Reses Dr. Mangku Pastika: Dengan Organik Bumi Makin Subur dan Petani Sejahtera

(Baliekbis.com), Anggota DPD RI asal perwakilan Bali Dr. Made Mangku Pastika, M.M. mengatakan
dengan organik diyakini akan warga jauh lebih sehat, bumi makin subur, tanah makin lestari dan petani makin sejahtera.

“Pandemi ini membuat kita berpikir, tadinya semua asyik dengan pariwisata. Karena duitnya banyak dan gampang, orang tidak mau susah, itu manusiawi. Ini realita,” ujar Mangku Pastika saat acara reses melalui vidcon, Selasa (20/4).

Reses mengangkat topik “Aspirasi Kita Indonesia Tentang Kedaulatan Pangan (Beras, Gula, Garam)” dipandu staf ahli Nyoman Baskara didampingi Ketut Ngastawa dan Nyoman Wiratmaja juga menghadirkan narasumber di antaranya Prof. Wayan Windia dan pakar beras SRI Ir. IBG Arsana.

Mangku Pastika menambahkan potensi pertanian Bali sangat besar. Bahkan beberapa komoditas Bali jadi andalan ekspor. Namun diakui beberapa produk pertanian, Bali masih datangkan dari luar.
“Saya dengar kita ekspor manggis, tapi produknya malah banyak dari Sukabumi, bukan dari Bali,” ujar mantan Gubernur Bali dua periode ini.

Di sisi lain penggagas Program Simantri ini mengakui adanya tantangan cukup berat dalam membangun pertanian. “Seperti nyari kelompok yang mau ngurus simantri juga sulit, banyak gagal. Kita ngasihnya ke politisi, sapinya sebentar saja dijual. Begitu dikasih duit ya kalau ga dipakai matajen ya berjudi,” jelasnya.

Diingatkan, pemimpin itu manusia tapi bukan manusia biasa, harus manusia luar biasa. Lebih pintar, lebih berani, lebih jujur dan lebih “gila”. Dijelaskan sawah banyak habis, karena tidak ada yang mengerjakan, kenapa? Karena tenaganya habis, yang muda pergi ke kapal pesiar semua.

Tapi pandemi ini juga membawa berkah, karena banyak anak muda mau bertani. “Saya gembira dan optimis bahwa Bali akan maju pertaniannya. Setelah mendedikasikan diri ke pertanian semoga tidak berhenti di situ. Karena apa yang dilakukan itu sesuatu yang mulia, karena memelihara ciptaannya,” tambah Mangku Pastika.

Sementara itu Prof. Wayan Windia, dosen pertanian yang juga pakar subak menceritakan sebetulnya pengalaman waktu Pak Harto negeri ini bisa swasembada.  Jadi kalau mau tinggal itu di-copy kebijakannya sudah bisa sekarang. “Sayangnya konsep pemerintah sekarang itu tidak banyak memihak ke pertanian maupun produsen. Padahal potensi dan tenaga ada, teknologinya bisa diusahakan. Saya ingin Pak Mangku Pastika bisa perjuangkan di Jakarta,” harap Prof. Windia.

Ia juga mengatakan di era Presiden SBY garam sudah swasembada di NTT. “Saya punya teman di Tabanan ekspor ketela dan buncis ke Singapura. Jadi ini soal keberpihakan, seperti kita berpihak ke pariwisata, kita berikan airport, air bersih, dll. Coba kita berpihak ke pertanian, pasti bisa maju,” tegasnya.

Windia menambahkan, ia punya bimbingan dari Jepang Naori Miasawa, yang sudah 2 tahun di Bali untuk membantu pemasaran produk organik melalui digital. “Orang-orang mencari pasar, kita datangkan pasar. Memang tidak gampang melawan kapitalis tapi harus ada kebijakannya,” jelasnya.

Agus (dosen, pendamping petani organik) mengaku membantu petani di Desa Gempinis, Selemadeg Timur untuk menanam kakao sehingga memiliki income. Ia juga membantu petani menanam padi. “Sekarang di Desa Gempinis, saya dengan Pak Lukas menggarap sawah seluas 3 hektar tanpa pupuk kimia. Hal ini yang kami bagikan ke petani di Bali, bagaimana petani bisa memiliki penghasilan yang baik,” jelasnya.

Sementara Ida Bagus Gde Arsana melihat pola pikir petani yang cenderung human-economian, semua dinilai dengan uang. Termasuk di subak, pertanyaannya ‘napi tiang polih’ (apa yang saya dapat)? Ia juga melihat jumlah penduduk yang semakin padat, adanya ketimpangan ekonomi desa dan kota berdampak ke urbanisasi dan alih fungsi lahan yang marak. Minat petani muda rendah, petani Bali didominasi petani tua. “Harapan saya petani tidak perlu disupport dengan pupuk kimia,” jelasnya.

Arsana yang bekerja sama dengan subak dan berhasil memproduksi padi organik ini mengaku sempat ikut pameran, semua komentarnya bagus, excellent. Tapi berasnya tidak laku dijual. Ternyata hotel-hotel sudah punya jaringan tersendiri dari luar Bali. “Akhirnya saya pasarkan sendiri ke Jakarta. Sebuah koperasi di Kemang, rutin order 6-12 ton per bulan. Saya ingin petani di Bali tidak lagi diarahkan ke pertanian konvensional karena berbiaya tinggi,” jelasnya. (bas)