Bedah Buku Prof. Yudha Triguna, “Ritus: Ketahanan Budaya dalam Dinamika Peradaban”
Prof. Dr. IB Raka Suardana,SE.,MM Dekan FEB Undiknas Denpasar: Ketika didapuk menjadi moderator acara Bedah 3 Buku Karya Sosiolog Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna,MS tgl. 14 Mei 2025 di Kampus UNHI, bersama Co Host Dr. dr. Dewa Putu Sahadewa, SpOG (K), tentu saya ‘harus’ membaca juga sebelumnya buku yang akan dibedah, meski secara ngebut. Saya yang biasa membaca buku-buku Ekonomi dan Manajemen (meskipun banyak berhimpitan), menjadi lumayan tahu tentang ilmu ini. Berikut saya buat catatan singkat dari salah satu buku yang dibedah, yakni buku: “Ritus: Ketahanan Budaya dalam Dinamika Peradaban.
(Baliekbis.com), Sosiolog Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna,MS meluncurkan tiga buku masing-masing berjudul “Makro Humaniora”, “Ritus: Ketahanan Budaya dalam Dinamika Peradaban” dan “Meneroka Teori Kritis: Dari Filsafat Marxisme hingga Teori Ras”. Peluncuran buku ini dihadiri pula Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI Prof. Dr. I Nengah Duija,M.Hum., Rektor UNHI Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa,MS, Dekan FIASB Prof. Dr. I Ketut Suda,M.Hum. serta guru besar, dosen, dan alumni Program Doktor UNHI.
BUKU “Ritus: Ketahanan Budaya dalam Dinamika Peradaban” karya Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, merupakan kontribusi penting dalam kajian sosiologi budaya yang menyoroti bagaimana ritus mampu bertahan di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Buku ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga analitis dalam memetakan peran vital ritus dalam struktur sosial.
Prof. Yudha Triguna menunjukkan bahwa ritus berperan sebagai benteng identitas budaya yang tidak mudah digantikan oleh logika modernitas. Ini selaras dengan teori identity politics (Castells, 2010) yang menekankan pentingnya simbol dan praktik budaya dalam membentuk identitas kolektif yang tahan terhadap globalisasi homogen.
Ritus menjadi instrumen pengikat yang tidak hanya mempertahankan nilai lama, tetapi juga memperkuat posisi identitas lokal dalam arena global.
Lebih lanjut, buku ini menegaskan bahwa ritus bersifat lentur dan adaptif terhadap perubahan tanpa kehilangan makna dasarnya. Dalam kerangka cultural resilience (Adger, 2000), fleksibilitas ritus memungkinkan masyarakat mempertahankan makna tradisional dalam bentuk baru yang sesuai dengan tantangan zaman.
Proses ini menggambarkan dinamika struktur dan agensi sebagaimana dijelaskan dalam teori strukturasi oleh Giddens (1991), di mana ritus menjadi arena rekonstruksi nilai yang dilakukan terus-menerus oleh aktor sosial.
Ritus tidak kaku, namun berevolusi tanpa melepaskan substansi simboliknya. Dalam konteks ini, Clifford Geertz (1973) memberikan landasan teoritis penting bahwa ritus adalah sistem simbolik yang membantu masyarakat menginterpretasi realitas sosial. Buku ini menggunakan kerangka tersebut untuk menjelaskan bahwa dalam setiap ritus terkandung lapisan simbolik yang kompleks dan berfungsi sebagai bahasa budaya yang hidup.
Kekuatan lain dari buku ini terletak pada penggalian fungsional ritus sebagai perekat solidaritas sosial. Dalam hal ini, pemikiran Emile Durkheim (1912) mengenai collective effervescence menemukan relevansinya. Ritus menciptakan suasana kebersamaan yang memperkuat keterikatan emosional masyarakat terhadap nilai-nilai kolektif.
Buku ini juga menyentuh aspek penting dari ritus sebagai ruang kontemplasi dan spiritualitas, yang dalam kerangka teori emotional energy (Collins, 2004) berfungsi memperkuat koneksi psikologis individu terhadap masyarakat dan terhadap nilai transendental. Dalam dunia modern yang penuh disrupsi dan kelelahan mental, ritus menawarkan jeda sakral yang membawa refleksi, pemulihan, dan makna personal.
Fungsi ritus dalam membangun harmoni sosial juga dipaparkan secara menarik. Ritus menjadi arena komunikasi simbolik yang menjembatani perbedaan-perbedaan sosial dan memperkuat kohesi komunitas. Dalam pandangan Habermas (1984) mengenai tindakan komunikatif, ritus dapat menjadi medium untuk membangun konsensus sosial yang berbasis pada pemahaman bersama, bukan dominasi. Maka, ritus berfungsi tidak hanya dalam ranah sakral, tetapi juga dalam praktik sosial sehari-hari sebagai pemersatu nilai dalam keberagaman.
Namun demikian, buku ini juga memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan yang menonjol adalah keterbatasan dalam menyajikan data empiris kontemporer yang dapat mendukung argumentasi teoritis. Meskipun paparan konseptualnya kuat, pembaca yang mencari data lapangan atau studi kasus yang lebih konkret mungkin merasa kurang terpuaskan. Selain itu, fokus buku masih sangat bersifat normatif dan kurang memberi ruang pada analisis kritis terhadap kemungkinan ritus dijadikan alat kekuasaan atau dikomodifikasi oleh institusi.
Dalam perspektif sosiologi kritis seperti yang diuraikan oleh Zygmunt Bauman (2001) tentang liquid modernity, ritus juga rentan terhadap pelunturan makna ketika dijadikan objek pasar atau komoditas wisata. Hal ini seharusnya menjadi bagian dari diskusi agar ulasan menjadi lebih seimbang.
Secara keseluruhan, buku Ritus: Ketahanan Budaya dalam Dinamika Peradaban adalah kontribusi penting bagi pemahaman sosiologis tentang bagaimana masyarakat menjaga kesinambungan nilai budaya melalui ritus. Buku ini menyatukan kedalaman teori dengan kekayaan refleksi budaya lokal, menjadikannya bacaan wajib bagi siapa pun yang tertarik pada studi budaya, agama, dan perubahan sosial.
Meskipun terdapat beberapa celah dalam aspek empiris dan kritik struktural, kekuatan konseptual buku ini tetap menjadikannya sebagai referensi utama dalam diskursus tentang ketahanan budaya di era global.
Semoga Bermanfaat!
Leave a Reply