Kontroversi! Dari Raja Ampat ke Pulau Bali Haruskah LNG Sidakarya Bernasib Sama Seperti Tambang Raja Ampat?
(Baliekbis.com), Belum lama ini Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kota Denpasar menggelar talkshow pariwisata bertajuk “Menakar Dampak Pangkalan LNG Terhadap Pariwisata Kota Denpasar” di Kampus STB Runata, Jalan Tukad Badung, Denpasar beberapa waktu lalu Talkshow menghadirkan sejumlah narasumber yakni Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, Prof. Dr. Drs. I Nyoman Sunarta, MSi, praktisi pariwisata yakni I Made Mendra Astawa, S.Tr.Par., M.Tr. Par, Ngurah Paramartha dan Yosep Yulius Diaz. Ketiga narasumber tak menegaskan secara detail apa dan bagaimana dampak positif dan negatif kalau pangkalan LNG Sidakarya itu dibangun 500 meter di bibir Pantai Serangan.
Keempat narasumber hanya memaparkan tentang pariwisata Bali yang berkelanjutan, carring capacity Bali, pariwisata Bali belandaskan Tri Hita Karana (THK). Misalnya, Prof Nyoman Sunarta memberikan pandangan terkait arah pembangunan Bali. Menurutnya, banyak hal yang harus dipikirkan secara luas tentang Pulau Dewata. Tapi ia menegaskan satu hal bahwa Bali harus menjadi laboratorium hidup. Sunarta menekankan, yang dibutuhkan Bali adalah membangun destinasi pariwisata yang berkualitas. “Caranya adalah dengan membangun Bali sesuai carrying and capacity. Kalau kita tidak ingin tergantung energi, lantas berapa banyak untuk cukup?” kata Prof. Sunarta.
Sementara Ngurah Paramartha dari industri pariwisata menyoroti Pulau Serangan yang selalu jadi pusat isu dari pembangunan. Dia mengatakan, Bali tidak pernah mencitrakan dirinya sendiri, namun banyak muncul keriuhan yang ditimbulkan oleh berbagai macam persoalan. Ngurah Paramartha menambahkan, rencana lokasi pembangunan LNG berdekatan dengan kawasan suci, Pura Sakenan. Menurutnya, pembangunan industri tidak bisa dilakukan dalam radius 2 km dari kawasan suci. “Soal sampah di situ juga tidak ada solusi, soal dermaga sampai soal reklamasi juga berada di situ dan sekarang LNG. Pertanyaannya, kenapa semuanya harus di situ,” kata Ngurah Paramarta.
Pemerhati pariwisata I Made Mendra Astawa mengatakan, kepentingan ekonomi selalu ada dalam setiap rencana pembangunan. Namun, masih ada ruang kosong untuk memilih lokasi berinvestasi. Disebutkan, pembangunan bukan menjadi tontonan wisatawan. Namun, dirinya menambahkan, kalau ingin tetap menjaga Bali sustainable harus tetap menjaga warisan leluhur. “Jadikan bali the last heritage of Nusantara. Jangan sampai ekonomi menghancurkan warisan leluhur,” jelas Mendra Astawa.
Sementara, pelaku pariwisata Bali Yusdi Dias mengatakan, isu soal LNG itu harus dibuka kepada publik. Masyarakat berhak memberikan masukan dan tidak harus diwakilkan oleh suara asosiasi. Yusdi sapaannya mempertanyakan, pemerintah perlu membuka kesempatan diskusi seluas-luasnya tentang arah pembangunan Bali. Dia mengatakan, selama ini keberadaan Pulau Serangan identik dengan pulau penyu. Dengan adanya industri di Kawasan itu ia mengkhawatirkan akan terjadi persoalan lingkungan yang serius. “Bagaimana penyu bisa pulang untuk bertelor. Karena penyu akan pulang di tempat yang sama. Bali mau dibawa kemana, tetap mempertahankan warisan atau short term business,” kata Yusdi.
Sementara saat sesi tanya jawab dua peserta secara tegas menolak LNG di Sidakarya. Kedua peserta yang tegas menolak LNG yakni Wayah Patuh aktivis lingkungan dari Desa Serangan dan Yoga advokat muda di Kota Denpasar Keduanya mempertanyakan mengapa Bali selatan khususnya di Sanur dan Serangan menjadi pusat pembangunan. “Terlihat semuanya menumpuk di sana.(Serangan). Padahal di sana sudah padat aktivitas pariwisata dan pemukiman pendudu. Dan susah tentu berdampak pada kenyamanan tamu atau wisatawan. Terus apa itu yang disebut sebagai Nangun Sat Kerthi Loka Bali,” kritik Yoga.
Sementara Wayan Patut menyoroti kalau dibangun LNG tentu ada kapal besar 300 meter dan tinggi 40 meter, sama dengan kita pergi ke Paiton gitu (PLTU Paiton,red), kan 24 jam dia harus terang. “Dengan pembangunan LNG Sidakarya tentu akan berdampak pada kerusakan lingkungan, mangrove dan terumbu karang. Apalagi kalau dikeruk dan didreging. Laut dan isinya pasti rusak dan hancur semua,” kecamnya.
Mestinya pemerintah melihat dampak terhadap sektor pariwisata dari berbagai perspektif: lingkungan, ekonomi, sosial, dan budaya. Kontroversi LNG Sidakarya tampaknya apakah akan bernasib sama dengan tambang nikel di Raja Ampat? Menuai kontroversi publik nasional yang pada akhirnya atas perintah Presiden Prabowo, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mencabut empat IUP tambang di daerah setempat. Kini perhatian tertuju pada Bali, yang menghadapi polemik serupa soal pembangunan Terminal Apung LNG di Desa Sidakarya, Denpasar Selatan.
Di tengah situasi sosial dan lingkungan pesisir yang rapuh, proyek FSRU LNG Sidakarya dinilai terlalu dipaksakan. Padahal, di Bali Utara tepatnya di Celukan Bawang, Buleleng sudah dirancang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) 900 MW lengkap dengan LNG hub. “Lalu, mengapa Sidakarya tetap jadi pilihan?,” tanya Ketua LMND Eksekutif Wilayah Bali I Made Dirgayusa di Denpasar, Kamis, 19 Juni 2025. Padahal, Sidakarya terletak di kawasan padat penduduk, dekat wisata Sanur dan zona konservasi Tahura Ngurah Rai. Wilayah ini juga menjadi ruang hidup nelayan dan masyarakat adat Sanur, Intaran dan Serangan.
Proyek itu akan mengeruk laut hingga kedalaman 20 meter, yang berpotensi merusak terumbu karang, padang lamun serta mencemari ekosistem dan mata pencaharian lokal. Ngurah Paramartha mengkritik lokasi Terminal Apung LNG yang dekat kawasan suci Pura Sakenan dan menyoroti kecenderungan semua proyek bermuara ke Serangan. Sementara itu, I Made Mendra Astawa menegaskan, bahwa investasi tidak boleh menghancurkan warisan leluhur. “Jadikan Bali sebagai warisan terakhir Nusantara,” terangnya. Pasca Bali mengalami blackout, PLTU Celukan Bawang didatangi Komisi III DPRD Bali pada 6 Mei 2025. Ketua Komisi III, Nyoman Suyasa menekankan pentingnya peran pembangkit ini sebagai penyumbang 30 persen energi Bali.
Dikatakan pula, bahwa penggunaan bahan bakar gas di Celukan Bawang sebagai langkah menuju energi yang lebih ramah lingkungan dan berkapasitas besar hingga 900 MW jika dua unit dijalankan. Hal ini dinilai cukup untuk menjamin pasokan listrik Bali secara menyeluruh. “Isu LNG Sidakarya harus secara jujur disampaikan, jangan bilang bahwa LNG ini akan menyelesaikan persoalan listrik. Soal listrik mati ini kan soal mesinnya yang mati, bukan bahan bakarnya habis,” urainya. Yusdi Diaz juga menambahkan, bahwa memaksakan pembangunan di Sidakarya hanyalah gimik.
“Tempat itu tidak layak untuk terminal, kalau mau mandiri, buat yang besar sekaligus di tempat lain, entah di utara, entah di timur, yang mana lebih memungkinkan kita buat yang besar dan bisa menyuplai seluruh Bali,” ungkapnya. Seperti diketahui saat ini PT Dewata Energi Bersih (PT DEB) adalah joint venture antara PT Padma Energi Indonesia dan Perusda Bali, dengan dukungan teknis dari PT Titis Sampurna. PT DEB tengah mendorong pembangunan Terminal Apung LNG setinggi 50 meter, sekitar 500 meter dari Pantai Mertasari, Sanur. Dengan narasi transisi menuju “Energi Bersih”, gas alam, yang tetap bahan bakar fosil dipromosikan sebagai solusi ramah lingkungan, meski banyak pihak menolak klaim ini.
Terminal ini dirancang beroperasi 20 tahun dengan investasi diperkirakan Rp 4,5 triliun. Nilai transaksi pembelian gas oleh PLN bisa mencapai Rp 30-40 triliun. Skala sebesar ini menuntut transparansi dan partisipasi publik penuh. Kasus ini mencerminkan pola serupa dengan proyek tambang nikel di Raja Ampat: dibungkus narasi energi bersih, tapi menyimpan bahaya lingkungan dan sosial besar. (ist)
Leave a Reply