Reses Dr. Mangku Pastika,M.M.: Penting Menjaga Keberlanjutan Budaya Pertanian

“Meski alih fungsi lahan cukup tinggi dan rata-rata kepemilikan lahan petani di Bali kecil sekitar 20 are, namun potensi ini kalau dikelola dengan baik bisa memberi hasil yang cukup. Hal ini terbukti sampai saat ini Bali surplus beras”.

(Baliekbis.com), Anggota Komite IV DPD RI dapil Bali Dr. Made Mangku Pastika,M.M. mengatakan masalah pertanian bukan hanya sebatas menjaga ketahanan pangan. Namun penting juga bagaimana budaya pertanian bisa dipertahankan dan orang (Bali) masih mau bertani.

“Intinya bagaimana bertani itu bisa menguntungkan dan memberi harapan bagi masa depan. Kalau bertani itu merugi, nanti gak ada yang mau jadi petani,” ungkap Mangku Pastika saat reses mengangkat tema: Kebijakan Pertanian Menuju Ketahanan Pangan: Mungkinkah? yang berlangsung Selasa (7/3) di Sekretariat DPD RI Renon.

Reses yang menghadirkan Narasumber Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali, HKTI Bali, sejumlah pengamat dan tokoh yang peduli dengan pertanian dipandu Tim Ahli Nyoman Baskara didampingi Ketut Ngastawa dan Nyoman Wiratmaja.

Mantan Gubernur Bali dua periode ini mengaku khawatir dengan tingginya alih fungsi lahan yang mencapai seribu hektar pertahun serta terbatasnya anggaran untuk mendukung sektor pertanian. Sebagaimana tercantum dalam APBD 2023, anggaran pertanian yang masuk prioritas pertama nilainya hanya 1,8 persen dari APBD.

Kalau tak ditangani dengan baik, anggaran yang terbatas ini jelas tak banyak bisa membantu pengembangan sektor andalan Bali setelah pariwisata. “Ya mungkin hanya segitu yang bisa dialokasikan. Sekarang bagaiama mengelolanya, bidang apa saja yang perlu diprioritaskan agar bisa memberi dampak positif dan membantu petani,” tandas Mangku Pastika.

Menurutnya penanganan pertanian ini harus menjadi perhatian serius di tengah berbagai keterbatasan yang ada. “Kalau hanya sebatas menjaga ketahanan pangan beli saja di luar negeri, kan lebih murah. Tapi bagaimana nasib petani selanjutnya. Dan apa ada yang mau jadi petani dengan lahan yang sempit dan tidak memberi kehidupan yang layak. Orang mau kerja kalau bisa menjamin hidupnya. Seperti jadi petani, kalau NTP (Nilai Tukar Petani) di bawah 100 persen, kan dia tekor,” ujarnya.

Menurut Mangku Pastika, melihat kondisi seperti ini, pertanian bisa meniru cara Jepang yang menerapkan corporate farming. Dimana dalam satu keluarga cukup satu yang jadi petani. Kalau punya anak 3, satu saja yang jadi petani, yang lainnya kerja di perusahaan. Jadi lahan tetap utuh, tidak dibagi. Ini salah satu upaya untuk tetap menjaga produksi selain penerapan teknologi.

Dalam diskusi terungkap pula persoalan penanganan gabah dan diversifikasi pangan. Saat ini banyak gabah dijual ke luar (Jawa) dan setelah jadi beras kembali dijual ke Bali. Masalahnya ada di manajemen yang menyebabkan mesin penggiling beras terbatas, banyak selip yang gulung tikar.

Ir. Nyoman Suastika Kabid Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan memastikan sejauh ini Bali masih surplus beras. Meski diakui masih ada kendala seperti ketersediaan pangan yang tidak merata, masih tingginya ketergantungan pada beras dan sistem distribusi yang belum optimal. Hal senada disampaikan mantan Kadis Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali IB Wisnuardhana yang menegaskan Bali masih surplus beras. Bahkan ia optimis tetap terjaganya ketahanan pangan.

Sekretaris HKTI Bali Dr. Drh. Nata Kesuma,MMA mengatakan pemasaran menjadi hal penting setelah panen. Menurutnya petani kerap dihadapkan pada kondisi sulit dalam penjualan hasil panen (beras). “Konsep Sumantri yang terbukti menguntungkan petani perlu dipertahankan,” ujarnya.

Sementara itu ekonom yang juga pengamat sosial pertanian Jro Gde Sudibia mengatakan kalau petani tak diperhatikan cepat atau lambat produktivitasnya akan menurun. Ia menyoroti kebijakan anggaran pertanian yang nilainya hanya 1,8 persen sedangkan FAO mematok 10 persen. (bas)