Bali ‘Krisis’, BGI Minta Pemerintah Komit pada Penyelamatan Lingkungan

(Baliekbis.com), Bali Green Initiative (BGI) mendesak pemerintah komit dalam mengatasi berbagai ancaman krisis yang terjadi untuk penyelamatan lingkungan. Bali kini terancam berbagai krisis baik lingkungan, lahan yang banyak menyusut akibaat alih fungsi dan kepemilikan serta pencemaran. Demikian mengemuka dalam diskusi yang digelar
Yayasan Tamiang Bali Mandiri, Denpasar Selasa (3/10) di Mina Dalung, Badung.

Diskusi yang mengangkat tema “Upaya Menjaga Keharmonisan Alam dan Budaya Bali melalui Inisiatif Hijau Bali (Bali Green Initiative)” ini menghadirkan Anggota DPD RI Dr. Made Mangku Pastika,M.M., Agung Putra dari P3E Bali-Nusra dan Praktisi Lingkungan Ketut Sarjana sebagai narasumber
juga mengagendakan perlunya audiensi dengan Pj. Gubernur Bali terkait rencana Pergub untuk pelaksanaan Perda No.1-2020 & Pengawalan APBD Bali 2024. BGI juga sebaiknya didinamisasi (diorkestrasi) bersama-sama.

Melalui BGI ini diharapkan bisa menerapkan berbagai inisiatif dan inovasi untuk meningkatkan dampak positif terhadap lingkungan dan menciptakan sistem berkelanjutan.

Mangku Pastika dalam pengantarnya mengingatkan dengan kondisi Bali seperti sekarang ini yang mengandalkan pariwisata, lantas siapa yang dapat dari pariwisata. Berapa mereka dapat, siapa saja yang hidup dari pariwisata dan siapa pula yang dirugikan. Lalu bagaimana dengan lingkungan dan apa yang sudah dilakukan.

Demikian pula soal masalah lingkungan seperti pencemaran danau, juga Kota Denpasar. Semua harus ada yang mengorkestrasi. “Dulu saya jadi Gubernur sudah mencanangkan Bali Clean and Green. Karena itu saya bikin Simantri agar Bali hijau dan lestari, petaninya juga untung,” jelas Mangku Pastika.

Mantan Gubernur Bali dua periode ini menyoroti kalau anak muda tak mau bertani, ini karena NTP (Nilai Tukar Petani) di bawah 100 sehingga rugi. Agar bisa untung, maka NTP harus di atas 100. Petani itu harus disubsidi (pupuk) dan ada pendamping. Jadi semua harus berpartisipasi dan sungguh-sungguh soal ini,” tegas Mangku Pastika.

Dijelaskan pula soal pendapatan Bali yang mestinya dikelola secara akuntabale dan transparan.
Kalau sistem kerajaan, pajak itu dianggap upeti sehingga bebas mau dipakai apa saja. Tapi dalam sistem demokrasi, rakyat harus tahu kemana saja larinya anggaran itu. “Rakyat jangan diam, jangan koh ngomong. Harus ada partisipasi publik, agar pembangunan bisa lebih baik lagi. Juga soal penanganan sampah. Banyumas bisa dicontoh dan kini dipuji dunia. Kalau mau saya dukung yang mau belajar ke sana,” tambah Mangku Pastika.

Sementara itu Agung Putra dari P3E Bali-Nusra menjelaskan daya dukung dan daya tampung air dan lahan yang makin mengkhawatirkan. Perubahan iklim menjadi ancaman dan harus diantisipasi. “Perlu gali sumber dana untuk penyelamatan lingkungan. Kita perlu fokus dengan ketahanan air dan pangan. Harus kolaborasi dan aksi bersama,” ungkapnya.

Praktisi lingkungan Ketut Sarjana menjelaskan tantangan Bali soal lingkungan yang cukup komplek, seperti soal hutan, laut dan danau yang berdampak pada ketersediaan air. Ini akan mempengaruhi petani. “Karena sulit air akhirnya tanah dijual. Kalau sekarang banyak orang (anak muda) di sawah mereka cuma potret-potret, gak ada yang jadi petani. Mendorong semangat jadi petani, mereka ingin lihat barang itu jadi dan harganya bagus. Karena itu Bali harus punya dana abadi (Bali Conservation Fund). Ini yang bisa selamatkan petani,” tegasnya.

Akademisi Unud Agus Muliawan Putra mengingatkan pariwisata bukan satu-satunya penopang ekonomi Bali. Contohnya ketika covid dan erupsi Gunung Agung menyebabkan pendapatan anjlog. Jadi pertanian, budaya dan kearifan lokal lainnya harus dijaga. Pariwisata sering dianggap penyelamat, terjun di sini dianggap bisa hidupnya bagus.

Dengan konsep Bale (Budaya, Lingkungan dan Ekonomi), Muliawan berharap agar tanah produktif agar pajaknya diturunkan, petani dibantu pasca panen karena harga anjlok, ada lembaga khusus bantu membeli hasil panen serta perlunya regulasi untuk mencegah jual tanah produktif.

Sementara itu Iwan Dewantara menegaskan kondisi Bali memprihatinkan akibat berkurangnya lahan, defisit air, dan masalah lingkungan. “Sumber daya lainnya termasuk budaya juga terancam. Yang juga memprihatinkan masalah yang sangat serius tidak didukung dana yang memadai. Jadi perlu ada komitmen pemerintah daerah mengatasi masalah ini,” jelasnya.

Iwan menambahkan memang sudah ada itikad pemerintah daerah Bali untuk menjaga kelestarian alam dan budaya. Namun ia melihat tata kelolanya belum jelas karena masih bercampur. “Harus ada lembaga independen untuk mengelola dana-dana yang ada agar jelas. Di luar negeri yang mengelola dana konservasi ini dilakukan pihak independen, bukan pemerintah. Yang cinta Bali ini banyak, mestinya mereka ini dilibatkan,” tambahnya. Juga soal investasi yang harus diawasi agar Bali terkelola dengan baik.

Provinsi Bali saat ini sedang menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang RPPLH (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) Provinsi Bali Tahun 2023 – 2053, yang akan menjadi rujukan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Provinsi Bali, dengan dukungan Naskah Akademis yang mengangkat kondisi terkini Bali.

Derasnya laju pembangunan infrastruktur dan sarana pariwisata dikhawatirkan akan semakin meningkatkan alih fungsi lahan terutama Lahan Sawah Dilindungi (LSD) yang merupakan bagian dari system Subak (Warisan Budaya Dunia sebagai Cultural Landscape of Bali) serta tutupan lahan yang terus berkurang dalam 9 tahun terakhir. Dampak Perubahan Iklim menambah Panjang Rentetan peristiwa dan bencana yang terjadi di Bali, di Indonesia dan belahan bumi lainnya. Kondisi ini membutuhkan perhatian serius dan Kerjasama semua pihak untuk Upaya menjaga keharmonisan sumber daya alam dan budaya di Bali.

Undang-Undang No. 15 tahun 2023 tentang Provinsi Bali, juga memberikan penekanan pada upaya untuk menjaga alam dan budaya Bali, yang menjadi aset utama Bali yang memiliki karakteristik Tri Hita Karana.

Pelaksanaan dari UU tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab semua pihak secara kelembagaan dan individu yang tinggal di Bali baik secara permanen maupun sementara (wisatawan). Yayasan Tamiang Bali Mandiri, sebagai LSM yang bekerja di Bali senantiasa berupaya untuk membangun kolaborasi dalam rangka memperkuat komitmen semua pihak untuk kegiatan-kegiatan nyata yang mampu menjaga dan melestarikan sumber daya alam Bali sebagai penunjang kehidupan manusia sekarang dan di masa depan. (bas)