Agung Aswamedha Siap Pimpin IA-ITB 2025–2029: Transformasi Strategis, Kolektif, Dan Berdampak Nyata
(Baliekbis.com), Komitmen untuk menguatkan peran Ikatan Alumni ITB sebagai kekuatan strategis bangsa kembali ditegaskan dalam gelaran Hearing Nusantara IA-ITB kawasan Bali yang digelar pada Minggu (22/6) di Wantilan, The Nusa Dua, BTDC Area. Dalam forum yang penuh semangat dan keterbukaan, Agung Aswamedha, alumni Fisika ITB angkatan 2002, menyampaikan kesiapannya untuk maju sebagai Calon Ketua Umum IA-ITB periode 2025–2029. Akrab disapa Atep, Agung saat ini menjabat sebagai Direktur R&D di Sangkuriang Internasional, perusahaan yang bergerak di sektor teknologi strategis dan industri pertahanan.
Dengan latar belakang sebagai technopreneur, Atep hadir membawa semangat pembaruan yang tidak hanya simbolik, tetapi konkret dan berdampak sistemik bagi peran alumni di tengah tantangan bangsa. “Saya bukan siapa-siapa, tapi saya alumni ITB. Dan itu adalah privilege terbesar saya,” tegas Atep. Dalam forum tersebut, Atep menekankan pentingnya peran alumni ITB dalam memperkuat kemandirian teknologi nasional melalui pengarusutamaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di berbagai sektor strategis.
“Kita harus berani bilang: sebagian pekerjaan bisa dilakukan di dalam negeri. Ini bukan soal ego, tapi tentang kedaulatan,” ujarnya. Alumni ITB, menurutnya, memiliki kapasitas luar biasa dalam mendorong kebijakan teknologi yang berpihak pada dalam negeri, terutama melalui kolaborasi antara industri, perguruan tinggi, dan pemerintah.
Sebagai pengusaha di bidang pertahanan, Atep juga kerap berdiskusi dan menjalin kedekatan dengan Jenderal Kunto Arief Wibowo, tokoh militer yang dikenal vokal dalam isu ketahanan nasional. “Saya pribadi sudah bersepakat dengan Jenderal Kunto, bahwa alumni ITB harus hadir untuk mendukung agenda besar ketahanan nasional. Banyak yang tidak tahu, beliau sangat terbuka terhadap kontribusi sipil dalam membangun resilience bangsa,” ungkap Atep.
Kedekatan ini bukan sekadar simbolis, tetapi menjadi titik tolak gagasan Atep agar IA-ITB mampu menjadi mitra strategis pemerintah dalam menghadapi ketidakpastian global. Dalam paparannya, Atep mengkritisi ketergantungan terhadap skema pendanaan tradisional berbasis donasi. Menurutnya, pendekatan tersebut tidak lagi relevan dalam situasi fiskal dan geopolitik yang kian menantang.
Sebagai gantinya, ia memperkenalkan model pendanaan berbasis sirkel ekosistem alumni, yakni integrasi antara pemilik proyek, pelaksana teknis, dan pemberi pendanaan, yang berjalan secara transparan dan akuntabel. Model ini telah terbukti melalui berbagai inisiatif bisnis dan sosial yang ia bangun, mulai dari alat kesehatan, properti, hingga akuisisi aset kampus seperti gedung di Sulanjana dan kawasan Tendean. “Kalau kita transparan dan tidak ada yang ditutup-tutupi, trust itu tumbuh. Ketika trust tumbuh, loyalitas menyusul. Ini game changer,” terang Atep.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa formulasi ini dirancang agar scalable dan inklusif, dengan melibatkan alumni di sektor keuangan, perbankan, serta institusi pendanaan luar negeri. Salah satu bentuk konkret dari formulasi ini adalah rencana pembangunan Tower Bersama, sebagai proof of concept skema pendanaan baru IA-ITB yang dapat mereplikasi model seperti Harvard Alumni Fund. “Ini bukan hanya soal bisnis, tapi bagaimana alumni bisa menyumbangkan kekuatan finansialnya secara sistemik dan berkelanjutan untuk kampus tercinta ITB,” katanya.
Atep juga memaparkan sejumlah program prioritas, yang berakar pada ekosistem kolaboratif dan pendekatan jangka panjang, antara lain: Inkubator bisnis alumni berbasis sektor unggulan, dengan pendampingan market dan koneksi ke regulator serta akses pembiayaan, Peningkatan kapasitas soft-skill dan mental health untuk alumni muda dan civitas akademika ITB, Beasiswa berkelanjutan bagi mahasiswa dari keluarga prasejahtera, termasuk lewat yayasan alumni 2002, Skema gotong royong alumni untuk mendukung pembangunan kampus dan kegiatan alumni di daerah, Platform komunikasi strategis IA-ITB dengan pemerintah, untuk memperkuat peran alumni dalam memengaruhi kebijakan nasional secara objektif dan konstruktif.
Dalam menjawab pertanyaan audiens, Atep menyebut dua sosok inspiratif: Laksamana Sukardi, pelopor program inkubator bisnis alumni, dan Hatta Rajasa, yang memperkuat sisi emosional dan soft skill melalui program seperti SIAWARE. “Masalah anak ITB itu bukan IQ, tapi EQ. Nah program seperti SIAWARE itu menjawab kebutuhan yang selama ini terabaikan,” katanya. Atep memahami bahwa dinamika dalam tubuh IA-ITB tidak bisa dihindari. Namun baginya, tugas kepemimpinan adalah mengorkestrasi seluruh potensi, bukan sekadar mengelola perbedaan.
“Ini bukan tentang siapa yang paling vokal. Tapi siapa yang bisa mengayomi dan menyatukan,” ujarnya. Dengan latar belakang Bali-Sunda yang ia miliki, Atep menempatkan pendekatan humanis sebagai kunci dalam merangkul seluruh elemen alumni. “Darah saya dua: Bali dari Klungkung, dan Sunda dari Jawa Barat. Kombinasi ini saya bawa untuk menjalin komunikasi lintas latar, karena kita sedang tidak baik-baik saja sebagai bangsa,” ujarnya disambut tawa audiens. Dengan struktur bisnis yang sudah mandiri dan jejaring solid di belakangnya, Atep menyatakan kesiapannya untuk mewakafkan waktu dan energi secara total demi kepentingan IA-ITB. “Ini bukan soal posisi. Ini panggilan jiwa. Alumni ITB sudah waktunya bergerak bersama. Jangan hanya hadir, tapi hadir untuk berdampak.”
Leave a Reply