.

Terkait kondisi yang terjadi, pengusaha spa melalui kuasa hukumnya telah mengajukan permohonan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi. “Kita sudah ajukan yudicial review ke MK pada tanggal 5 Januari 2024. Saat ini kami masih menunggu jadwal sidang. Kami intinya minta spa dikembalikan ke kesehatan bukan hiburan,” tegas advokat Mohammad Ahmadi dan rekannya Moh. Hidayat.

Ahmadi menekankan ada dua hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi masalah ini yakni secara hukum dan politis. “Secara hukum kita bawa ke MK dan politis diharapkan pemegang kebijakan di daerah bisa menunda pengenaan pajak baru ini,” tambahnya. Pada pertemuan tersebut puluhan pengusaha spa yang hadir kompak melakukan penandatangan petisi. (bas)