Tragedi Penembakan Porro Duka Diadukan ke Komnas HAM

(Baliekbis.com), Tragedi penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat Polres Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 25 April 2018 lalu telah mengakibatkan Poro Dukka meninggal dunia. Sementara Matiduka, mengalami luka tembak di kedua kakinya.

Selain itu, ada pula tindak kekerasan yang dialami oleh 10 warga, salah seorang di antaranya adalah anak SMP. Tragedi ini pun diadukan oleh keluarga korban dan sejumlah organisasi masyarakat sipil ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), di Jakarta, Rabu (2/5).

Beberapa organisasi masyarakat sipil dimaksud, antara lain WALHI, KPA, JATAM, KIARA, YPII, KontraS, HuMa, KruHa, HRW, ELSAM dan YLBHI. “Pengaduan ini bersifat urgen dan akan segera ditindaklanjuti,” kata Hariansyah, Komisioner KOMNAS HAM, saat menerima keluarga korban serta perwakilan organisasi yang mendampingi. Sementara itu pada kesempatan tersebut, organisasi masyarakat sipil yang hadir juga menyampaikan pernyataan sikap terkait tragedi berdarah Pantai Marosi.

“Kami, organisasi masyarakat sipil yang selama ini bekerja pada isu lingkungan hidup, agraria dan hak asasi manusia, mengutuk peristiwa penembakan yang dilakukan oknum aparat kepolisian dari Polres Sumba Barat pada 25 April 2018 lalu,” kata Direktur Walhi NTT Umbu Wulang T Paranggi.

Menurut dia, aparat kepolisian menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengamankan perusahaan industri pariwisata, dengan menyerang masyarakat sipil yang berupaya mempertahankan ruang hidupnya. Penembakan ini, demikian Umbu Wulang, merupakan bukti nyata bahwa kepolisian tidak menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam menghadapi kritik maupun situasi konflik yang terjadi di masyarakat.

Hal ini juga menunjukkan pihak kepolisian tidak bertindak secara profesional. Padahal, telah ada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap Kepolisian NKRI) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. “Kami menyesalkan dan mempertanyakan kehadiran aparat kepolisian dalam pengamanan investasi dan melindungi PT Sutra Marosi, terlebih dengan menggunakan tindak penembakan dan kekerasan yang berujung pada kematian dan luka-luka terhadap warga sipil,” tandasnya.

Bagi organisasi masyarakat sipil, kata dia, peristiwa ini semakin menunjukkan bahwa amanat reformasi tidak mampu dijalankan oleh pemerintah. Kepolisian yang didorong lepas dari TNI, justru menunjukkan watak yang sama. “20 tahun reformasi, aparat kepolisian justru semakin menunjukkan watak aslinya, militeristik. Dan bahkan kepolisian turut mengambil bagian dalam bisnis sumber daya alam, dengan memberikan jasa pengamanan pada perusahaan,” tegasnya.

Buktinya dalam beberapa kasus, masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan sumber-sumber agrarianya, berhadapan dengan aparat kepolisian yang memfasilitasi perusahaan. Sebelumnya, aktivis lingkungan hidup dan pegiat anti korupsi, Daud Hadi juga tewas. Peristiwa ini sebagai akibat dari sikap kepolisian yang tidak menjunjung tinggi asas kesamaan di muka hukum (equality before of law), karena sebelumnya Daud Hadi telah melaporkan kekerasan yang dialami, namun tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian. “Dari berbagai peristiwa buram yang terjadi, kami memandang bahwa janji Nawacita Presiden Jokowi untuk menghadirkan rasa aman bagi warga negara terbukti gagal, dan bahkan diciderai oleh institusi kepolisian,” ujar Umbu Wulang.

Negara, imbuhnya, hadir justru sebagai teror bagi masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya. “Kami mengkritik keras Kementerian ATR/BPN yang selalu menggunakan pendekatan kekerasan dan terlebih menggunakan aparat  keamanan dalam setiap konflik agraria di lapangan. Peristiwa ini bukan hanya memperpanjang angka konflik agraria, namun juga bertentangan dengan komitmen Presiden untuk menjalankan reformasi agraria,” ucapnya.

RKP 2018, lanjut Umbu Wulang, telah menjadikan sektor pariwisata sebagai prioritas pembangunan nasional dan pengembangan dunia usaha. “Tak beda dengan industri ekstraktive, industri pariwisata massal yang mengabaikan hak masyarakat adat/masyarakat lokal, hanya akan memperpanjang konflik agraria,” ujarnya.

Atas tragedi berdarah yang terjadi di Pantai Marosi, Sumba Barat dan tragedi kekerasan lainnya, organisasi masyarakat sipil ini menyampaikan sejumlah tuntutan.

Di antaranya, mendesak Presiden Jokowi untuk memanggil Kapolri terkait dengan keterlibatan kepolisian dalam pengamanan investasi dan penggunaan kekerasan dalam konflik agraria. Presiden juga diminta segera membentuk tim indipenden untuk menyelidiki dan mengungkapkan kasus penembakan di Pantai Marosi. Selain itu, Kapolri didesak segera mencopot Kapolres Sumba Barat karena tidak serius dalam melakukan pengungkapan kasus.

Menteri ATR/BPN juga diminta mengoreksi kebijakan penggunaan aparat kepolisian dan pendekatan kekerasan, bagi kepentingan investasi. Terkait konflik agraria, Menteri ATR/BPN diminta mencopot Kepala BPN Kabupaten Sumba Barat. Bupati Sumba Barat juga diminta bertanggung jawab atas peristiwa ini, karena tidak mampu memberikan perlindungan kepada rakyat serta gagal mengantisipasti terjadinya konflik agraria yang mengakibatkan terbunuhnya warga. Organisasi masyarakat sipil juga mendesak pemerintah segera menghentikan operasi PT. Sutra Marosi. (ius)