Makna Rupa di Balik Muhibah Bali-China

(Baliekbis.com), Muhibah seni rupa yang dilakukan 9 perupa Bali ke Beijing, dilandasi rekat budaya yang kuat di antara ke dua negara. Kesadaran akulturasi yang mengakar hingga kini menjadi tumpuan lintas rupa untuk menggambarkan nilai-nilai dan pesan yang tersirat di balik kultur. Orientasi kreatif akan memetakan setiap sumber daya keagungan kultur untuk kemudian dituangkan ke dalam gagasan penciptaan visual. Karena itu dalam pamera seni rupa “From Bali to Beijing” yang diresmikan di Museum Cha Yashui, Qingdau, Beijing, (27/11) pekan lalu ke sembilan perupa Bali D.Tjandra Kirana, Chusin Setiadikara, Wayan Redika, Agung Mangu Putra, Sujana Suklu, Made Wiradana, Polenk Rediasa, Made Gunawan dan Putu Edy Asmara mencoba merekonstruksi karya-karyanya terfokus pada perspektif persilangan kultur dua bangsa, baik yang keberadaannya mulai meredup maupun yang tetap eksis hingga saat ini. Karya para seniman Bali ini diperkuat 6 perupa China seperti, Chai Yasui, Mo Xiaosong, Fang Zhenghe, Li Xuesong, Sun Zhensheng dan Wei Kui. Sejak program persahabatan seni ini diniatkan Beijing Fine Art Academy rupanya para pengamat seni dari lembaga pendidikan seni terbaik ini sepakat memilih Bali sebagai mitra kreatif paling dekat dalam menggali segmentasi budaya yang mungkin untuk dikonstruksi dalam seni visual. Hal ini bisa dipahami karena dalam ragam aktivitas sosial di sejumlah daerah di Bali terselip pengaruh budaya pe Chinan yang hingga saat ini tetap terpelihara dengan baik. Dalam strategi pengembangan seni, Beijing Fine Art Academy melihat potensi ini penting untuk ditampilkan di ruang publik, bukan terhenti hanya pada proses visual, namun memerlukan tindak lanjut seperti riset dan dokumentasi proses kreatif. Keinginan masyarakat China untuk memahami komparasi budaya bangsa China yang berkembang di luar, belakangan ini sangat serius dilakukan. Labirin budaya yang dianggapnya masih tercecer di luar akan dijaring dan dikompilasi kembali melalui tema besar Silk Road, sebuah peritiwa budaya yang mengantarkan kejayaan China pada masa seperti sekarang. Peristiwa di jalur sutera bukan hanya bertumpu pada aktivitas ekonomi China di masa lampau, di sisi yang lain juga terjadi interaksi dan akulturasi di sepanjang jalur yang terlewati. Hal yang belum terekam pada masanya, saat ini dikumpulkan melalui ragam kegiatan untuk melengkapi perkembangan sejarah panjang bangsa China.


Pameran From Bali to Beijing merupakan salah satu medium untuk melihat eksistensi budaya yang terpisahkan. Cerita panjang yang ditangkap ke dalam daya intuisi para seniman dikabarkan melalui karya yang dipamerkan. Seniman Cai Yashui, yang sempat melanglang di Bali pada 1995 menampilkan karya berjudul Colorful from Bali, 2007 dengan ukuran 3 x 15 meter. Tampak dalam visualnya seniman yang juga pengajar di sejumlah pergusruan tinggi ini mencoba menarik kembali benang merah koneksitas peradaban China yang masih tangguh dipelihara, bahkan dimuliakan di Bali. Gagasan yang memenuhi kanvas besar itu dirangkai dari penggalan sejumlah peristiwa ritual di Bali, antara lain tari barong landung, upacara ngaben, upacara manusa yadnya hingga sejumlah aktivitas di Pura. Objek yang saling terpisahkan ini kemudian diramu menjadji karya visual yang penomenal. Chai Yashui menyebut dirinya “gila” karena ia telah keluar dari kultur yang sebenarnya. Sementara itu seniman China yang lainnya tampil dengan kekuatan garis sebagaimana yang diagungkan dalam tradisi seni rupa China. Kesabaran mereka untuk bertahan pada konsepsi tradisi dengan sapuan warna yang khas Chinaisme, justru menjadi pola yang sangat mendasar bagi mereka dalam berproses menuju paham yang lebih modern. Karya Li Xuesong misalnya, secara visual tampak sangat sederhana, namun di balik kesederhanaan itu ia menempatkan kekuatan garis dan sapuan yang khas. Dari sini mereka yakin akan lebih mudah bergerak menuju pencapaian yang lain.
Dari Bali, Tjandra Kirana menampilkan “The Root of China”, 2017, 140x210cm, perupa 73 tahun ini memadukan tarian antara barong Bali dan Barong China yang diyakini memiliki persekutuan yang amat dekat. Tjandra juga menyisipkan efek seni rupa Kamasan yang juga memiliki kesamaan proses dengan seni rupa tradisi China. Garapan lebih modern ditampilkan Chusin Setiadikara, seniman yang telah berulangkali memamerkan karyanya di China menampilkan karya berjudul “Durian”, 2017, 140x160cm. Durian yang digarap dalam teknik hiperrealis memang terpilih menjadi gagasan pokok dalam karya ini, tapi Chusin ingin bercerita lain soal perilaku dua bangsa dalam menjaga bumi dan mempertahankan budayanya. Karena itu ia menyisipkan sejumlah properti lain sebagai elemen pendukung durian antara lain sapu, serok, lonceng dan aneka barang penting lainnya dalan kehidupan. Sisi yang lain adalah jiwa pengampunan yang universal digambarkan Agung Mangu Putra melalui “Forgiveness”, 2005, Oil on Canvas, 200x 200 cm. Dengan teknik palet yang unik Mangu memisualkan seorang tentara memohon ampunan kepada seorang perempuan ntah itu ibunya, setelah kembali dari medan pertempuran. Penggalan sejarah yang tak mudah dilupakan dalam hubungan politik Indonesia dan China ialah keterbukaan budaya. Budaya dan kesenian Tionghoa sejak peristiwa G30S memang menjadi kegiatan terlarang, namun disaat pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid diijinkan kembali untuk ditampilkan berikut dengan perayaan hari sucinya. Hal ini ditangkap perupa Wayan Redika dalam karyanya “The Mind of Universe” 2016, Oil on Canvas, 120×120 cm. Dalam visualnya Redika memilih Presiden Abdurachman Wahid (Gusdur) sebagai penghormatan dan menjadi subjek gagasan kemudian diolah dengan figuran berupa elemen patra Bali dan China yang memunculkan karya dengan repetisi pola yang menarik. Sementara itu Sujana Suklu memilih tema tentang cara memahami alam dalam konsepsi dua budaya ini. “Dewi Awan”’ 2016, Celtic Ink on Canvas, 108x120cm adalah penanda kesamaan ritual, memuliakan awan dalam formulasinya menjadi hujan dan direpresentasikan sebagai kesejahteraan. Lain juga Made Wiradana, pelukis bergaya naif ini dalam salah satu karyanya menampilkan guratan tatanan candi di Bali yang ia yakini bisa menjadi bagian dari silang pengaruh China di Bali. Polenk , dengan penguasaan teknik realisnya hadir dengan “Sudahlah Genap”, 2017, Oil on Canvas, 125x125cm merefleksikan bunga kamboja yang disematkan di atas nayaga, digenapi gadis telanjang samar-samar penanda eksotisme budaya. Begitu juga Made Gunawan dan Putu Edy Asmara yang tampil dengan kekuatannya masing-masing. Apa yang ditawarkan dalam pameran seni rupa From Bali to Beijing merupakan sebuah peristiwa penggalian sejarah masa lampau yang ditafsir melalui kekuatan visual. Secara strategis China memiliki cara untuk melengkapi peradabannya untuk tampil dalam adi daya budaya yang patut dicontoh. Setelah melengkapi imfrastruktur seni hingga ke Kota Kabupaten, saat ini nilai-nila yang tercecer yang selama ini tampak menjauh, belakangan ditata kembali ke dalam penyatuan yang utuh. Cara ini tentu akan membangkitkan harapan masyarakat seni di Tanah Air, paling tidak kita bisa meneguhkan embali cinta kita kepada budaya dan kearifan bangsa sendiri. (red)