Menyongsong Munas Kagama ke-13 di Bali, Meneguhkan Kebhinekaan, Menjawab Tantangan Milenial

MUSYAWARAH Nasional Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada (Munas Kagama) ke-13 akan diadakan pada tanggal 15 – 17 November 2019 di Grand Inna Bali Beach, Sanur, Bali. Munas Kagama kali ini akan dibuka oleh Presiden Joko Widodo yang juga adalah alumni Universitas Gajah Mada.

Sumbangan pemikiran dari para alumni akan menjadi agenda penting dalam Munas Kagama ke-13, dan bisa menjadi referensi bagi para pengambil kebijakan mengingat banyak para alumni Kagama berada pada posisi strategis, baik dalam pemerintahan maupun sebagai pemikir yang mempunyai pengaruh besar dalam menentukan kebijakan dan mempengaruhi opini publik.

Munas Kagama pada tahun ini sendiri tak kalah strategisnya mengingat Bangsa Indonesia saat ini tengah berada pada pergolakan di berbagai bidang kehidupan. Berlalunya Pilpres 2019 yang penuh dengan romantika politik bukan berarti bangsa ini lepas dari kemelut persoalan-persoalan riil, kesulitan hidup dan perubahan-perubahan yang sebagian besar dari bangsa ini belum siap menghadapinya, terutama tatanan perubahan perekonimian yang mengacu kepada tatanan perubahan global. Sekretaris Jendral PP Kagama AAGN Ari Dwipayana dalam siaran persnya telah menekankan bahwa saat ini kita tengah menghadapi tantangan persaingan ekonomi antarnegara yang semakin sengit.

Era Digitalisasi dan Milenial

Dunia berubah dan ‘menyatu’. Ini berarti, segala tatanan pergaulan antarnegara dan antarbangsa menjadi lebih dekat, intensif dan mendobrak sekat-sekat kewliayahan. Hal itu terjadi karena dunia bergerak ke arah era digitalisasi. Era ini makin kental menandai peralihan hal-hal yang bersifat konvensional. Generasi milenial adalah yang paling eksis dan akrab dengan piranti perubahan ini. keadaan dan perubahan ini tak bisa lagi dihindari. Dengan demikian, segala pemikiran kebudayaan mau tak mau harus merujuk kepada era digitalisasi ini.

Kebudayaan, dalam segala bentuk implementasinya; politik, ekonomi, tatanan dan persoalan sosial, ranah seni dan budaya, wacana pemikiran dan lain sebagainya, akan menemukan tantangan baru hari ini. Kebudayaan tak lagi bisa beromantisme dengan pemikirn dan tindakan konvensional, bermanja-manja dengan hal-hal buruk seperti; kebiasaan jam karet, awamnya dengan perangkat teknologi informasi, indisipliner, dan lain-lain yang menyebabkan ketertinggalan. Dunia hari ini bergerak cepat dan kompetisi adalah pertarungan kebudayaan yang begitu sengit di tengah pergaulan dunia yang makin mengglobal ini.

Dalam beberapa catatan, bangsa kita begitu banyak tertinggal dengan bangsa dan negara yang lain dalam bidang ekonomi. Sebagai perbandingan saja, kita bahkan tertinggal jauh dengan Vietnam dalam progresivitas ekspor. Vietnam dalam bidang permebelan dan tekstil unggul dari Indonesia. Di bidang tekstil, sejak 2012 ekspor tekstil dan produk tekstil Vietnam = US$ 48 miliar/tahun, sementara Indonesia US$ 13 miliar/tahun.
Ketua Himpunan Industri Mebel Kerajinan Indonesia (HIMKI), Soenarto mengungkapkan, ekspor furnitur kita US$ 2,5 miliar/tahun; sementara Vietnam sudah US$ 9 miliar/tahun.

Dalam satu dekade, Vietnam dan beberapa negara kecil di Asia begitu gencar mengejar ketertinggalan dan kemudian menyadari bahwa mereka harus berani menangkap peluang-peluang yang ada dengan memanfaatkan kemajuan era digitalisasi. Vietnam, yang selama ini jauh dari perhitungan sebagai kompetitor, kini telah menunjukkan ‘giginya’ sebagai negara yang mulai bermain di ranah global. Ada yang bisa dipetik dari Vietnam, ialah keberanian untuk memanfaatkan era digital dan elan vital mengejar ketertinggalan selama ini.

Perubahan tatanan yang revolutif di hampir segala bidang ini harus menjadi pemikiran yang krusial dalam Munas Kagama ini. Mereka harus berani menawarkan pemikiran-pemikiran yang make sense, common sense dan berorientasi menjawab realitas digital hari ini. Kagama adalah himpunan intelektual yang sejak terbentuknya pada 1958 telah berani menawarkan pemikiran-pemikiran baru dan tindakan nyata dalam perubahan sosial. Dan sejauh ini tetap menunjukkan konsistensinya pada pengabdian masyarakat melaui wacana dan tindakan nyata.

Harus pula diketahui, bahwa kondisi tantatangan bangsa kita bukan saja harus berhadapan dengan negara-negara besar dan kecil di dunia, melainkan yang lebih urgen ialah tantangan dalam negeri sendiri. Kita telah tahu bersama, di tengah alam reformasi, kecamuk politik dan ekonomi serta tingkat kriminal sangat tinggi dan hingga kini, terutama dalam ranah politik dan ekonomi, masih memperlihatkan carut-marut realitas politik. Sementara di bidang ekonomi, kemelut kebijakan anggaran, demo buruh yang menuntut kenaikan upah minumum, kemelut KPK, adalah persoalan-persoalan nasional yang membuat kita sulit bergerak menjadi salah satu kompetitor unggul dalam perekonomian global.

Urgensi Pemikiran Persoalan Dalam Negeri

Bangsa ini belum benar-benar bisa menjadi ‘pemain unggul’ dalam tatanan perubahan kebudayaan dunia jika persoalan dalam negeri masih belum beres. Dan yang paling menyedihkan ialah beberapa persoalan itu sebetulnya dapat diatasi dengan mudah oleh bangsa ini jika saja kebersatuan tetap terjaga. Tetapi itulah persoalannya, kita relatif mudah dihasut oleh fitnah, dusta, adu domba, hoax, dan mengentalnya kembali premordialisme. Dalam konteks ini, nampak jelas bahwa tingkat kematangan berbangsa di tengah keberagaman semakin merapuh. Sejumlah peristiwa yang terjadi belakangan ini adalah bukti untuk itu; huru-hara Pilpres 2019, kasus Papua, adalah contoh peristiwa betapa rentannya SARA di negeriini.

Rentannya konflik, baik konflik SARA maupun politik di dalam negeri adalah ‘ancaman’ yang sewaktu-waktu bisa menjadi ledakan besar. Bangsa ini seperti berdiri di atas api dalam sekam yang sewaktu-waktu ditup (oleh provokator maka begitu mudah menjadi kobaran kerusuhan yang bukan tak mungkin menelan korban jiwa yang juga besar. Inilah ancaman yang hingga kini masih terasa menghantui bangsa ini. Telah usainya huru-hara Pilpres, kasus Papua, sedikitnya telah dapat menenangkan bangsa ini. Tetapi belajar dari beberapa peristiwa di hari lalu, kita belum benar-benar mendapat jaminan untuk sewaktu-waktu bisa meledak lagi disebabkan oleh hal-hal sepele yang kemudian ‘ditiup-tiup’ oleh para provokator.

Hal berikutnya yang juga mendesak sebagai persoalan dalam negeri yang krusial ialah rendahnya sumber daya manusia (SDM) dalam peralihan penguasaan tatanan baru teknologi, terutama teknologi informasi. Sistem pendidikan nasional yang gonta-ganti kebijakan juga menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya kualitas SDM kita. Kita tak pernah tahu apa goal besar dari pendidikan nasional kita. Kita belum pernah benar-benar memiliki tujuan konkret yang mapan dalam out put sistem pendidikan nasional kita. Sementara Jepang dan apalagi Eropa, mereka telah lama memiliki sistem yang mapan dalam pendidikan nasionalnya.
Persoalan kemiskinan juga menjadi pengaruh yang signifikan dalam mengambil alih tatanan perubahan yang terjadi saat ini. Menuru laporan Bank Dunia yang bertajuk “Mewujudkan Potensi Perkotaan di Indonesia”, tingkat kemiskinan dan rentan kemiskinan tertinggi berada di pedesaan nonmetro. Tingkat kemiskinan di pedesaan nonmetro sebesar 14,6 %, sedangkan masyarakat yang mengalami rentan kemiskinan mencapai 27,9 %. Angka kemiskinan tertinggi selanjutnya terdapat di perkotaan nonmetro, yaitu tingkat kemiskinan sebesar 11,4 % dan rentan kemiskinan sebesar 26,1%. (Sumber World Banks 2019 via databoks.katadata.co.id).

Sementara itu, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9,41 % dari jumlah penduduk per Maret 2019 atau mencapai 25,14 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan Maret 2018 yang berada di angka 9,82 % atau 25,95 juta jiwa, angka kemiskinan turun sebesar 41 basis poin atau sebanyak 810 ribu jiwa. Dari 34 provinsi, 5 provinsi yang memiliki angka kemiskinan terbesar berada di kawasan tumur Indonesia. Provinsi tersebut adalah Papua (27,53 %), Papua Barat (22,17 %), Nusa Tenggara Timur (21,17 %), Maluku (17,69 %), dan Gorontalo (15,52 %) (databoks.katadata.co.id).

Angka kemiskinan di Indonesia sebagaimana dilaporkan Bank Dunia dan BPS yang mencapai angka 25,14 juta jiwa per Maret 2019 menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan di negeri ini masih menjadi beban negara dan masyarakat. Juga menjadi beban pula dalam mengejar ketertinggalan dalam persaingan global. Meski terjadi penurunan jumlah angka kemiskinan tahun 2019 ini, namun jumlah penduduk miskin sebesar 25,14 juta jiwa bukanlah angka yang kecil. Bagaimanapun, kemiskinan, sedikit banyaknya, akan mengganggu ‘kecepatan’ bangsa ini mengejar ketertinggalannya.

Kemiskinanan memiliki kerentanan yang tinggi pada kecenderungan tindak kriminal, merebaknya tunawisma, rendahnya tingkat kesehatan pada masyarakat miskin, mudah dipengaruhi dengan uang atau benda-benda. Pengangguran menjadi salah satu penyumbang terjadinya kemiskinan, selain ketiadaan modal untuk memulai suatu usaha.

Menjawab tantangan Era Milenial

Telah diungkapkan, tantangan bangsa kita bukan saja dari luar, melainkan juga dari dalam negeri sebagaimana telah dijabarkan di atas. Inilah yang menjadi PR besar bagi himpunan intelektual yang tergabung dalam Kagama. Maka, dalam momentum penting seperti Munas Kagama ke-13 yang akan berlangsung tak lama lagi, mereka harus menggelontorkan pemikiran paling canggih dalam mengemukakan pemikiran, peran dan solusi-solusi praktis bagi persoalan-persoalan masyarakat terkini. Hal itu tentu bertimbang kepada betapa kompleksnya problem kebangsaan kita selama ini. Era milenial sarat dengan teknologi, informasi dan kecakapan tingkat tinggi, maka kenyataan itulah yang menuntut mereka untuk melipatgandakan pemikiran, peran dan tindakan nyata mereka.

Munas Kagama ke-13 nanti, kita harapkan, benar-benar menelurkan pewacanaan yang realistis. Tak ada waktu lagi untuk mengumbar pewacanaan yang tak penting sebagaimana kenyinyiran sejumlah pengamat, politisi dan petualang politik. Para alumni Kagama harus berkukuh kepada komitmen awal sebagaimana pada awalnya organisasi ini didirikan, yakni mengabdi kepada kepentingan masyarakat luas, bersetia kepada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Bangsa ini lebih mementingkan mengejar ketertinggalan daripada mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tak menjawab persoalan; masyarakat lebih mengharapkan solusi nyata daripada pernyataan-pernyataan kosong.

Namun dilihat dari banyaknya alumni Kagama menempati posisi-posisi strategis di pemerintahan, perguruan tinggi, dunia kewiraswastaan, pengamat di lembaga-lembaga penelitian dan institusi survey, maka hal ini akan makin mendekatkan mereka kepada akses untuk menentukan kebijakan-kebijakan praktis, riil dan tepat sasaran; melakukan tindakan-tindakan konkret dalam mengentaskan persoalan-persoalan kebangsaan. Peran penting dan strategis dari alumni Kagama, dengan begitu, akan memiliki sinergi yang cemerlang dalamendekatkan bangsa ini kepada kemajuannya.

Meneguhkan Kebhinekaan

Harus diakui, bangsa kita saat ini belum benar-benar stabil dalam menjaga keberagamannya. Dalam laporan berbagai media, kita ketahui betapa rentannya bangsa kita kepada perpecahan. Sejumlah peristiwa krusial di beberapa daerah mencerminkan instabilitas sebagai suatu bangsa yang beragam. Hampir dua puluh tahun berlangsung Era Reformasi dan kita masih berada dalam kondisi ‘terancam’ sebagai suatu bangsa.

Trauma masyarakat akan huru-hara politik, konflik agama, perseteruan bisnis di kalangan preman hingga pebisnis kelas kakap, pemboman tempat-tempat iabadah, masih terasa kental sebagai luka berbangsa yang beragam. Mereka merasa betapa masih jauhnya kedamaian dalam hidup berbhineka. Mereka masih terancam akan kemungkinan hal tersebut masih bisa terulang kembali. Karena mereka masih menyadari bahwa berbagai kepentingan kelompok-kelompok tertentu dalam kekuasaan, ekonomi, politik dan penguasaan sumber daya adalah penyulut yang mengerikan untuk sejumlah tujuan yang berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok. Dan kemungkinan-kemungkinan akan keonaran politik kekuasaan masih memiliki peluang tinggi ke depannya. Hal ini mudah terjadi mengingat kematangan kita kepada keberagaman belum benar-benar solid.

Inilah bagian terpenting yang harus menjadi agenda utama dalam Munas Kagama tahun ini. Dan hal itu memungkinkan mengingat Kagama lahir dari keberagaman. Sebagaimana kita ketahui, Kagama yang lahir pada tahun 1958 dari Universitas Gajah Mada, sebuah perguruan tinggi yang multikultur di Yogyakarta, sejak masa menjadi mahasiswa di Gajah Mada telah didik untuk menerima keberbedaan. Ditambah pula kota Yogyakarta begitu toleran terhadap pendatang dari berbagai wilayah Nusantara membuat para pemuda dari berbagai daerah yang mengenyam pendidikan tinggi makin tertanam sifat kebhinekaannya.

Mereka pada gilirannya telah terlatih dan telah menerima keberagaman sebagai persaudaraan. Hingga kini, alumni yang terhimpun dalam Kagama ini telah menjadi dewasa untuk meneguhkan rasa kebhinekaan. Dengan demikian, saat mereka kembali ke daerah masing-masing, mereka tak lagi kagok kepada penerimaan mereka terhadap orang lain yang berbeda agama, suku dan keyakinan di daerah mereka. Universitas Gajah Mada telah berhasil menanamkan sifat dan sikap penerimaan keberagaman dengan rasa kenusantaraan.

Maka, dalam Munas Kagama kali ini, mereka sebaiknya mencari dan menemukan formula baru bagi konsep yang paling riil untuk bisa diterapkan secara praktis dan tepat guna dalam meneguhkan kembali rasa kebhinekaan ini. Nasionalisme Indonesia adalah kemutlakan. Ia jelas-jelas lahir dari keberagaman. Maka inilah yang harus ‘diambil kembali’ untuk direkatkan kepada bangsa yang telah mengalami babak-belur dalam politik kekuasan belakangan ini. Karena yang sungguh-sungguh dibutuhkan saat ini ialah kebersatuan yang utuh, teguh, mengalirkan rasa persaudaraan keindonesiaan. Inilah yang akan menjadi dasar kuat bangsa ini mengejar ketertinggalannya.

TAK salah disebutkan bahwa Munas Kagama ke-13 yang akan berlangsung pada 15-17 November 2019 di Bali adalah momentum yang sangat signifikan bagi para alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) dalam perannya menyumbang pemikiran, gagasan, pencarian solusi dan tindakan nyata bagi keberlangusngan negeri ini. Kita boleh berharap banyak kepada mereka karena hampir semua alumni UGM memiliki peran dan posisi strategis dalam pengabilan kebijakan dan mempunyai pengaruh besar dalam mempengaruhi opini publik.

*Putu Suasta adalah alumnus Fisipol UGM dan Universitas Cornell