Retas “Arah Kebijakan Pariwisata Bali ke Depan: Protektif atau Eksklusif?”, Dr. Mangku Pastika, M.M.: Kuncinya ada di Pelaku Pariwisata dan Pemerintah

(Baliekbis.com), Maraknya pelanggaran oleh wisatawan belakangan ini dianggap bisa mengganggu adat dan budaya Bali khususnya pariwisata. Hal ini kemudian memicu berbagai pendapat untuk mengantisipasinya. Sebab Bali sangat bergantung pariwisata. Padahal pariwisata itu sangat rentan.

“Sekarang tergantung pelaku pariwisata itu sendiri dan pemerintah. Apa mementingkan yang quality tourism atau mass tourism. Keduanya kan ada kelebihan dan kekurangannya,” ungkap Anggota DPD RI dapil Bali Dr. Made Mangku Pastika,M.M. saat menjadi salah satu narasumber pada Rembug Terbatas (Retas), Jumat (14/4) di RAH (Rumah Ahli Hukum) Jalan Tukad Musi IV Renon Denpasar.

Dalam Retas dengan tema “Arah Kebijakan Pariwisata Bali ke Depan: Protektif atau Eksklusif?” yang diikuti kalangan akademisi, pelaku pariwisata, praktisi hukum dan birokrasi ini, Dr. Mangku Pastika didampingi Tim Ahli Nyoman Baskara, Ketut Ngastawa dan Nyoman Wiratmaja.

“Kita penting sekali bicarakan pariwisata karena Bali hidupnya bergantung dari sektor ini. Ada gangguan sedikit saja, orang jadi takut dan dampaknya bisa mengganggu ekonomi,” jelas Mangku Pastika.

Bahkan mantan Gubernur Bali dua periode ini mengibaratkan pariwisata seperti memegang anak burung yang belajar terbang. “Kalau salah, bisa lost, bisa mati. Terlalu protektif juga bisa hancur. Sekarang ini turis sudah tidak tertarik dengan lukisan besar, patung besar. Mereka suka yang kecil. Juga turis yang mau nonton tarian tidak banyak seperti dulu. Jadi kondisinya banyak berubah,” tambahnya.

Karena itu kalau ada keinginan apa Bali ke depannya untuk quality tourism atau mass tourism maka perlu ada kajian lebih mendalam. Karena sama-sama membawa resiko.

Kalau yang mass tourism memang belanjanya kecil, yang bagpacker, makan di warung tapi rakyat kecil hidup. Sedangkan yang quality tourism itu dimiliki pemodal besar. Jadi tidak gampang menebak apa protektif atau eksklusif. Sebab gap-nya tinggi, seperti ada turis yang memilih menginap di hotel berbintang dengan harga jutaan tapi banyak juga cari kamar yang seratus ribuan.

“Sekali kita salah pilih resiko untung ruginya besar. Kalau sekarang pilih quality tourism yang akan menikmati siapa? Kalau mass tourism yang akan menikmati siapa dan yang akan mati siapa, pasti ada. Tinggal pilih, yang memilih ya pemerintah dan pelaku pariwisata,” jelas Mangku Pastika.

Diingatkan memang dalam Perda tentang Pariwisata Bali ada unsur budaya. Berarti itu quality tourism, tapi di lapangan kondisinya tidak persis seperti itu. Kombinasinya harus tepat, proporsional sesuai dengan situasi, ‘desa’, ‘kala’, ‘patra’.

Sebagai mantan polisi (Kapolda Bali), Mangku Pastika juga mengingatkan petugas di lapangan agar bijak menangani masalah seperti yang terjadi belakangan ini. Bahkan saat ini sudah 72 yang deportasi sebagaimana disampaikan dari Kanwil KemenkumHAM Bali yang hadir dalam Retas.

“Jangan berdebat di tengah jalan, apalagi penguasaan peraturan dan bahasa Inggrisnya tidak tepat, ini bisa jadi bulan-bulanan. Apa-apa sekarang kan divideokan, jangan bikin malu. Kalau (turis) melanggar bawa ke pinggir, kasi ke petugas yang menguasai, baru bertindak,” pungkasnya seraya mengingatkan kalau dulu ada POA (pelaporan orang asing) ke Polsek dan ini berjenjang ke atas sehingga semua terpantau.

Sementara Prof. Nyoman Sunarta dari Perwakilan Badan Promosi Pariwisata Bali mengatakan apakah yang eksklusif atau protektif itu sisi SDM, Bali, budaya atau pariwisatanya. Dan kalau ingin bangun Bali maka harus tahu apa potensinya. Menurutnya ada banyak motif turis yang datang, ada ingin cari senang, karena Bali aman, dll. Kalau yang datang itu orang pintar apalagi bawa duit banyak tak masalah. “Tapi kalau dia cari duit ke sini, nah itu masalahnya,” tegas Prof. Sunarta

Memilih quality tourism, maka harus berani menyeleksi turis yanng datang juga SDM lokalnya. Ia menyarankan kalau ingin pembangunan berkualitas maka alam harus berkualitas, turisnya berkualitas juga SDM-nya.

Praktisi Hukum, HukumOnline Renata Christha,SH mengatakan kegiatan pariwisata perlu didukung dengan fasilitas, layanan dll. Namun belakangan ini, muncul turis bekerja tanpa izin, ugal-ugalan hingga berbuntut dideportasi. “Memang turis boleh bekerja atau tinggal asal ikuti aturan yang berlaku. Bali punya kekayaan alam dan budaya yang menjadi daya tarik turis,” ujarnya.

Dalam Retas yang menghadirkan pembicara Praktisi dan Branding Expert Handoko Hendroyono, Managing Partner RAH IGB Ananda Pratama dari RAH serta pengusaha motor ini juga mengemuka kalau turis yang datang bukan semua kaya, ada yang cari aman/tenang karena negaranya susah, ada perang, dll. Sementara adanya larangan turis naik motor, dianggap bisa berdampak luas. “Bukan hanya pada pengusaha motor juga pedagang di dalam gang yang kerap didatangi turis dengan naik motor. (bas)