Menteri Bintang Puspayoga Hadiri Pelatihan Diversifikasi Usaha Pemanfaatan HHBK Mangrove, Prof. Wijaya: Potensi Ekonomi Mangrove Besar

(Baliekbis.com), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Bintang Puspayoga menghadiri Pelatihan Diversifikasi Usaha Pemanfaatan HHBK Mangrove, Senin (28/8) di Gedung Serbaguna PT PLN Indonesia Power Bali.

Dalam sambutannya Bintang Puspayoga mengapresiasi pelatihan ini dan berharap bisa memberikan solusi serta pemanfaatan hasil mangrove untuk masyarakat termasuk pemberdayaan perempuan.

“Jadi bagaimana pelatihan ini bisa memberi pendampingan dan pemberdayaan masyarakat pesisir agar memberi pendapatan sehingga bisa meningkatkan kesejahteraannya,” ujar Bintang.

Pelatihan HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) Mangrove mendapat respons positif peserta yang hadir dari berbagai lembaga dan komunitas di antaranya Kelompok Kerja Mangrove Daerah Provinsi Bali dan KKMD dari seluruh Indonesia, Tokoh Adat dan Kelompok Masyarakat Penggiat Mangrove dan Danau dari Provinsi Bali.

Pelatihan juga dihadiri Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali Nusra,  Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, Ketua LPPM Universitas Udayana, Ketua Group Riset Energi Terbarukan dan Baterai Universitas Udayana, Senior Manager PT PLN Indonesia Power Bali Power Generation Unit, Akademisi dan Kepala UPT Kementerian LHK.

Prof. Wijaya mengenalkan cara pengolahan buah mangrove

Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar Tri Adi Wibisono mengatakan masyarakat bisa manfaatkan mangrove seperti daun dan buahnya untuk makanan dan produk lainnya seperti pewarna batik.

Dijelaskan hutan mangrove mempunyai keistimewaan dan manfaat dalam berbagai hal, baik dari aspek manfaat fisik, ekologi, dan ekonomi. Dari sisi fisik, mangrove berakar banyak dan batangnya kokoh mampu mencegah ombak, abrasi pantai dan mengurangi bahaya tsunami.

Dari sisi ekologi, mangrove mampu berfungsi sebagai filter polusi air dan udara karena dapat tumbuh pada kondisi tanah berlumpur/limbah dan menyerap serta menyimpan karbon. “Mangrove sebagai habitat tempat hidup dan berkembang biaknya berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya,” jelasnya.

Dari sisi ekonomi, mangrove menghasilkan hasil hutan bukan kayu (HHBK), yaitu dari buah/biji yang dapat dibuat untuk berbagai panganan atau minuman, kulit batang maupun daunnya sangat baik untuk bahan baku pewarna batik dan juga ecoprint.

Disamping itu keberadaan hutan mangrove berpotensi sangat besar untuk dikembangkan pemanfaatannya menjadi wisata alam.
Di Provinsi Bali, Hutan Mangrove di Tahura Ngurah Rai ini merupakan potret nyata sebuah contoh keberhasilan pemerintah Indonesia dan masyarakat Bali dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove yang semula dalam kondisi rusak akibat aktivitas tambak menjadi kawasan hutan mangrove yang baik.

Dijelaskan Tahura Ngurah Rai dengan luas sekitar 1.300 hektar, kini dikelola dengan baik dan menjadi rumah bagi 33 spesies mangrove dan 300 spesies fauna.

Sebagai negara pemilik hutan mangrove terluas di dunia yaitu lebih dari 3 juta hektar atau 23% dari luas hutan mangrove dunia, maka hutan mangrove di Indonesia memiliki kontribusi yang sangat besar dalam upaya menekan emisi Carbon, karena berdasarkan penelitian, hutan mangrove mampu menyimpan cadangan carbon hingga 4-5 kali dibandingkan hutan di terestrial.

Ketua Group Riset Energi Terbarukan dan Baterai Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Gusti Bagus Wijaya Kusuma yang memberi pelatihan mengatakan dengan begitu luasnya hutan mangrove di negeri ini bila dikelola hasinya akan memberi nilai ekonomi yang sangat besar.

Hasil mangrove berupa buah dan daunnya bisa diolah menjadi berbagai produk baik makanan, pewarna maupun energi berupa bioenergi yang bernilai ekonominya sangat besar. Secara umum, bioenergi menghasilkan biofuel, bioetanol dan biamassa padat seperti biobriket.  Bioenergi ini dapat menghasilkan energi listrik, bahan bakar transportasi dan panas.

Pada kegiatan pengenalan alternatif pemanfaatan HHBK mangrove masyarakat dikenalkan dan diberdayakan melalui kemitraan dengan teknologi sederhana dan tepat guna yang sesuai standar serta kompetitif secara ekonomi.

Hal penting lainnya adalah pemanfaatan HHBK ini harus tetap memperhatikan aspek keberlanjutan dan aspek aturan yang berlaku terkait dengan pemanfaatan HHBK. Dengan demikian, pengenalan teknologi ini diharapkan dapat mendukung 4 pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu pilar ekonomi, pilar lingkungan, pilar sosial, dan pilar tata kelola.

Dalam sesi tanya jawab mengemuka adanya kekhawatiran kerusakan ekosistem dan biota laut akibat terjadinya pengerukan pasir di pelabuhan. Peserta juga mengaku masih terkendala dalam pengurusan perizinan di BBPOM. (bas)