Dekonstruksi Patriarki Gagas Gerakan Perempuan Akar Rumput
(Baliekbis.com), Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Bisnis, Sosial, dan Teknologi Humaniora (FBSTH) Universitas Bali Internasional mengadakan Seminar Nasional bertema “Solidaritas Feminisme: Strategi Dekonstruksi Patriaki Melalui Gerakan Akar Rumput”, yang berlangsung pada 7 Mei 2025. Acara ini menjadi ruang diskusi penting bagi civitas akademika dan publik untuk menelaah isu-isu gender, dari perspektif akar rumput hingga kebijakan internasional. Acara ini diawali dengan sambutan dari Koordinator Program Studi Hubungan Internasional, Bapak Katong Ragawi, yang mengawali acara dengan kutipan inspiratif dari Rossa Remsenburg. Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Ibu Dekan FBSTH dan Bapak Wakil Rektor I, yang turut menegaskan pentingnya isu kesetaraan dalam dunia akademik dan sosial serta sekaligus membuka secara resmi acara seminar nasional.
Terdapat tiga narasumber hebat, yaitu Ibu Ni Putu Tirta Dewi Mahayogi, Amd. Keb., S. KM dan Ibu I Gusti Ayu Andani Pertiwi, S. S., M. Si yang berasal dari Bali Sruti. Kemudian Ibu Misiyah, M. Si yang berasal dari Institut Kapal Perempuan. Ketiga Narasumber ini merupakan tokoh yang bergerak di bidang kemanusiaan, khususnya pemberdayaan perempuan.
Ibu Tirta menjadi pembicara pertama yang mengangkat suara perempuan akar rumput mereka yang selama ini terpinggirkan dari berbagai aspek kehidupan. Ia menekankan pentingnya pengorganisasian kelompok marginal yang rentan menjadi korban ketidakadilan. Salah satu upaya nyata yang ia lakukan adalah membentuk Sekolah Perempuan, sebuah organisasi komunitas yang bertujuan membantu perempuan sadar akan hak-hak gender mereka. Menurutnya, tantangan terbesar yang dihadapi berasal dari budaya patriarki yang telah mengakar kuat di masyarakat. Untuk itu, Sekolah Perempuan juga menyediakan pos pengaduan sebagai bentuk pendampingan. “Perubahan sosial dimulai dari yang kecil, yang dekat, dari wanita,” ujarnya dengan penuh semangat.
Pembicara kedua Ibu Andani mengajak peserta untuk memahami lebih dalam apa itu patriarki budaya yang menempatkan laki-laki di atas perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Ia mendorong dekonstruksi terhadap peran-peran gender yang dianggap “alami” namun sesungguhnya membatasi perempuan. Dalam pemaparannya, ia menegaskan bahwa akar rumput menjadi garda terdepan dalam mendobrak struktur sosial yang timpang, melalui strategi seperti pendidikan, pelatihan, pemberdayaan suara komunitas, dan perubahan norma lokal.
Pembicara ketiga, Ibu Misiyah dari Institut Kapal Perempuan, memperluas lagi perspektif dengan membahas kesetaraan gender di tingkat nasional dan internasional. Ia menyampaikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penandatangan Sustainable Development Goals (SDGs) 2015–2030, dengan janji global untuk menghapus diskriminasi, menghentikan perkawinan anak, dan menjamin akses pendidikan bagi semua anak perempuan. Kapal Perempuan sendiri merupakan suatu organisasi feminis yang berdiri sejak 8 Maret 2000, berprinsip pada “No One Left Behind”, dan aktif mendorong implementasi SDGs untuk pemberdayaan perempuan secara menyeluruh.
Sesi diskusi dalam seminar ini berlangsung dinamis, terutama saat membahas peran laki-laki dalam mewujudkan kesetaraan gender. Para narasumber menekankan bahwa laki-laki harus menjadi mitra yang sejajar dalam membangun relasi yang adil, baik di lingkup rumah tangga, komunitas, maupun dalam ranah kebijakan publik.
Selain itu, tantangan besar yang dihadapi adalah kuatnya budaya patriarki, khususnya di wilayah terpencil yang masih sulit menerima nilai-nilai kesetaraan. Dalam menanggapi hal tersebut, disampaikan bagaimana pentingnya membangun kesadaran kritis secara bertahap mulai dari menyadari adanya ketimpangan, menjadi peka terhadap lingkungan sekitar, hingga mengambil tindakan nyata untuk perubahan sosial.
Ketua yayasan Bali Sruti yang hadir turut juga menyoroti pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik, dengan mendorong pemanfaatan kuota 30% secara optimal. Ia menekankan bahwa “perempuan perlu memiliki pemahaman dan kemauan kuat untuk membawa perubahan melalui partai politik”.
Isu lain yang juga dipertanyakan adalah adanya kesalahpahaman terhadap makna feminisme. Disampaikan oleh narasumber bahwa feminisme itu bukan tentang dominasi satu gender, melainkan tentang pembagian tanggung jawab secara setara, saling menghargai, dan membangun relasi yang bebas dari kekerasan, diskriminasi, maupun tekanan sosial.
Seminar ini ditutup dengan menekankan pentingnya memperkuat solidaritas feminisme sebagai upaya bersama dalam menciptakan ruang aman dan adil bagi perempuan, tidak hanya dalam lingkup domestik, tetapi juga di ranah sosial, politik, dan ekonomi. Dengan semangat kebersamaan dan kesadaran kritis, kampus diharapkan dapat menjadi ruang tumbuh bagi generasi muda yang peka dan peduli terhadap isu-isu kesetaraan. (ist)
Leave a Reply