Workshop Banten di PKB ke-40, Badan adalah Kunda Api

(Baliekbis.com), Bali memang memiliki segudang ritual adat yang mengagumkan. Namun ketika krama Bali ditanya perihal makna banten atau sekadar ditanya kenapa pakai sampian terkait, mereka justru menjawab “nak mule keto”. Sungguh suatu ironi bagi Pulau Dewata, Bali. Ketika tempat itu disebut-sebut memiliki penduduk yang amat religius. Justru sejatinya mereka hanya menjalankan tanpa tahu maknanya. Dan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali berusaha memperbaikinya. Ada Workshop “Banten” di Gedung Ksiarnawa, Minggu (1/6). “Disinilah akan dijelaskan kenapa harus buat sampian ini-itu,” ucap Dewa Putu Beratha, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali saat membuka workshop. Dengan menghadirkan Ida Pedanda Gede Made Putra Kekeran bersama Ida Pedanda Istri Oka Kekeran sebagai narasumber workshop “Banten”. Obrolan berawal dengan membicarakan api atau teja dalam memberdayakan energi semesta dalam Agama Hindu. Bagi masyarakat Hindu, api amatlah disucikan. Tak jarang Api menjadi sarana untuk memohon segala kebaikan juga menghilangkan sifat buruk manusia. “Biasanya menggunakan Banten Tebasan Pasupati, Tebasan Candra Geni, Tebasan Sabuh Rah, Tebasan Raja Singa, Tebasan Pesengan Lara, Tebasan Pengalangan Hati,” jelas Pedanda asal Blahbatuh itu.

Api sebagai salah satu energi alam, dapat berwujud riil, cahaya, dan panas atau suhu. Tak terkecuali Ida Pedanda Gede Made Putra Kekeran juga menyoroti api dalam tubuh manusia. Badan adalah Kunda (tempayan) api, ada tiga lapisan badan didalamnya adalah sebagai bahan bakar, sedangkan apinya muncul dari kekuatan Tuhan, yakni sapta (tujuh) Omkara.“Api dalam tubuh berfungsi mengatur keseimbangan. Seperti hakikat hukum rwa bhineda. Jika mampu memberdayakan suatu hal dengan baik, maka kebaikan yang akan datang. Begitu pula sebaliknya,” ujar Ida Pedanda Gede Made Putra Kekeran. Sampai saat ini pun, hal tersebut masih berlaku. Jika hanya sekedar menjalankan yang sudah ada, tandanya tradisi “nak mule keto” tetap hidup di tengah-tengah peradaban. Artinya, api dalam tubuh kita masih redup. “Tapi ya kembali pada diri kita, mau membiarkannya atau membangkitkannya. Yang pasti bagaimana kita menghidupkan api dalam jiwa jelas menentukan perkembangan kebudayaan Bali ke depannya,” tutur Pedanda Gede Made Putra.(afb)