Putu Suasta, M.A.: Menjaga Bali dengan Kritik

(Baliekbis.com), ‘Kritik bagi Bali adalah untuk menjaga Bali itu sendiri. Kritik adalah cara lain membangun Bali dengan mengambil posisi pengawasan yang serius, kritis dan objektif. Suka atau tidak, Bali harus diawasi oleh kritik. Saatnya kini di Bali ditumbuhkan kembali lembaga-lembaga yang berani melakukan evaluasi menyeluruh sebagaimana pada masa awal-awal reformasi’.

BALI begitu berharga bagi masyarakat Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. Bahkan bagi masyarakat dunia, Bali memiliki arti penting, bukan saja di ranah turisme dunia, tetapi juga dalam ranah kebudayaan. Sejumlah lembaga internasional seperti UNESCO, misalnya, memberi perhatian besar dengan menetapkan sejumlah hasil budaya Bali sebagai pencapaian budaya yang dilestarikan dan dianggap sebagai bagian dari warisan dunia.

Juga beberapa majalah pariwisata internasional beberapa kali menetapkan Bali sebagai salah satu destinasi wisata terbaik di dunia. Baru-baru ini, majalah pariwisata dunia Travel + Leisure menetapkan Bali di peringkat ketiga sebagai Pulau Terbaik 2019 di dunia. Satu tingkat menurun dari setahun sebelumnya (2018) di mana Bali menempati urutan kedua sebagai Pulau Terbaik di dunia.

Tahun lalu, TripAdvisor, suatu situs yang bergerak dalam bidang travel planning and booking itu malah menetapkan Bali di peringkat 1 sebagai Destinasi Wisata Terbaik Dunia, menggeser posisi Paris yang sebelumnya bertengger di posisi yang sama.

Begitulah, setiap tahun Bali selalu menjadi bagian dari posisi penting dalam survey, penelitian atau tujuan konkret dari masyarakat global. Ini karena Bali begitu tipikal dalam jati diri kulturalnya. Bali tak semata mengandalkan kekayaan alam, melainkan yang lebih menarik bagi masyarakat dunia ialah eksotika budaya dan dinamika masyarakat yang mengusung budaya yang mereka miliki.

Bagi mereka, terutama kaum intelektual internasional, Bali adalah budaya yang komplit yang terjaga hingga hari ini. Dan hasilnya ialah; sejumlah buku, film atau hasil peneltian intelektual Barat banyak berada di tangaan mereka. Beberapa bahkan menjadi rujukan penting dalam melakukan studi tentang budaya dan masyarakat Bali.

Di masa pemerintahan Gubenrnur Wayan Koster, Bali kembali ‘dibangkitkan’ potensi dirinya. Segala yang bertalian dengan kekayaan kultural dan intelektual Bali; bahasa dan aksara Bali, busana khas Bali, pemberdayaan desa adat, pelestarian nama-nama khas Bali (Wayan, Made, Nyoman dan Ketut) melalui program Keluarga Berencana (KB) versi Bali, untuk menyebut beberapa hal dari kekayaan kultural Bali, dihidupkan kembali dalam langkah-langkah nyata. Beberapa kebijakan itu malah sudah dipergubkan dan diperdakan.

Beberapa rencana besar menyangkut infrastruktur dari Pemerintahan Koster tinggal juga tunggu waktu, seperti Tol yang menghubungkan Bali utara-selatan, pembangunan kereta api, bandara di Singaraja dan beberapa terobosan lain, termasuk pembebasan biaya bagi peserta Pesta Kesenian Bali. Nampak bahwa Koster dalam masa belum genap setahun pemerintahannya memperlihatkan progresivitas kerjanya. Ia juga ingin speed kerjanya menjadi langkah yang harus diikuti di jajaran di bawahnya. Ungkapan ‘sontoloyo’ sempat menjadi viral di dunia medsos ketika ia mengetahui ada jajaran di bawahnya yang bekerja lamban.

Banyak pencapaian Bali sejauh ini. Dan hal itu makin menguatkan kepercayaan diri warga Bali atas tanah kelahirannya. Sejumlah peristiwa yang fenomenal menimpa Bali seperti bom Bali, peristiwa alam seperti erupsi Gunung Agung beberapa bulan lalu, penumbangan pohon besar-besaran di Bali utara dan selatan berkaitan dengan peristiwa politik 1998, tak juga meruntuhkan nama Bali di mata dunia maupun nasional. Bali tetap melangsungkan kehidupannya sebagaimana biasanya.

TAPI Bali harus dievaluasi. Evaluasi adalah penilaian realitas. Ia bisa holistik dan bisa pula parsial. Dalam kontek Bali, evaluasi diperlukan untuk menjaga kesadaran bersama dalam menjaga Bali beserta seluruh kebudayaannya. Ada tanggung jawab kultural yang harus diemban oleh seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kapasitasnya. Mengapa Bali harus dievaluasi setiap waktu? Dan mengapa semua lapisan masyarakat memainkan perannya?

Telah diungkapkan, Bali adalah gambaran dinamika budaya yang sanggup menjaga dirinya sendiri secara mandiri. Dalam gempuran nilai yang datang dari luar setiap hari, Bali masih sanggup mengakumulir nilai-nilai luar tersebut, menyaring secara alamiah maupun kesadaran kultural, menerapkan atau membuang sama sekali nilai-nilai luar tersebut. Dalam perspektif global, Bali telah menjadi ‘warga dunia’ dan karena itu, sedikit saja isu-isu miring yang terjadi di Bali akan berdampak buruk bagi Bali itu sendiri.

Itulah mengapa evaluasi diperlukan demi menjaga jati diri Bali. Evaluasi sebaiknya ada di luar pemegang kebijakan publik. Lembaga-lembaga di luar pemerintahan seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), forum pemerhati, berbagai komunitas, paguyuban, lembaga pendidikan tinggi atau pakar yang menyampaikan ekspresi intelektualnya melalui berbagai media. Dalam jurnal Relative Sanity disebutkan, everyone’s a critic, setiap orang adalah kritisi.

Evaluasi bisa dirumuskan dalam bentuk saran, dialog, dengar pendapat dan kritik. Yang disebut terakhir sering kali memberi rasa alergi pada pemegang kendali pemerintahan. Kritik bukanlah celaan, mencari-cari kesalahan, ejekan yang bersifat menjatuhkan. Kritik, secara ringkas, bermakna pertimbangan obyektif atas suatu peristiwa, karya budaya atau produk kebijakan. Kerja kritik ialah penalaran yang sehat, baik dan benar. Hal-hal yang bersifat emosional bukanlah cara kerja kritik.

Pada hakikatnya, kritik ialah kerja ilmiah di mana penalaran dan keberimbangan rasional adalah penglima. Dalam dunia pendidikan, kritik diajarkan sebagai suatu ilmu di mana secara sederhana diartikan sebagai pertimbangan baik buruk suatu produk budaya dan intelektual.

Dinamika kebudayaan terjadi karena peran kritik. Lebih luas lagi, karena tindakan evaluasi yang kritis. Pencapaian ilmu pengetahun dan teknologi yang direngkuh seperti sekarang ini karena penilaian-penilaian kritis terus-menerus terjadi. Di semua lini kebudayaan; politik, ekonomi, sains hingga teori-teori berkembang bukan tanpa kritik, bukan tanpa adanya evaluasi. Semua mencapai puncak-puncak supremasinya karena keberadaan evaluasi yang kritis. Without correction—without criticism—there is no improvement. There is only flaiting and floundering. There is death (jurnal Relative Sanity).

Dengan begitu, kehadiran kritik adalah sebuah keniscayaan dalam kebudayaan. Ketakutan kita terhadap kritik adalah karena persepsi yang keliru tentang kritik. Memang tak bisa dipungkiri, tradisi kritik datang dari Barat dan kita menerimanya melalui ranah persekolahan. Kritik—dalam tradisi Barat—sepenuhnya adalah rasionalitas. Dan kita di sini menerima kritik ‘dengan hati’. Seorang expart yang pernah tinggal di Bali dan pemerhati dunia seni rupa di Bali dan tinggal di Ubud, suatu hari ketika diminta tanggapannya tentang suatu pameran lukisan, ia tak mau berkomentar. Katanya, ia tak berani memberi kritik karena di sini (di Bali), kritik adalah persoalan perasaan!

Dalam peristiwa politik, seringkali pula kritik terhadap suatu kebijakan diterapkan tak imbang, terutama sekali datang dari lawan politik. Yang terjadi ialah benar-benar kritik diterapkan dalam maknanya ‘mencari-cari kesalahan’. Di mana pun kritik diterapkan, ia seharusnya tetap pada makna dan fungsinya yang murni; evaluasi yang kritis dan keberimbangan! Inilah kritik yang sesungguhnya yang memberi dinamika positif terhadap suatu objek kritik. Dan melihat arti dan perannya dalam dinamika kebudayaan, maka setiap orang semestinya memupuk tradisi berpikir kritis (critical thinking) karena itulah yang sesungguhnya hakikat menjadi manusia.

Telah diketahui ajeg Bali kini makin menguat ketika desa adat makin diberi peran besar oleh pemerintah daerah melalui penetapan Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019. Mereka menjaga Bali terutama dari aspek keberlangsungan mekanisme kehidupan masyarakat adat di Bali. Dengan Perda ini, para pemangku adat di Bali diharapkan makin percaya diri dalam menjaga adat Bali dan sekaligus mempunyai wewenang mengatur dirinya sendiri.

Selain itu, Bali juga harus dijaga oleh kritik. Kritik di sini lebih bersifat pengawasan yang bersifat obyektif, logik dan jauh dari prasangka-prasangka emosional. Di sinilah dengan bebas tanpa tekanan kaum intelektual Bali, lembaga-lembaga non pemerintah seperti LSM, forum pemerhati/pengamat, para akademisi kampus mengambil peran ‘di luar pagar’ melakukan evaluasi kritis terhadap segala dinamika Bali.

Di masa era awal-awal reformasi, beberapa lembaga memainkan peran ini. Lembaga-lembaga nonpemerintah seperti Forum Merah Putih, LBH Bali, Yayasan Manikaya Kauci, Walhi Bali, untuk menyebut beberapa nama, melakukan keberanian menawarkan kritik terutama terhadap pemangku kebijakan publik. Forum Merah Putih bahkan dalam seminggu tiga kali mengadakan siaran radio untuk menyuarakan sikap intelektual mereka terhadap realitas sosial. Dalam diskusi radio tersebut, para pakar dan intelektual Bali diberi tempat menyampaikan sikap mereka terhadap berbagai hal, terutama menyangkut kepentingan publik Bali.

Bertumbuhnya lembaga-lembaga nonpemerintah ketika awal-awal reformasi itu dengan sikap kritisnya mendapat dukungan masyarakat. Indikasi ini, misalnya, dapat dilihat dari dialog interaktif yang disiarkan lewat radio yang bekerja sama dengan radio swasta. Juga beberapa anggota Forum Merah Putih sering menyikapi suatu keadaan masyarakat atau kebijakan-kebijakan publik di koran-koran lokal. Mereka melakukan kritik secara proporsional dan menawarkan juga alternatif pemecahannya.

Suka atau tidak, Bali harus diawasi oleh kritik. Saatnya kini di Bali ditumbuhkan kembali lembaga-lembaga yang berani melakukan evaluasi menyeluruh sebagaimana pada masa awal-awal reformasi. Dasar pengawasan, evaluasi, kritik harus dilandasi oleh sense of belonging, rasa peduli yang tulus terhadap Bali berikut segala budayanya, bukan dengan maksud ‘tawar-menawar’ demi maksud-maksud terselubung.

Kritik bagi Bali adalah untuk menjaga Bali itu sendiri. kritik adalah cara lain membangun Bali dengan mengambil posisi pengawasan yang serius, kritis dan obyektif. Pembangunan Bali yang dilakukan pemda-pemda tingkat 2 atau pemda tingkat 1; realitas-realitas sosial yang berlangsung di luar pemerintahan adalah tak luput dari kritik yang dilakukan lembaga-lembaga nonpemerintah atau intelektual dan pakar dan akademisi kampus.

Karena, tanpa kehadiran kritik, banyak yang mungkin bisa terjadi. Tanpa kehadiran kritik, kita tak lagi peka terhadap suatu perencanaan, kita tak terlatih untuk berpikir kritis, tak berfungsinya penalaran yang belasan tahun kita dapatkan dari dunia pendidikan. Mengutip sebuah judul buku: Nothing Without Critic! (*)