Transformasi Sosial Kultural Masyarakat Melalui Topeng

(Baliekbis.com), Masih selaras program Pameran Topeng yang berlangsung di Bentara Budaya Bali (24 Februari – 3 Maret 2018), diselenggarakan pula Bali Tempo Doeloe, yang kali ini merujuk tajuk “Topeng: Jejak  Arkeologis dan Historis Bali”. Dialog ini berlangsung pada Minggu (25/02) pukul 19.00 WITA.

Bali Tempo Doeloe seri ke-19 ini mendiskusikan perihal keberadaan topeng dan kaitannya dengan transformasi sosial kultural masyarakat Bali. Sebagai narasumber adalah Drs. I Gusti Made Suarbhawa (Kepala Balai Arkeologi Denpasar) dan I Ketut Kodi, SSP, M.Si. (Akademisi, Dalang, Penari Topeng).

Keberadaan topeng di Bali ternyata tidak hanya mencerminkan capaian seni yang tinggi, akan tetapi juga menggambarkan adanya transformasi sosial kultural masyarakat pulau ini. Tidak heran informasi tentang seni topeng juga sudah mengemuka sejak zaman Kerajaan Gelgel (abad 15-16 M). Bahkan pada masa Kerajaan Bali Kuno, tertera pada prasasti Bebetin 896 Masehi, menyebutkan peristilahan tentang tapel, bukan hanya simbol Bhatara Bhatari, namun kala itu dihadirkan pula dalam ragam seni pertunjukan.

Sedini itu, masyarakat Bali diyakini telah mengenal berbagai jenis kesenian antara lain: lakon topeng (kala itu disebut sebagai petapukan), pewayangan, dan seni tabuh. Seiring perubahan zaman serta merunut jejak historis dimaksud, topeng-topeng mengalami transformasi bentuk.

Seniman yang juga akademisi ISI Denpasar, I Ketut Kodi, mengungkapkan bahwa keunggulan-keunggulan pada seni topeng perlu ditanamkan dan dipahami oleh masyarakat sehingga dapat meningkatkan apresiasi mereka terhadap seni budaya yang adiluhung itu. Apresiasi terhadap kesenian topeng diharapkan dapat membantu masyarakat mengenal jati dirinya.

Dalam proses sejarah yang penjang, dari mulai era klasik hingga kontemporer, kita bisa menyanding-bandingkan antara topeng-topeng mitologis yang diyakini berkekuatan magis dengan patopengan yang biasa digunakan dalam drama tari, juga topeng-topeng kreasi modern dan kontemporer. Setiap topeng menegaskan eksistensinya tersendiri, namun secara keseluruhan terangkai tak terpisahkan sebagai jati diri masyarakat Bali.

“Seni topeng kini telah bertransformasi, atau bisa saya ibaratkan seperti Tri Wikrama, yang berarti melangkah tiga kali. Dalam hal ini, topeng mengalami perkembangan fungsi dari  fungsi semula yakni sebagai topeng tenget, berkembang menjadi topeng ukir, dan topeng beli-belian,” ujar I Ketut Kodi.

I Ketut Kodi, SSP, M.Si dikenal sebagai sosok dalang ternama multitalenta, dengan suara yang khas. Selain mendalang, ia juga merupakan seorang seniman calonarang. Bersama tim kesenian ISI Denpasar ia melawat dan berpentas ke India pada tahun 2011 dalam tajuk “Bali Puppets Meet India Puppets”. Ia juga sempat menyutradarai garapan Seni Pakeliran Inovatif “Wayang Sampat Somya”, dipentaskan oleh Sanggar Seni Singatsu, Singapadu, pada Bali Mandara Mahalango 2014.

Sementara Drs. I Gusti Made Suarbhawa yang merupakan Kepala Balai Arkeologi Denpasar lebih memfokuskan pembahasan pada sejarah dan perkembangan topeng di Bali dari sisi arkeologisnya.

Ia mengungkap bahwa topeng telah muncul pada relief pada masa kerajaan saat manusia telah mengenal olah logam untuk mengekspresikan objek lingkungan sekitar. Topeng-topeng tersebut biasanya dapat berupa motif hias geometris, motif manusia, dan motif bentuk-bentuk yang distilir.

Agenda Bali Tempo Doeloe merupakan dialog berkala dan berkelanjutan yang memutar seri-seri dokumenter tentang Bali. Program yang telah digelar sedari 2013 ini tidak hanya mengetengahkan sisi eksotika dari Bali masa silam, melainkan juga menyoroti problematik yang menyertai pulau ini selama aneka kurun waktu, termasuk kemungkinan refleksinya bagi masa depan.

Beberapa tematik yang telah dihadirkan di antaranya “Denpasar Dalam Tantangan Zaman”, “THE GODS OF BALI: Antara Ritual Sakral Dan Pertunjukan Profan”, “Gema Gamelan Bali ke Masa Depan”, “Citra Dalam Sinema”, “Rudolf Bonnet dan Arie Smit: Cerita Seni Rupa Bali”, “Mistis dan Turistik Bersisian di Nusa Penida”, “Bioantropologi: Tenganan Pegringsingan Dalam Dua Perspektif”, “Jejak DAS Pakerisan Dalam Arkeologi dan Seni”, dan lain-lain. (ist)