Soal “Kasepekang” di Masa Pandemi, Somya Putra, M.H: Perlu Kebijaksaan Dalam Penerapan Hukum

(Baliekbis.com), Dalam masa pandemi Covid-19 ini, tentunya ekonomi semakin susah dan menghadapi situasi yang tidak pernah dirasakan sebelumnya dimana betapa susahnya masyarakat dalam mengakses penghidupan.

PHK ada dimana-mana, tertutupnya lapangan pekerjaan, dan sulitnya mencari celah membuka usaha. Di tengah mirisnya situasi ekonomi khususnya di Bali para sahabat di Lembaga Bantuan Hukum Panarajon sangat prihatin atas keadaan yang menimpa beberapa keluarga di Desa Paselatan, Abang, Karangasem terkait dengan kredit macet di Lembaga Pencingkreman Desa (LPD) adat Paselatan yang menerapkan sanksi adat “kasepekang” hanya gara-gara tidak mampu bayar hutang.

“Masalah ini menjadi buah keprihatinan tidak hanya dalam hal ekonomi tapi juga dalam hal penerapan hukum, khususnya hukum adat,” ungkap Koordinator LBH Panarajon I Made Somya Putra,S.H., M.H., Rabu (21/10) di Denpasar.
Sebab tambah Somya Putra, dalam lembaga keuangan adat yang mensanksi masyarakatnya sendiri yang tidak mampu membayar kreditnya di LPD tersebut tidak diberikan akses kuburan (setra), tidak diberikan sarana prasarana adat, bekerja di wilayah desa adat, kemudian tidak diberikan bagi siapapun untuk melakukan tegur sapa, termasuk juga bersembahyang ke Pura Kahyangan Tiga.

Sanksi tersebut dikenakan juga kepada orang tidak berdosa seperti keluarga bahkan bagi yang sudah mati sekalipun. Bagi Lembaga Bantuan Hukum Panarajon, Hukum Adat yang bernilai tentunya tidak menginginkan masyarakatnya mengalami “kasepekang” yang jumlah hutangnya tidak seberapa dengan “ayah-ayahan” keluarga dan leluhurnya yang menjaga keberlangsungan aset desa dalam hal sekala niskala secara turun temurun.

“Jadi perlu kebijaksanaan dalam penerapan hukum yang lebih seimbang dalam untuk menerapkan sanksi terakhir berupa kesepekang dimana baik kreditur maupun debitur adalah sama-sama korban di masa pandemi ini,” tambah advokat asal Kintamani ini.

Untuk itu perlu dicarikan solusi yang tepat dan bijaksana agar masalah-masalah penerapan sanksi adat yang sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia, Perbankan dan perlindungan filosofis terbentuknya LPD itu sendiri sehingga peraturan-peraturan adat yang semestinya mengayomi tidak menjadi senjata yang memakan krama adat itu sendiri.

Atas keprihatinan tersebut LBH Panarajon meminta agar Taksu hukum adat dan harumnya nama Bali dan Karangasem tetap terjaga bersama tanpa mencari salah dan benar.

Sebab bagaimanapun Hukum Adat Bali adalah kumpulan nilai-nilai dari keseimbangan sekala Niskala yang lahir dari masyarakat Bali yang berlandaskan Hindu.

“Pemangku kebijakan dimohonkan untuk bersama-sama mengkaji dalam membentuk hukum yang penerapannya bijaksana, dan seimbang sekala Niskala,” ujar Somya Putra.

Lembaga Bantuan Hukum Panarajon sangat berharap kasus ini adalah kasus terakhir dan tidak terulang serta para pemangku kebijakan dapat menghentikan sanksi kesepekang ini dengan memberikan solusi yang lebih tepat guna menghindari pelanggaran hak asasi manusia dan menjadikan hukum adat Bali menjadi hukum yang penuh wibawa, berkebijaksanaan tinggi serta menghindari sistem adat yang justru memakan krama Bali itu sendiri. (ist)