Pluralisme dan SKB 3 Menteri

(Baliekbis.com), Pro-kontra yang muncul setelah tiga menteri mengeluarkan keputusan bersama (SKB 3 Menteri) menunjukkan bahwa pluralisme masih menjadi persoalan bagi banyak masyarakat negeri ini. Padahal kita tahu negeri ini didirikan dengan kesadaran penuh atas kemajemukan suku, agama dan budaya. Karena itu, SKB 3 menteri mesti dipertahankan dan dijalankan dengan konsisten agar para peserta didik menyadari sejak dini bahwa mereka hidup di negeri yang majemuk.

Menegakkan Wibawa Negara

Seperti kita tahu, SKB 3 Menteri dikeluarkan setelah sebuah sekolah negeri di Sumatra Barat mendapat sorotan luas karena mewajibkan pemakaian atribut agama tertentu kepada semua murid, termasuk murid yang memeluk agama berbeda. Karena itu inti dari SKB 3 Menteri adalah larangan kepada kepada daerah dan kepala sekolah negeri untuk mewajibkan atau melarang penggunaan atribut agama di sekolah-sekolah negeri. Intinya, pemakaian atribut agama tidak bisa dilarang tetapi juga tidak bisa diwajibkan oleh sebuah instansi negara.

SKB 3 Menteri tersebut kemudian ditentang sejumlah pihak bahkan ada kepada daerah yang terang-terangan menyatakan tidak akan mematuhinya. Negara (melalui SKB 3 Menteri) telah berada pada posisi yang tepat (menyerahkan penggunaan atribut agama kepada keputusan inidvidu) dan dengan demikian mesti menjukkan wibawanya dalam memelihara pluralisme dengan memastikan bahwa SKB tersebut dipatuhi di seluruh negeri ini.

Dalam persoalan-persoalan toleransi dan pluralisme, selama ini banyak orang mengeluhkan hilangnya wibawa negara kerena tidak berani bertindak tegas kepada oknum-oknum atau pihak-pihak yang dinilai sering menciderai nilai-nilai toleransi dan pluralisme. SKB 3 Menteri disambut banyak orang karena dilihat sebagai respon cepat pemerintah terhadap akar persoalan toleransi di negeri ini. Maka demi menegakkan wibawa negara, terutama di mata kelompok minoritas, SKB 3 Menteri mesti dipertahankan dan negara mesti berani menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk “memaksakan” semua orang dan institusi di negeri mematuhinya.

Pendidikan Sejak Usia Dini

Argumen utama yang digunakan oleh pihak-pihak yang kontra terhadap SKB 3 Menteri adalah bahwa sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu tetapi juga wadah pendidikan karakter dan kepribadian karena itu sekolah mesti kewajiban menggunakan atribut-atribut agama di sekolah mesti didukung. Sekilas, argumen tersebut benar adanya tetapi jika dicermati dengan teliti akan segera terlihat contradictio in terminis, atau mengandung kotradiksi antar premis-premisnya.

Jika sekolah dilihat sebagai tempat pendidikan karakter dan kepribadian, maka sudah selayaknya sekolah dijadikan tempat pendidikan pluralisme sejak dini karena pluralisme adalah fakta yang sudah ada sejak negeri ini berdiri. Dengan adanya kewajiban menggunakan atribut-atribut agama, maka murid-murid di daerah-daerah yang seluruh warganya menganut agama yang sama akan mengira bahwa di negeri ini hanya ada satu agama.

Lebih para lagi jika murid dari agama berbeda juga diwajibkan mengenakan atribut agama mayoritas, seperti contoh di Sumatra Barat yang mendapat sorotan baru-baru ini, maka pelan-pelan sekolah akan menjadi tempat pendidikan intoleransi dan pengingkaran pada pluralisme.

SKB 3 Menteri akan membuat murid-murid (teruma yang beragama mayoritas) menyadari bahwa ada agama lain hidup berdampingan dengan mereka. Selain itu, penghilangan aturan penggunaan atribut agama di sekolah juga dapat menjawab kritik umum tentang fenomena beragama di Indonesia yang sering kali lebih mengedepankan simbol-simbol daripada substansi dari agama itu sendiri. Dengan menyerahkan urusan agama pada individu-individu (keluarga) tanpa ada kewajiban dari instansi negara, murid-murid akan memiliki kesempatan lebih luas untuk melihat agama sebagai sebuah panduan dalam hidup daripada hanya simbol-simbol yang mesti ditonjolkan.

*Putu Suasta, Alumnus UGM dan Cornell University