Praktik Sunat Perempuan Masih Banyak Ditemukan di Indonesia

(Baliekbis.com), Tanggal 6 Februari diperingati sebagai Hari Internasional Tidak Ada Toleransi bagi Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (International Day Zero of Tolerance for Female Genital Mutilation). Sayangnya, hingga kini praktik tersebut masih ditemukan dibanyak negara dunia seperti kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia.

Data UNICEF 2016 mencatat lebih dari 200 juta perempuan dan anak-anak di seluruh dunia menjadi korban sunat perempuan. Sementara itu, Indonesia berada di peringkat ketiga negara dengan angka sunat perempuan tertinggi di dunia setelah Mesir dan Etiopia.

“Menurut laporan tersebut, separuh anak perempuan berusia di bawah 11 tahun atau sekitar 13,4 juta di Indonesia dipaksa mengalami praktik yang melanggar hak perempuan atas kesehatan, keamanan, kebebasan berpendapat, kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan itu,” papar aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta, Ika Ayu, Kamis (6/2) dalam diskusi Membedah Mitos dan Fakta Tentang Sunat Perempuan di PSKK UGM.

Ika menyebutkan praktik sunat perempuan harus ditolak sebab melanggar hak seksual dan reproduksi individu. Selain itu praktik ini juga menjadi kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif dengan alasan moralitas dan agama, dan bentuk penundukan serta pendisplinan seksualitas.

“Tak hanya itu, praktik sunat perempuan semakin menguatkan norma patriarki jika perempuan tidak sunat maka akan mengancam norma masyarakat. Patut ditolak karena juga tidak ada argumen medis yang menguatkan praktik ini harus dilakukan,”urainya.

Menurutnya pemerintah Indonesia saat ini tidak memiliki kejelasan sikap terhadap sunat perempuan ini. Perbedaan pendefinisian antara Female Genital Mutilation (FGM) WHO dengan praktik sunat perempuan di Indonesia menjadi wilayah abu-abu yang menyebabkan ketidaktegasan sikap pemerintah. Inkonsistensi sikap pemerintah atas sunat perempuan menjadikan praktik ini semakin dianggap boleh dan perlu dilakukan oleh masyarakat tanah air.

“Negara perlu menunjukkan bukti konkret atas perlindungan dan pemenuhan hak seksual dan reproduksi setiap warganya dengan tidak membiarkan praktik sunat perempuan menjadi perlu dan wajar dilakukan,”tegasnya.

Aktivis Kesehatan Reproduksi, Mukhotib M.D., mengatakan terdapat beragam alasan dilakukannya sunat pada perempuan salah satunya sebagai bentuk kontrol bagi perempuan. Praktik tersebut dipercayai sejumlah kelompok masyarakat dapat mengontrol hasrat seksual perempuan.

“Perempuan harus baik, dalam pengertian ini tidak binal dan tidak ekspresif,” tuturnya. Sunat perempuan, kata dia, masih saja ditemukan karena telah menjadi ajaran atau budaya secara turun temurun di masyarakat. Apabila praktik tersebut tidak dijalankan maka akan terjadi stigmatisasi masyarakat.

Menurutnya, sunat perempuan perlu ditolak karena selain tidak menunjukkan adanya keuntungan secara medis, praktik tersebut juga melanggar hak anak. Disamping itu, sunat perempuan menjadikan adanya ketidakpercayaan diri dan merasa menjadi korban.

Peneliti PSKK UGM, Sri Purwantiningsih, S.Si., M.Kes., menyampaikan praktik pemotongan atau perlukaan genetalia (P2GP) perempuan masih terus saja terjadi di tanah air. Bahkan praktik tersebut sulit dihilangkan karena terjadi proses sosialisasi norma yang terkait dengan P2GP.

“Terjadi reproduksi kultural dalam rumah tangga. Nenek yang disunat cenderung menyunat anaknya (Ibu) dan Ibu yang disunat oleh neneknya juga cenderung menyunat anaknya,” kata Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Sri Purwantiningsih, S.Si., M.Kes.

Dari hasil kajian yang dilakukan oleh PSKK UGM pada 2017 dilakukan pada 4.250 rumah tangga di 10 provinsi Indonesia, sebanyak 87,3% responden mendapatkan informasi mengenai sunat perempuan dari orangtuanya. Doktrin agama dan juga tradisi di masyarakat menjadi alasan pelaksanaan sunat pada perempuan. Sebanyak 92,7% responden mengungkapkan perintah agama menjadi alasan untuk melakukan sunat perempuan dan 84,1% karena alasan tradisi.

“Sebanyak 97,8% responden mengatakan bahwa sunat perempuan perlu dilakukan,”ungkapnya. Sementara Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Dr. Hamim Ilyas mengatakan bahwa dalam Islam tidak diperkenalkan praktik sunat perempuan. Asal usul sunat dimulai dari Nabi Ibrahim As yang melakukan di usia 80 tahun. Sunat waktu itu hanya dilakukan pada laki-laki.

Dia menjelaskan dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat yang langsung menunjuk pada khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Ayat yang biasa dijadikan dasar adalah surat An-Nahl ayat 123 yang memerintahkan Nabi Muhammad saw. mengikuti millah Ibrahim As.

Hamim menyampaikan terdapat perbedaan pandangan tentang sunat perempuan dikalangan mahzab dimana ada yang menjadikannya sunah, tidak wajib, dan wajib. “Di Indonesia praktik sunat perempuan banyak ditemukan karena mahzab yang dominan adalah Syafi’i yang mewajibkan sunat perempuan,”terangnya. (ika)