Lomba “Ngelawar” Warnai Karya Agung di Desa Adat Kerobokan Badung, Datangkan Tim Juri dari ICA

(Baliekbis.com), Setelah melaksanakan upacara ‘Melasti dan  Pakelem’ pada Wraspati Wage Sungsang (Kamis, 18/7/2019) serangkaian Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Ngusaba Desa, Ngusaba Nini, Tawur Balik Sumpah Utama, Pedudusan Agung lan Segara Kerthi di Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kerobokan Badung,
krama adat pada Sabtu (20/7/2019) menggelar lomba “Ngelawar”.

Lomba Ngelawar ini menurut Pemucuk Karya Drs. A.A.  Ngurah Gede Sujaya, M.Pd. didampingi Jero Bendesa Desa Adat Kerobokan A.A. Putu Sutarja,S.H. dan salah satu panitia Dr. Wayan Suandi bertujuan untuk melestarikan budaya lokal sebagai antisipasi derasnya perubahan zaman salah satunya makin menjamurnya makanan siap saji.

“Di samping itu  kegiatan ngelawar ini merupakan bagian dari kelengkapan upacara “gunaning sarira tirta buana’,” tambah A.A. Ngurah Gede Sujaya, M.Pd. saat membuka lomba ngelawar yang berlangsung di GOR Purna Krida Kerobokan. Lomba yang berlangsung sejak pagi hingga siang diikuti peserta dari banjar di wilayah Desa Adat Kerobokan.

“Ini merupakan lomba ngelawar tahap I yang pesertanya dari 25 banjar. Tahap kedua akan digelar pada 28 Juli 2019 yang pesertanya dari banjar se Kelurahan Kerobokan Kelod dan Kerobokan Kaja serta yoananya,” jelas Sujaya,M.Pd. Untuk juri lomba didatangkan dari perwakilan ICA (Indonesian Chef Association) BPC Badung yakni
Chef Wayan Susana, Chef Gede Baihakie, Chef Wayan Karmana, Chef Ketut Suaryana dan Chef Putu Raka Waisnawa.

Sementara pada Redite Paing Dunggulan (Minggu, 21/7/2019), krama adat melaksanakan upakara ‘Tawur’ yang dipuput Ida Pedanda Putra Telaga Sanur, Ida Pedanda Buda Gde Jelantik dan Ida Rsi Bhujangga Kerta Buana.

Rangkaian Karya Agung di Pura Puseh dan Pura Desa Adat Kerobokan ini telah dimulai sejak Buda Kliwon Gumbreg, 19 Juni lalu dengan “matur piuning dan pewintenan panitia karya”. Serangkaian upacara telah dilaksanakan di antaranya pada Saniscara Wage Julungwangi (13/7)  “Pemelaspas dan Mendem Pedagingan”. Dalam upacara ini hadir Bupati Badung Nyoman Giri Prasta, Anggota DPR RI A.A.B. Adhi Mahendra Putra serta seluruh krama Desa Adat Kerobokan.

Selanjutnya pada Anggara (16/7) dilaksanakan Nuwur Pekuluh, Buda (17/7) Ngiyas Ida Bhatara dan pada Wraspati (18/7) Melasti ke Petitenget. Pada Redite (21/7) Tawur, Saniscara (27/7) Mepepada Karya, Redite (28/7) Melaspas Upakara dan Soma Kliwon Kuningan (29/7) merupakan Puncak Karya. Sedangkan Nyineb dilaksanakan pada Anggara Pon Langkir (6/8).

Manggala Karya Drs. A.A. Ngurah Gde Sujaya,M.Pd. menjelaskan karya agung ini digelar menyusul telah selesainya pembangunan di Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kerobokan Kuta Utara Badung. Dalam upacara yang akan berakhir pada 9 Agustus nanti yakni Nyegara Gunung dan Bulan Pitung Dina Karya, seluruh rangkaian upacara dipuput 16 sulinggih siwa, buda dan bujangga.

Sujaya menambahkan upacara ini dilaksanakan sebagai wujud rasa Stiti Bhakti dan Angayubagia (Puji syukur dan bhakti) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) atas Penciptaan Alam Semesta ini dan atas segala anugrah yang telah dilimpahkan kepada umat manusia dalam kehidupan ini.

Selain itu, upacara untuk menyucikan seluruh bangunan (pelinggih) pada tempat suci atau Pura dan lingkungan Pura yang terdiri dari Tri Mandala yakni Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala, dimana sebelumnya bahan bangunannya terdiri dari unsur yang belum suci, termasuk sentuhan para tukang (undagi) yang perlu disucikan. Mengingat fungsinya sebagai tempat suci yaitu tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam berbagai wujud kebesaran dan saktiNya, sebagai tempat bagi umat sedharma untuk memuja kebesaran-Nya dan menghaturkan sembah bhakti (sembahyang dan berdoa).

“Juga untuk membangun kesadaran kolektif bagi umat sedharma untuk selalu eling (ingat) akan tugas, kewajiban kehadapan Sang Pencipta Alam Semesta dengan segala isinya, termasuk membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa Ida Sang Hyang Pencipta, hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam lingkungan, yang terbalut dalam ”Tri Hita Karana”, yaitu Parhyangan/tempat suci, Pawongan dan Palemahan,” jelasnya.

Pelaksanaan karya upacara ini untuk mengingatkan kembali akan tanggung jawab hidup bagi umat sedharma bahwa Buana Agung (makrokosmos) yang telah tercipta ini, merupakan satu-satunya tempat kehidupan untuk hidupnya umat manusia dan makhluk hidup lainnya.

“Hal ini memberikan pesan agar jagat raya (alam semesta) yang terdiri dari unsur Panca Maha Bhuta yaitu Pertiwi, bumi (unsur padat), Apah (unsur cair), Teja (unsur panas), Bayu (unsur udara/angin) dan (5) Akasa/Ether (unsur kosong) untuk tetap dipelihara, dilestarikan dan tidak dirusak baik secara langsung maupun tidak langsung,” tambah Bendesa Adat Kerobokan A.A. Putu Sutarja,S.H. seraya mengatakan seluruh kegiatan pembangunan dan upacara menelan anggaran sekitar Rp6 miliar.

Sejalan dengan maksud dan tujuan upacara tersebut maka tema yang diangkat adalah “Gunaning Sarira Thirta Buana” yang artinya umat manusia sebagai yang disebutkan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki derajat tertinggi dari makhluk hidup lainnya. Karena memiliki tiga kekuatan/potensi (premana) yaitu Bayu, Sabda, Idep yang berfungsi dan berguna untuk menjaga dan memelihara kesucian, keutuhan Bhuana Agung dan Bhuana Alit dengan segala isinya (pertiwi/bumi, air/tirtha, teja/panas, bayu/udara/angin, akasa/ether, demi keberlangsungan kehidupan semua makhluk hidup dalam hidup ini secara aman, damai, harmoni, sejahtera lahir & bathin (sekala dan niskala). (bas)