Dr. Mangku Pastika, M.M.: Minim Anggaran, Sektor Pertanian (makin) Memprihatinkan

Sektor pertanian di Bali makin memprihatinkan. Selain rendahnya anggaran dari pemerintah daerah untuk mendukung sektor ini, juga alih fungsi lahan makin sulit dikendalikan. Mungkinkah dengan berbagai keterbatasan itu, masih memberi harapan?

(Baliekbis.com), Minimnya anggaran yang digelontor pemerintah daerah untuk mendukung sektor pertanian membuat sektor ini terus menyusut. Selain lahan yang tergerus karena alih fungsi juga harga produk yang dihasilkan petani sering tak sepadan dengan pengeluaran.

“Pertanian kita memprihatinkan. Anggarannya kecil sekali, sekitar 1,5 persen dari APBD. Mau bikin apa dengan sekitar Rp78 miliar itu. Apalagi struktur di dinas terkait juga makin ramping sehingga ruang geraknya jadi terbatas,” ujar Anggota DPD RI dapil Bali Dr. Made Mangku Pastika, M.M. saat menjadi narasumber pada diskusi “Pertanian dan Pengelolaan Sampah di Bali”, Selasa (12/9) di ALC Denpasar.

Diskusi yang digelar Agro Learning Center (ALC) Jalan Cekomaria Gang Raya Denpasar
berlangsung sekitar tiga jam, selain menghadirkan narasumber Rektor Dwijendra University Dr. Ir. I Gede Sedana,MSc., praktisi sampah Ir. Ayu Widyasari dan praktisi pertanian dr. IGN Rai Sutanegara juga sejumlah tokoh lainnya.

Menurut Mangku Pastika kalau keberpihakan (Pemerintah) minim maka pertanian maupun masalah sampah akan sulit tertangani dengan baik. “Jadi mau tidak mau yang di luar pemerintah yang harus bergerak. Harus ada upaya-upaya mengatasi masalah yang ada agar Bali tak semakin menurun kualitasnya,” tambah mantan Gubernur Bali dua periode ini.

Dalam diskusi terungkap RAPBD 2024, anggaran pertanian dalam arti luas hanya Rp78 miliar dari total anggaran Rp6,9 triliun. Jadi yang ke pertanian hanya sekitar 1 persen.

Dari minimnya anggaran tersebut, jelas terlihat keberpihakan pada pertanian masih sangat rendah. Maka wajar saja alih fungsi lahan terus bertambah. Sebab hasil pertanian di kota tak sebanding dengan beban pajak yang harus dibayar.

Rektor Dwijendra Dr. Sedana mengatakan kalau mau membangun pertanian berkelanjutan maka harus diperhatikan proses produksinya, ada teknologi dan pendapatan dan petani sebagai pelaku. “Petani sekarang ini jadi persoalan. Sebab sedikit orangtua yang mau mengajak anaknya adi petani. Masalahnya pertanian dianggap tidak memberi harapan masa depan,” jelas Dr. Sedana.

Belum lagi banyak ‘limiting factor’ yang dihadapi petani mulai air, pupuk yang mahal dan harga sering tidak menguntungkan. Padahal orang mau bertani kalau menjanjikan.

“Jadi kalau mau memajukan pertanian, pemerintah harus bantu petani, jangan hitung untung rugi,” tambahnya. Menurut Sedana kalau petani dibantu maka pemerintah juga ikut untung sebab akan menaikkan daya beli produk yang lain. “Usaha lain akan ikut tumbuh,” jelas Sedana.

Praktisi sampah Ayu Widyasari mengingatkan keseriusan pemerintah akan terlihat dari regulasinya serta dukungan anggarannya. “Kalau anggarannya gak ada, apa yang mau dibikin. Jadi ini hanya mimpi saja. Mestinya masalah sampah jadi prioritas,” harapnya.

Aktivis sosial sekaligus budayawan Putu Suasta mengingatkan kalau mau memajukan pertanian, harus ada manfaat di sana. Ia melihat alih fungsi lahan tinggi karena harga tanah lebih menarik dari pada dipakai bertani. “Jadi jangan heran banyak yang jual tanah, apalagi pajak di kota besar dan tak sepadan dengan hasil pertanian,” ujar jebolan Cornell University dan New York University ini. “Perlu pusat informasi pedesaan. Jadi tanam produk-produk yang dibutuhkan pasar,” pungkasnya.

De Wira dari Kadin Bali mengajak para tokoh bisa memotivasi anak muda mau terjun ke pertanian. “Bagaimana ngomong pertanian, sementara kita sendiri tak tertarik ke sana,” sentil Wira.

Jebolan IPB Bogor ini juga berharap agar pemerintah jangan ragu memberi subsidi ke petani agar pertanian tetap terjaga. Juga perlu dibuat pengaturan/sistem agar produk pertanian punya daya beli tinggi.

“Mengapa milenial gak tertarik bertani karena hasilnya tak menjanjikan. Padahal potensinya dan beberapa komoditi punya nilai pasar tinggi. Saya harap jangan antipati dengan pertanian. Dengan teknologi bertani tak lagi harus berlumpur-lumpur,” jelasnya. (bas)