Penyerapan Aspirasi Rai Mantra: Faktor Budaya dan Kepatuhan Pasien Menjadi Tantangan Penanganan TBC

Indonesia saat ini berada di peringkat 2 dunia sebagai penyumbang penderita TB terbanyak setelah India dan Cina di posisi 3. Diduga terdapat 824 ribu masyarakat Indonesia terkonfirmasi sebagai pasien TBC.

(Baliekbis.com), Masih adanya stigma terkait TBC, pengaruh budaya dan kepatuhan pasien berobat menjadi tantangan dalam penanganan pasien tuberkulosis. Tingginya mobilitas penduduk juga berpotensi dalam persebaran kasus TBC ini.

Demikian antara lain mengemuka dalam kegiatan Penyerapan Aspirasi Anggota DPD RI perwakilan Bali I.B. Rai Dharmawijaya Mantra terkait Penanganan TBC dan Penyakit Menular Lainnya, Senin (2/6/2025) di Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Bali.

Penyerapan aspirasi dihadiri Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr. I Komang Perdana, unsur RS, Puskesmas dan pihak terkait. Pada acara tersebut juga terungkap kendala yang dihadapi petugas dalam penanganan pasien TB seperti penyediaan obat yang saat ini difasilitasi Kemenkes. Saat ini terjadi kekurangan stok obat seperti pot dahak, TCM.

Meski demikian, tugas Dinkes bagaimana memastikan stok obat tetap terjaga. Menurut Kabid P2P Dinas Kesehatan Bali Wayan Widia penemuan kasus TB di Bali masih di bawah target. Dari target 6 ribu, baru 5 ribuan (84 persen). Denpasar terbanyak temuan kasus TB-nya.

Kendala dalam penanganan TB  karena warga yang kontak erat jarang melapor. Padahal potensi penularan TBC yang cepat melalui kontak erat.  Minat minum obat warga yang kontak erat juga kecil. Semua kasus yang ditemukan diupayakan diobati. Obat maupun logistik diberikan gratis yang didukung Kemenkes.

Menurut dr. Wisnu dari Puskesmas II Denbar, kasus TBC yang ditangani di puskesmas yakni tingginya mobilitas penduduk (Denpasar), pasien harus berkunjung rutin untuk periksa dan ambil obat. Juga BPJS tidak memberi batasan pasti seberapa besar pasien bisa dibantu untuk yang di luar faskes. Masalah terbesar penanganan TB adalah stigma. 

Masalah lainnya yakni warga umumnya dari luar daerah yang belum mempunyai NIK sehingga tidak dapat/sulit untuk mengakses jaminan layanan kesehatan (BPJS). Juga terkait biaya untuk datang ke faskes. Karena untuk kunjungan minimal sebulan sekali. Dan ini juga melibatkan warga yang kontak erat. Sehingga perlu biaya cukup besar terutama pasien yang kurang mampu.

Kadek Wira dari Puskesmas 1 Denpasar Timur mengatakan di Perda/aturan lainnya belum mencantumkan biaya terkait penanganan TB. Ketika digratiskan ini justru menjadi temuan, sehingga dibutuhkan payung hukum di dalamnya. Tingginya stigma TB dimana banyak pasien yang menolak ketika dikunjungi ke rumahnya. Dibutuhkan perlindungan hukum, agar ketika terjadi penolakan, terdapat dasar yang jelas.

Di Puskesmas 3 Denpasar Utara ditemukan pasien TB ada yang mengalami depresi sehingga dibutuhkan penanganan lanjutan. Banyak yang tidak mempunyai NIK sehingga sulit ketika mengakses berbagai layanan kesehatan yang ada.

Pihak RSUD Wangaya mengatakan sudah melakukan skrining terhadap penyakit menular. Rendahnya kesadaran dalam pengobatan (tidak mau melakukan pemeriksaan) sehingga potensi persebarannya meluas.

Direktur RS Bali Mandara dr. Gusti  Ngurah Putra mengatakan rendahnya tingkat kepatuhan. Pasien TB ketika minum obat terlalu banyak akan jenuh dan juga menimbulkan suatu ketidaknyamanan. “Banyak orang asing yang berobat menggunakan BPJS. Sekitar 60% WNA  menggunakan BPJS. Orang luar daerah juga banyak yang menggunakan layanan RSBM, namun tidak membayar alias kabur,” jelasnya.

Terkait kondisi yang terjadi, Rai Mantra mengatakan Komite III saat ini menyerap aspirasi yang sedang berkembang di masyarakat baik TBC yang menjadi perhatian juga penyakit menular lainnya untuk dibawa ke pusat dan dicarikan solusinya. Dikatakan penting bagi daerah untuk meningkatkan pencatatan administrasi kependudukan, perlunya ruangan khusus/ruang isolasi untuk menangani pasien TB agar perawatan bisa lebih intensif dan mencegah persebarannya lebih luas. Juga penguatan manajerial, peningkatan kompetensi dan pelatihan bagi nakes/pelaksana program.

Sebagaimana diketahui jumlah kasus TBC diperkirakan sebanyak 1.060.000 dan 134.000 kematian akibat TBC per tahun di Indonesia. Sebagai upaya penanggulangan TBC, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC. Adapun strategi penanggulangan TBC di Indonesia, di antaranya:

  1. Penguatan komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk mendukung percepatan eliminasi TBC 2030.

  2. Peningkatan akses layanan TBC bermutu dan berpihak pada pasien

  3. Optimalisasi upaya promosi dan pencegahan, pemberian pengobatan pencegahan TBC, serta pengendalian infeksi.

  4. Peningkatan peran serta komunitas, mitra, dan multi-sektor lainnya dalam eliminasi TBC.

Melihat kondisi yang terjadi Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin bahkan meminta kepada seluruh jajaran kesehatan untuk memprioritaskan pencarian penderita TBC di tengah masyarakat Indonesia.

Menurut Budi Gunadi, tuberkulosis bisa disembuhkan dengan obat-obatan yang tepat. Pemerintah memfokuskan pencegahan melalui deteksi. Tahun ini, ditargetkan pendeteksian tuberkulosis bisa mencapai 900 ribu kasus.

“Pada 2025 harapannya bisa 1 juta (deteksinya), sudah bisa kita temukan itu mereka yang nanti akan kita kasih obatnya,” kata Budi. Pendeteksian dan penanganan tuberkulosis sendiri masuk ke dalam tiga program quick win di sektor kesehatan yang dicanangkan pemerintah. Dua program lainnya adalah skrining kesehatan gratis di semua siklus hidup dan mempercepat pembangunan rumah sakit di daerah terpencil. (ist)

Leave a Reply

Berikan Komentar