Puluhan Massa Hadiri Sidang Perkelahian Dua Mahasiswa di Jogging Track Kertalangu, Dakwaan Penganiayaan Dinilai Tidak Tepat

(Baliekbis.com),Sidang kasus perkelahian dua mahasiswa di area jogging track Kertalangu pada Juni 2029 lalu mendapat perhatian banyak pihak. Dalam sidang kedua di PN Denpasar Senin (3/2/2020), puluhan massa kembali hadir untuk mengikuti sidang dengan agenda pembacaan eksepsi dari kuasa hukum Pranayoga Yudara alias Yoga (19 th).

Massa juga membawa spanduk untuk memberi semangat kepada Yoga yang dalam perkelahian itu terpaksa membuatnya harus meringkuk di sel. Kuasa Hukum I Putu Pastika Adnyana,SH dalam sidang menilai Jaksa Peggy E. Bawengan,SH terlalu bernafsu untuk menahan dan mempidanakan terdakwa tanpa melihat fakta-fakta dalam kejadian serta alasan terjadinya peristiwa hukum sebenarnya. Sebab yang terjadi adalah perkelahian satu lawan satu seperti yang dimaksud dalam pasal 184 KUHP bukan penganiayaan sebagaimana pasal 351 KUHP.

“Menggunakan pasal 351 KUHP dalam peristiwa ini sangatlah tidak tepat karena penganiayaan tidak pernah terjadi,” ungkap Kuasa Hukum I Putu Pastika Adnyana,SH dalam sidang di Pengadilan Negeri Kelas I Denpasar yang diketuai Wayan Kimiarsa,SH,MH, Senin (3/2/2020) siang.

Dikatakan Pastika, sejatinya tindak penganiayaan haruslah dilakukan dengan sengaja. Sedangkan fakta-fakta kejadian tersebut menunjuk adanya unsur-unsur perbuatan perkelahian ringan antara terdakwa dan pelapor (Dirga Digraha) di area Jogging Track Kertalangu, Denpasar, Juni 2019 lalu. Bahwa semua perbuatan terdakwa di dalam hal ini semata-mata dimaksudkan untuk melindungi diri dari pemukulan yang diawali oleh pelapor,” terang Putu Pastika.

Merujuk pada pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Sidang yang begitu ramai disaksikan oleh ratusan pendukung Prana Yoga yang terdiri dari keluarga dan teman-temannya ini yang membentangkan aspirasinya dalam sebuah spanduk besar yang isinya memprotes ketimpangan terhadap proses hukum terhadap mahasiswa ini hingga harus meringkuk di penjara.

Dalam dakwaannya Jaksa dengan tegas menyatakan antara pelapor dan terdakwa tidak saling mengenal. Oleh karenanya jaksa haruslah teliti dalam memberikan petunjuk pasal yang akan diterapkan oleh penyidik sebagai dasar penentuan perbuatan pidananya. Jaksa sudah mengesampingkan suatu teori tentang hubungan sebab akibat.

Dengan jelas mengatakan adanya hubungan sebab akibat dalam suatu perbuatan, jika menilik dari uraian dakwaan jaksa yang mengatakan antara terdakwa dan pelapor tidak saling mengenal dan tidak ada persoalan, mana mungkin terjadi penganiayaan seperti yang didakwakan. “Di samping itu Jaksa sudah mengabaikan asas ultimum remidium (pemidanaan adalah sebagai jalan terakhir),” ujar Pastika.

Menurutnya, sesuai dengan ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf b dan ayat (3) KUHAP, diatur surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum haruslah memenuhi syarat-syarat antara lain: Syarat formal yaitu bahwa surat dakwaan harus menyebutkan identitas lengkap Terdakwa/Tersangka serta surat dakwaan harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum.

“Di samping itu, syarat materiil surat dakwaan harus memuat dan menyebutkan waktu, tempat delik dilakukan. Surat dakwaan haruslah disusun secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b haruslah batal demi hukum,” tambahnya.

Pihaknya juga menilai Jaksa Penuntut Umum tidak cermat menguraikan kejadian peristiwa sehingga mengaburkan permasalahan sebenarnya. Bahkan di dalam pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Bahwa berdasarkan kronologis kejadian diatas, perbuatan antara pelapor dengan terdakwa dapat dikategorikan sebagai perkelahian satu lawan satu, sehingga konstruksi hukumnya haruslah sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHP. Terkait perkelahian satu lawan satu yang mengakibatkan salah satu terluka, tindakan tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHP (bergantung pada luka yang diakibatkan adalah luka berat atau tidak). Sidang dilanjutkan Senin (10/2/2020) untuk mendengar Replik (tanggapan) dari Jaksa Penuntut Umum. (bas)