Penyerapan Aspirasi Rai Mantra: Perlu Masukan Konstruktif dalam Upaya Perbaikan Kualitas Pendidikan Kesehatan

Saat ini, polemik antara Menteri Kesehatan RI dengan organisasi profesi kedokteran hingga akademisi di bidang kedokteran kian mengemuka. Secara terbuka sejumlah Guru Besar Fakultas Kedokteran di Indonesia mengungkapkan keprihatinannya terhadap sejumlah kebijakan Kementerian Kesehatan RI mulai dari Perubahan Tata Kelola Kolegium, Disintergasi Rumah Sakit Pendidikan dan FK serta Mutasi Mendadak Staf Medis.

(Baliekbis.com), Anggota DPD RI Perwakilan Bali Dr. I.B. Rai Dharmawijaya Mantra mengatakan polemik terkait kebijakan Kemenkes yang terjadi saat ini perlu segera diselesaikan agar dampaknya tidak semakin meluas. “Kami memandang pentingnya sinkronisasi melalui ruang-ruang dialog yang partisipatif dengan melibatkan seluruh institusi terkait. Komite III DPD RI memilki peranan sebagai mediator dan pengawas untuk memastikan transformasi pendidikan kesehatan dapat berjalan dengan baik,” ujar Rai Mantra memantik diskusi terkait UU Kesehatan khususnya Transformasi Pendidikan Kesehatan, Selasa (3/6/2025) yang berlangsung di Kantor DPD RI Renon Denpasar.

Hadir pada FGD (Focus Group Discussion) tersebut yakni dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, RS Pendidikan Prof. dr. I.G.N.G Ngoerah, RSUD Bali Mandara, RSUD Wangaya, RSUD Mangusada, RSUD Sanjiwani, RS Udayana, Akademisi/Perguruan Tinggi Kesehatan, IDI, ARSSI, PKFI dan organisasi terkait. Rai Mantra berharap diskusi ini dapat menghasilkan masukan-masukan konstruktif dalam upaya perbaikan terhadap kualitas pendidikan kesehatan di Indonesia. Transformasi sistem pendidikan kesehatan menjadi hal krusial dalam mendukung ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten dan merata di seluruh Indonesia.

Komite III DPD RI memandang pentingnya pengawasan dalam proses transformasi tersebut untuk memastikan terwujudnya layanan kesehatan yang berkualitas. Dalam sebuah Deklarasi bertajuk “Salemba Baru” yang dibacakan oleh Ketua Dewan Guru Besar FKUI disampaikan kebijakan kesehatan nasional saat ini menjauh dari semangat kolaboratif antara Pemerintah, Akademisi, dan Tenaga Kesehatan.

Dikhawatirkan kebijakan ini akan menurunkan mutu pendidikan kedokteran yang kemudian berdampak terhadap layanan kesehatan masyarakat. Banyak pihak kemudian juga menilai kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan RI tidak sesuai dengan prosedur. Sejatinya, kewenangan pendidikan kedokteran berada di bawah KemendiktiSaintek dengan melibatkan Kementerian Kesehatan RI, Organisasi Profesi, dan Akademisi yang kemudian dijembatani oleh Komite Bersama.

Diskusi menghasilkan antara lain mendorong sinkronisasi Kebijakan Sistem Pendidikan Kedokteran antara Kementerian Kesehatan dan Kemendikti Saintek melalui penguatan Komite Bersama. Mengkaji ulang Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait (Organisasi Profesi, Institusi Pendidikan/Akademisi) secara lebih bermakna (Meaningfull Participation).

Merekomendasikan adanya fleksibilitas bagi Rumah Sakit Pendidikan dalam menjalankan konsep University (Academic) Based dan Hospital Based dalam rangka peningkatan produksi dokter spesialis dengan tetap memperhatikan kemampuan finasial rumah sakit. Menyederhanakan konsep Hospital Based sebagai salah satu upaya pemerataan distribusi serta mengurangi beban pembiayaan yang dikeluarkan calon dokter spesialis.

Mendorong adanya kejelasan berkaitan dengan mekanisme pembiayaan insentif serta standarisasi kompetensi antara Hospital Based dan University (Academic) Based. Mendorong adanya penetapan terhadap standarisasi biaya pendidikan kedokteran untuk memastikan aksesibilitas dan keterjangkauan bagi calon peserta didik. Mendorong upaya-upaya promotif dalam pencegahan tindak bullying/ perundungan dalam pendidikan kedokteran.

Sistem pembiayaan fasilitas kesehatan melalui pembiayaan BPJS yang lebih bermartabat Mempertimbangkan perubahan nomenklatur Rumah Sakit Khusus ke Rumah Sakit Umum terutama pada RSGM (Rumah Sakit Gigi dan Mulut). Mendorong percepatan revisi Permendikbudristek Nomor 53 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi – guna memberikan kepastian bagi perguruan tinggi dalam penyusunan kurikulum.

Menyederhanakan syarat pembukaan program studi spesialis kedokteran gigi utamanya bagi Perguruan Tinggi Swasta melalui revisi aturan pada tiap konsil. Mendorong kesetaraan akses bagi dokter yang berpraktik penuh di Rumah Sakit Swasta untuk mendapatkan pendidikan sub spesialis. Merekomendasikan adanya standarisasi pengupahan dan kontrak minimal bagi tenaga kesehatan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan. Mendukung adanya beasiswa khusus bagi pendidikan dokter dan dokter spesialis sebagai pemerataan distribusi dokter di daerah.

Di awal diskusi, Ketua IDI Bali dr. I Made Sudarmaja,M.Kes. mengatakan ketika membuat UU kesehatan jarang melibatkan organisasi profesi. Dulu Kolegium posisinya independen berada di bawah koordinasi IDI. Namun, saat ini langsung di bawah Kemenkes, terjadi pencabutan peran Kolegium secara halus. Padahal organisasi profesi harus profesional mengacu tiga hal yakni Knowledege, Skill dan Ethic.

“Sekarang dengan adanya UU Kesehatan yang baru, ketika ada tenaga kesehatan melakukan pelanggaran etik, siapa yang akan menindak. Kemenkes sebaiknya lebih banyak mengurusi urusan kesehatan yang menjadi domain utama,” harapnya. Wakil Dekan FK Unud mengatakan Perubahan kolegium akan sangat berpengaruh dalam proses sertifikasi kompetensi. Disintegrasi RS Pendidikan dan FK berdampak pada kesinambungan pendidikan dokter spesialis dan sub spesialis serta kualitas layanan dan pendidikan kedokteran secara keseluruhan Dijelaskan terjadi bullying dimana FK Udayana ranking 3 Nasional, namun tindak lanjutnya tidak ada, yang mendapatkan hukuman hanya 1 orang.

Menurutnya hal penting saat ini mendistribusikan PPDS agar lebih merata, jangan justru menurunkan kompetensi. Ken Wirianti selaku Direktur SDM, Aparatur, Penelitian RSUP Prof. dr. I.G.N.G Ngoerah mengatakan UU 17 Tahun 2023 sudah jelas menstate bahwa RS bisa menjadi RS pendidikan, tetapi untuk menjadi RS pendidikan perlu melalui proses dan penetapan dari Kemenkes. RS Prof. Ngoerah telah ditetapkan sebagai penyelenggara utama pendidikan spesialis untuk Universitas Udayana.

“Sampai saat ini kegiatan pendidikan di RS Prof. Ngoerah (Hospital & University Base) berjalan baik-baik saja,” ungkapnya. Penting mengedepankan komunikasi dan koordinasi dalam upaya sinkronisasi antara RS Pendidikan dan FK untuk meminimalisir terjadinya perseteruan. Terkait insentif, menurutnya sedang proses pengkajian pemberian insentif kinerja terhadap residen/calon dokter spesialis. Prof. Ketut Suastika mengatakan Hospital Base & University Base mengadopsi sistem di luar negeri.

Apabila hospital base, seharusnya mereka (Residen/Calon spesialis) diberikan insentif. Sebab mereka bekerja dan alat-alat medis digunakan langsung kepada pasien, tidak dibuang begitu saja. Menurut Dekan FK Univ. Mahasaraswati ini perlu menyederhanakan konsep Hospital Base sehingga tidak perlu ada lagi urusan membayar dan Kemenkes akan lebih mudah dalam melakukan pendistribusian. “Saya khawatir nantinya kuantitas dokter terlalu banyak, namun kualitasnya tidak seimbang,” jelas dr. Suastika.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali Dr. dr. I Nyoman Gede Anom,M.Kes. mengatakan rasio kebutuhan dokter umum di Bali masih kurang dari total jumlah penduduk, juga spesialis dan bidan. Diharapkan adanya pembukaan moratorium jurusan pendidikan kedokteran. “Dokter sangat menumpuk di Denpasar dan Badung. Perlu pendistribusian di dalamnya. Untuk memenuhi kebutuhan dokter, Kemenkes menyediakan program beasiswa baik untuk program Dokter Umum dan Spesialis,” tambahnya. Pihak ARSI Bali mendorong adanya kesetaraan akses bagi dokter yang berpraktik penuh di RS Swasta untuk mendapatkan pendidikan sub spesialis.

PKFI Bali menyebutkan turn over Dokter Umum di Klinik sangat tinggi, karena mereka ingin melanjutkan pendidikan spesialis. Adanya standar pengupahan dan kontrak minimal bagi tenaga kesehatan. Klinik swasta dapat menjadi wahana pendidikan spesialis. Wakil Dekan III Unwar mengatakan berkaitan dengan kompetensi Tenaga Kesehatan (Mutu Lulusan) tidak perlu dikhawatirkan sepanjang institusi pendidikan dapat menjalankan Permen 53 dengan baik, pemenuhan akreditasi, dan sertifikasi lainnya. Dekan FKG Mahasaraswati menyebutkan kekurangan dokter gigi tidak hanya terjadi di daerah terpencil juga di perkotaan. Dibutuhkan kebijakan pemerintah untuk stimulasi pendistribusian di daerah 3T/DPTK. (ist)

Leave a Reply

Berikan Komentar