Sanggar Lokananta dan Sanggar Gumiart Sajikan Garapan Menarik nan Nasionalis

(Baliekbis.com), “Anak anak itu garapannya lumayan menarik (Sanggar Lokananta-red), yang kedua ini kekinian dan nasionalitas (Sanggar Gumiart-red),” ujar I Wayan Dibia selaku pengamat seni dalam Bali Mandara Nawanatya III memberi komentar pada Sabtu (24/11) malam.

Gelar Seni Akhir Pekan Bali Mandara Nawanatya III kembali mengisi malam minggu di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar. Komentar I Wayan Dibia menjadi cermin bahwa seniman yang dihadirkan memilki kualitas untuk senatiasa menjadi tontonan dan tuntunan bagi masyarakat. Langit malam yang telah menjemput tak menyurutkan semangat para penampil dari Sanggar Lokananta Singapadu, Gianyar dan Sanggar Gumiart Denpasar. Tepat pukul 19.30 wita, kursi empuk berwarna merah telah hampir terisi penuh oleh penonton yang tak sabar menyaksikkan penampilan kedua sanggar ini.

Sanggar Lokananta Singapadu, Gianyar hadir sebagai penampil pertama dengan garapan bertajuk Rare Mas. “Rare Mas sendiri terinspirasi dari kampung halaman sendiri, dari Singapadu. Meski masa kecil sejatinya dihabiskan dengan bermain tapi mereka belajar tari, peduli pada kesenian di Bali,” jelas I Wayan Sutirta selaku pemimpin Sanggar Lokananta. Garapan ini pun dimulai dengan kemunculan seorang anak laki-laki yang boleh dibilang berperan sebagai narator dalam cerita Rare Mas. Setelah menuturkan beberapa hal seperti harapan akan berlanjutnya Nawanatya, barulah garapan pun dimulai dengan kemunculan anak-anak yang menari dengan enerjik.

Konflik pun muncul, saat anak-anak yang ingin berlatih tari dicemooh oleh laki-laki yang tak lain adalah suami dari guru tari si anak-anak. Lelaki dengan tokoh antagonis ini pun memiliki kegemaran metajen (sabung ayam). Kekalahan dalam sabung ayam pun akhirnya menyadarkan lelaki itu bahwa mempelajari budaya Bali bukanlah suatu hal yang dianggap remeh, melainkan kewajiban untuk melestarikannya adalah hal yang perlu disadari.

Bagi I Wayan Dibia garapan ini tergolong sebuah garapan yang menarik, namun ada beberapa hal seperti remaja yang memerankan orang yang gemar metajen. “Meski remaja itu didandani seperti orang dewasa tapi tetap saja figurnya remaja,” terah Dibia.
Setelah garapan yang menarik, garapan kedua bertajuk Sukasada Ing Ran dari Sanggar Gumiart mengajak penonton untuk menyadari tak ada negeri yang seunik dan sekaya Indonesia. “Kita ingin menunjukkan bahwa kita negara yang besar dari segi keragamannya adatnya, produk intelektual manusia, keramah tamahannya,” ujar I Gede Gusman Adi Gunawan selaku pemimpin Sanggar Gumiart.

Menurut penuturan Gusman, garapan ini sejatinya terdiri dari 4 karya yang dibingkai menjadi 1 roh karya dengan judul Sukasada Ing Ran yang berarti jagad keindahan. “Awalnya begini kita tahu sekarang ini ada isu sara ditengah musim politik, jadi kita ingin mengingatkan lewat sebuah karya bahwa kalau keberagaman itu indah, keberagaman itu Indonesia banget gaada yang memiliki seperti kita,” terang Gusman. Melibatkan 23 penari dan 15 kru, Sanggar Gumiart tampil dengan memukau. Gerakan penari sangat aktif dan benar-benar melukiskan keindahan nusantara. Menurut I Wayan Dibia, meski garapan ini sangatlah kekinian namun rasa nasionalisme dapat dirasakan melalui garapan ini. “Nasionalitasnya sangat terasa, bagus,” komentar Dibia mantap.

Bagi Gusman, yang terpenting adalah bagaimana para seniman bisa merespon ruang yang telah disediakan pemerintah. “ Lewat karya kita bisa mengkomunikasikan apa yang ingin kita sampaikan, kalau selalu ada ruang seniman hanya tinggal merespon dan bisa menunjukkan apa yang ingin diutarakan,” ujar Gusman bijak. (gfb)