Diskusi Penanggulangan Rabies di Bali, Dr. Mangku Pastika, M.M.: Komponen Pariwisata Diminta Ikut Peduli

(Baliekbis.com), Kasus rabies di Bali belakangan ini dinilai tinggi. Bila tidak ditangani dengan baik dan benar selain akan mengancam keselamatan manusia juga bisa mengganggu pariwisata.

“Kasus ini harus menjadi perhatian serius baik pemerintah, juga komponen pariwisata mesti peduli. Sebab kalau sampai terjadi wabah, pariwisata juga ikut kena. Jadi perlu sisihkan sebagian CSR untuk turut dalam penanganan rabies ini,” harap Anggota DPD RI dapil Bali Dr. Made Mangku Pastika,M.M.
saat menjadi narasumber dalam diskusi yang digelar Forum Dokter Hewan Pemerhati Rabies Bali, Minggu (10/9) di Denom Kitchen Jln. Bualu Indah Benoa, Kuta Selatan, Badung.

Diskusi yang mengangkat tema “Penanggulangan Rabies di Bali: Mungkinkah?” juga menghadirkan sejumlah narasumber di antaranya Ketua Forum Dokter Hewan Pemerhati Rabies Bali Dewa Made Anom, mantan Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali I Putu Sumantra, Penyidik Penyakit Hewan Suharsono, PhD, dan Nining, PhD.

Menurut Mangku Pastika, salah satu yang mengancam pariwisata adalah penyakit atau wabah. Di Bali anjing dan kera membawa penyakit (rabies). Padahal kera jadi objek pariwisata yang banyak dikunjungi wisatawan.

“Rabies ini ancaman nyata dan sudah terjadi. Rabies akan jadi sangat mahal kalau sudah menjadi wabah. Selain harga vaksinnya mahal juga orang yang terkena gigitan hewan penular rabies ini mesti divaksin sampai empat kali. Hewannya juga mesti divaksin. Karena itu perhatian terhadap kasus ini harus serius. Saya harap kalangan pariwisata turut mendukung. Jadi pelaku pariwisata harus mau berbagi CSR-nya untuk ini,” tambah mantan Gubernur Bali dua periode ini.

Mangku Pastika juga menyinggung dalam konsep Hindu dikenal ‘utpeti’-‘stiti’-‘pralina’ yang berarti proses kelahiran-hidup-mati dari setiap mahluk hidup (manusia). “Jadi kalau sudah tidak dipelihara maka lebih baik di-pralina. Dari pada orang yang jadi korban-pralina,” tegas Mangku Pastika.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dari Januari hingga Juni 2023 ini tercatat kasus gigitan hewan penular rabies sangat tinggi sekitar 19.000 kasus. Bahkan Bali tercatat sebagai provinsi dengan jumlah kasus rabies terbanyak di Tanah Air.

Menurut Drh. Soeharsono,Ph.D. kasus rabies di Bali meningkat tajam sejak 2022, yang mencapai 702 kasus. Sedangkan pada 2020 tercatat 101 kasus dan 2021 dengan 289 kasus gigitan.

Dari tahun 2008-2022 angka kematian karena rabies di Bali lebih dari 100 orang. Pada tahun 2022 ada 22 kasus kematian dan dari Januari-Juni 2023 sudah tiga orang yang meninggal. Tingginya kasus rabies ini disebabkan karena masih banyaknya anjing tak bertuan yang berkeliaran dan anjing yang ada pemiliknya namun dibiarkan lepas di jalan.

Ketua Forum Dokter Hewan Peduli drh I Dewa Made Anom mengatakan untuk menekan kasus rabies pihaknya melakukan kontrol populasi (sterilisasi) anjing dan hewan penular rabies (HPR) lainnya.

Mantan Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali I Putu Sumantra mengatakan penggunaan vaksin yang tepat sangat penting. Juga edukasi kepada masyarakat. Menurutnya yang menjadi masalah saat ini adalah pengadaan vaksin. “Vaksin harus benar dan baik serta teruji agar hasilnya efektif. Menggunakan vaksin harus hati-hati, jangan-jangan malah rabiesnya makin subur. Maunya bebas malah jadi naik,” ujarnya.

Dijelaskan, penularan rabies dominan karena anjing. Anak anjing di jalanan sangat banyak dan sebagian berpotensi membawa rabies. Jadi di jalan tidak aman. Anjing yang tidak bertuan dan dibiarkan lepas ini menyerang orang.

Drh. Listiani selalu pendiri Yayasan Yudistira mengatakan dalam penanganan rabies ini lebih ke vaksinasi dan edukasi. Yang belum banyak dilakukan adalah eutanasia. Rekannya Drh. Suastika mengatakan dulu anjing tanpa peneng dieliminasi sehingga sangat efektif dalam menekan rabies. (bas)