Diskusi “Ngrombo Pengembangan Pariwisata Bali Berkelanjutan”, Ketua NCPI Bali: Perlu Kebersamaan Menjaga Roh Pariwisata Bali ke Depan

(Baliekbis.com), Ketua NCPI Bali Agus Maha Usadha berharap FGD bertajuk “Ngrombo Pengembangan Pariwisata Bali Berkelanjutan:
Tantangan dan Solusinya” yang digelar menghasilkan kesamaan input dari pengelolaan usaha pariwisata dengan regulasi yang ideal dan match dengan pasar pariwisata untuk Bali ke depan serta bagaimana perjuangan bersama ke pusat sehingga pariwisata Bali menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Demikian dikatakan Agus Maha Usadha dalam pengantarnya saat pembukaan FGD, Rabu (10/1/2024) bertempat di Sudamala Suite Villa and Hotel, Sanur.

FGD dibuka Pj. Gubernur Bali yang diwakili Kadisparda Bali Tjokorda Bagus Pemayun menghadirkan narasumber Anggota DPD RI Perwakilan Bali yang juga selaku Wanhat NCPI Bali Dr. Made Mangku Pastika,M.M., Ida Rsi Mpu Jaya Reksa Dangka Brahmananda (Prof. I Gde Pitana) dan Akademisi FH Unud Prof. Dr. IB. Wyasa Putra, M.Hum.

FGD yang dipandu Tim Ahli Nyoman Baskara didampingi Ketut Ngastawa dan Nyoman Wiratmaja dihadiri para pelaku, tokoh dan akademisi pariwisata di antaranya Preskom Kura Kura Bali Tantowi Yahya, Ketua HPI Bali Nyoman Nuarta, akademisi Unud Prof. Sunarta dan Ketua Forkom Desa Wisata Made Mendra.

Ketua NCPI Bali Agus Maha Usadha mengatakan banyak permasalahan yang dihadapi Bali. Masalah ini perlu didiskusikan bersama dan dicarikan solusinya. Agus mengatakan adanya pungutan-pungutan yang diambil oleh pariwisata Bali belakangan ini yang cukup banyak harus dikaji kembali, karena menjadi persoalan.

“Ini akibat kurangnya sosialisasi,” tegasnya. Keinginan dan kemauan bahwa hotel dan bisnis pariwisata lain adalah mendapat untung yang banyak. Di sisi lain wisatawan memiliki keterbatasan budget, yang ingin dibelanjakan secara efektif. “Austraila menyatakan Bali bukanlah “prime destination”. Bagaimana menyikapi dan apa yang harus dilakukan,” ujar Agus bernada tanya.

Sementara Kadisparda Bali Tjok. Bagus Pemayun mewakili Pj. Gubernur Bali mengatakan digitalisasi berkembang pesat dengan adanya Covid. Pentahelix Bali harus bersinergi. Karena itu berbagai masalah yang ada perlu ditangani secara ‘ngrombo’, bekerja bersama-sama.

Sedangkan narasumber Dr. Made Mangku Pastika mengatakan UU Pariwisata yang dulu disusun oleh Gede Ardika (alm.) sebagai anggota badan Etik UNWTO sudah ketinggalan saat ini, belum menyentuh perdagangan pariwisata. Ada lingkungan pasar dan di luar pasar seperti keamanan, kesehatan, pers, dll. yang harus diperhatikan, sehingga masalahnya menjadi kompleks. “Perlu me-redifinisi-kan kembali Pariwisata Budaya,” ujar mantan Gubernur Bali dua periode ini.

Dicontohkan, belakangan ini banyak tamu hanya singgah beberapa saat di Bali lalu terbang ke daerah tertentu sehingga length of stay di Bali menjadi pendek. Tantangan lainnya, kemacetan, sampah, kriminalitas. Lantas apa solusinya? “Boleh tidak berhenti dulu ekspansi? Over kunjungan membuat wisatawan tidak bisa ditampung dengan baik. Boleh tidak kita berpikir lagi di kawasan tertentu kita naikkan bangunan ke atas, di beberapa tempat tertentu, atau daerah khusus seperti di Nusa Dua, Kuta, dll. Rumah Sakit dibuat lantai 10 misalnya, sehingga tidak melebar, karena keterbatasan lahan. Buat Kawasan Khusus dengan integrated system,” saran Mangku Pastika.

“Mari re-definisi kembali apa itu Pariwisata Budaya. Fly Over, LRT kenapa tidak dibangun saja, daripada membuat underpass yang biayanya 3x lipat. Secara “kesucian” sebetulnya tidak perlu diperdebatkan lagi,” tambah mantan Kapolda Bali ini.

Terkait masalah keamanan, Mangku Pastika mengimbau kepada Kapolda Bali agar membuat sistem keamanan berstandar internasional. “Sudah ada blue printnya saat saya menjabat sebagai Kapolda Bali, tinggal disesuaikan dengan kondisi terkini. Harus dibangun penuh kesadaran dan didukung dengan kajian-kajian,” ujarnya.

Narasumber Ida Rsi Brahmananda menjelaskan tentang kondisi Bali yang Over Tourism, Over Supply, Over Expectation, Over Tourism vs Over Supply. Menurutnya manajemen yang harus diperhatikan bersama-sama.
Dikatakan Bali masuk salah satu destinasi yang over tourism. Terkait over crowded, ia setuju pada titik-titik tertentu. Contoh Penglipuran dan Tenganan Pegringsingan. Rumah-rumah tinggal kini menjadi artshop.
Menurutnya perlu management (pengaturan), infrastruktur (jalan, parkir) dan konsentrasi (persebaran). “Mari kita re-design lagi. Seberapa besar kita inginnya pariwisata. Bali sebaiknya tidak bergantung pada pariwisata 100%, jangan terlalu dominan. Sektor-sektor lain perlu dikembangkan,” ujarnya.

Terkait Quality Tourism (berkelanjutan) agar tidak mendikotomikan antara quality dengan quantity. “Kita lemah akan law enforcement. Otonomi Daerah di Bali mengerikan. Moratorium ditolak oleh Bupati dan Walikota,” ungkapnya.

Narasumber Prof. I.B.Wyasa Putra menjelaskan Bali ada dalam phase Chaos of Regulation -Phase Chaotic Pariwisata Bali. “Kita berada pada titik awal of Chaotic Regulation, dimana menggunakan regulasi untuk menabrak/ mengakali regulasi,” ujarnya.

Sebagai solusi perlu perubahan perilaku tourism; perubahan perlakuan; perubahan paradigma, pendekatan; perubahan model penerapan kebijakan; perubahan perilaku lembaga dan aparatur; perubahan mind-set dan peningkatan kapasitas. “Tata dengan regulasi, orientasi ke sustainability. Sehingga tujuan utama bukan hanya uang. Pada Chaotic Regulation ini berubah, kembali uang menjadi orientasi utama,” jelasnya.

Dubes Tantowi Yahya mengatakan Bali sudah sangat berubah dari tahun 1986 saat pertama ia berkunjung ke Bali. Di tahun 1986, jalan lancar, tertata baik, tidak ada polusi. “Bali kini macet, tingkat polusi sudah ada. Dulu sangat menikmati alam, budaya, sekarang musik Bali berubah menjadi elektronik (CD), bukan gamelan asli, gerakan berbeda menyesuaikan kepada masa kini. Telah terjadi degradasi seni budaya, ada simplicity, elektronik. Ruang terbuka hijau juga semakin sedikit/hilang,” ungkapnya.

Menurutnya, warna/kebijakan satu daerah akan terlihat dari pemimpinnya. Gubernur Bali selanjutnya harus orang yang punya passion terhadap pariwisata yang pro terhadap sustainability.

Ketua HPI Bali Nyoman Nuarta mengatakan kemacetan yang terjadi akhir tahun 2023, Bali kecolongan. Mitigasi yang dilakukan masih sangat konvensional. “Bali adalah pariwisata budaya, belum ada regulasi khusus yang mengatur tentang ini. Substansi yang dimuat di dalam regulasi, yang kini dibuat oleh Pemda masih jauh. Masing-masing stakeholder dulu punya regulasi sendiri. Stakeholders harus satu pemahaman tentang sustainability/quality tourism,” harapnya.

Wayan Sudartayana selaku Ketua NCPI Tabanan mendukung dengan re-definisi. Rural tourism apakah bisa diimplementasikan? Tranfromasi mindset sehingga “ruralisasi” bisa dilakukan. Ketua Forkom Dewi (Desa Wisata) Made Mendra menyebut terdapat terlalu banyak desa wisata saat ini, 200 lebih.

Akademisi Unud Prof. Nyoman Sunarta mengatakan topik yang dibahas tidak pernah berubah dari masa ke masa. Ia memberi catatan, apakah Bali sudah memilih arah pembangunannya? Apa yang terjadi di Bali? “Apakah kita membangun pariwisata untuk orang Bali. Jika pariwisata untuk orang Bali, maka kita jual apa yang Bali punya, bukan menjual apa yang wisatwan mau,” tegasnya.

Kadek Surya (Cawu Coklat) menyoroti masalah persebaran (pariwisata) yang sebenarnya sudah dilakukan oleh para investor, namun masyarakat daerah menolak. Contoh kasus banyak terjadi, antara lain di Desa Bugbug. “Kehadiran Pemerintah dibutuhkan agar persebaran tetap bisa dilakukan tanpa harus ditodong. Perlu penyaringan terhadap orang-orang yang berinvestasi di Bali. Jangan undang kapitalis, namun sosio-interpreneur,” harapnya.

Pelaku pariwisata Puji mengatakan saat ini sedang viral terkait pungutan-pungutan di objek wisata yang tidak disosialisasikan sebelumnya, seperti di Tirta Gangga, Bajra Sandhi, dll. “Harus ada regulasi yang jelas yang mengatur pungutan ini,” tegasnya. (ist)