Reses Dr. Mangku Pastika, M.M., Produk Lokal Kalah “Branding”

(Baliekbis.com), Kualitas produk lokal Bali sebenarnya sangat bagus. Namun karena kurang penanganannya sehingga tidak laku dan tidak memberi nilai tambah.

Banyak hasil pertanian Bali dibeli pengusaha luar, lalu diproses dan kemudian dipasarkan lagi ke Bali dengan harga tinggi. Dan sudah tentu dengan branding lain. Demikian mengemuka dalam kegiatan reses Anggota DPD RI dapil Bali Dr. Made Mangku Pastika,M.M., Rabu (28/7) via vidcon di DPD RI Perwakilan Bali.

Reses dengan tema “Kesiapan Bali dalam Mengantisipasi UU Cipta Kerja Berkaitan dengan Perdagangan Sembako di Bali” yang dipandu Tim Ahli Nyoman Wiratmaja didampingi Ketut Ngastawa dan Nyoman Baskara menghadirkan narasumber Kadis Perindustrian dan Perdagangan Prov. Bali dan praktisi Padi Organik.

Mangku Pastika mengatakan di tengah covid yang tak jelas kapan berakhirnya, ke depan perekonomian Bali akan seperti apa. Apa yang laku dijual agar ekonomi bisa bergerak. “Kalau sembako pasti laku sebab kita perlu makan. Juga yang tak kalah penting SDM-nya. Manusianya harus sehat dan cerdas agar bisa berkreativitas,” ujarnya.

Mantan Gubernur Bali dua periode ini mengingatkan pertumbuhan ekonomi yang minus, akan mempengaruhi lapangan kerja dan menyebabkan pengangguran meningkat. Dampak selanjutnya daya beli akan turun dan menimbulkan deflasi.

“Ketika pariwisata yang selama ini menjadi andalan ambruk, maka mau tidak mau harus ada alternatif yakni pertanian. Maka saya ketika menjabat bikin program Simantri karena melihat sektor ini selalu dibutuhkan dan prospektif,” jelasnya.

Sementara itu Kadis Perindustrian dan Perdagangan Prov. Bali Wayan Jarta mengatakan ketersediaan berbagai bahan pokok saat ini masih mencukupi untuk beberapa bulan ke depan dan harga-harga stabil serta terjangkau. Namun daya beli menurun, sehingga produsen kesulitan pemasaran.

“Dari 12 komponen bahan pangan pokok, kita tak bisa produksi semuanya. Hanya daging sapi, daging ayam, telur dan cabai yang bisa dihasilkan. Beras kita masih datangkan,” ungkap Jarta.

Padahal kalau beras petani bisa diolah akan mendapatkan nilai tambah. Seperti yang terjadi saat ini petani masih menjual tanaman padinya. Padahal kalau bisa dalam bentuk beras akan lebih tinggi nilai jualnya. Salah satu penyebabnya karena keterbatasan alat pengolahan (RMU -Rice Milling Unit) dan kemasan.

Produsen Beras Organik Ir. IB Gede Arsana mengakui kalau petani masih konvensional maka akan sulit bersaing. Padahal potensi lokal sangat bagus. “Oleh karena itu saya mengajak generasi muda untuk mengembangkan produk organik. Model ini sudah dilakukan leluhur kita,” ujar jebolan IPB ini.

Selain kuantitas dan kualitas menurutnya petani juga harus mendapatkan nilai tambah (added value) dari usaha taninya. Untuk itu, idealnya petani jual beras atau padi, bukan jual tanaman padi pada pengepul. “Beras Bali sangat diminati sehingga banyak diburu dari luar. Lalu diproses dan di-branding kembali masuk Bali,” jelasnya.

Masalahnya saat ini, petani tak punya mesin pengering dan RMU modern seperti di Jawa. Ke depan petani juga harus bisa tekan HPP (Harga Pokok Produksi) agar mendapat nilai lebih. “Dengan model Simantri kita bisa bertani organik sekaligus menekan HPP,” pungkas Arsana. (bas)