PHDI Pusat Bersatu dengan Masyarakat Laksanakan Yadnya Upacara Mlehpeh Nyomya Sunya Jagat Kertih Manusa Kertih Meagama Santih

(Baliekbis.com), Ini upacara nangluk merana yang paling spektakuler dibuat oleh PHDI Pusat sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat, karena Yadnya Upacara Mlehpeh Nyomya Sunya Jagat Kertih Manusa Kertih Meagama Santih ini dipuput oleh 16 sulinggih yang berasal dari berbagai klen di Bali dan luar Bali bahkan ada beberapa sulinggih yang juga muput secara daring, dengan upacara ini diharapkan terjadi hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

Melalui upacara ini diharapkan manusia terhindar atau diringankan dari dampak marabahaya bencana alam maupun wabah virus Covid-19 ini serta harmonis dalam pelaksanaan kegiatan keagamanan. Upacara yang dilaksanakan di Pura Batu Bolong Canggu, Kabupaten Badung ini disupport penuh oleh masyarakat Desa Adat Canggu, Pengurus PHDI Pusat dan Utusan dari Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali yang hadir sebagai salah satu instrumen negara/pemerintah.

Dalam laporannya, Ketua Panitia Pelaksana, Dr. Ir. I Wayan Jondra, M.Si menyatakan, kegiatan ini terlaksana atas kehendak masyarakat Hindu di Bali dan disambut baik oleh Dharma Adhyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Nabe Gede Bang Buruan Manuaba dan difasilitasi oleh Pengurus Harian dan Sabha Walaka PHDI Pusat.

Menurutnya, kehendak masyarakat dibuktikan dengan banyaknya donasi yang berupa harta benda, pikiran dan tenaga yang disumbangkan untuk suksesnya acara ini. “Para Pandita yang biasanya muput menerima sesari, tapi di dalam upacara ini beliau-beliau yang suci ini muput tanpa pamrih dan bahkan ada yang turut berdana punia dalam bentuk banten, gambelan, konsumsi, publikasi dan sebagainya” ujarnya. Pinandita Sanggraha Nusantara Kota Denpasar menyumbang tari rejang, sebagai bentuk sumbangan yang luar biasa dan mulia, tarian sakral ini dipersembahkan kepada Sang Maha Pencipta sebagai wujud bhakti kepada-Nya.

Sumbangan berupa fasilitas IT, sound system, konsumsi, dan tenaga dari UNHI juga turut serta dalam menyukseskan acara ini. Sumbangan berupa uang pun tak kalah pentingnya karena banyak hal yang perlu diselesaikan dengan uang. “Sumbangan yang tak ternilai adalah kesempatan yang diberikan oleh Desa Adat Canggu untuk memanfaatkan Wantilan Pura Batu Bolong yang megah ini untuk pelaksanaan upacara mlehpeh” tegas Jondra.

Dipilihnya Pantai Batu Bolong sebagai lokasi upacara menurut Jondra, bukannya tanpa proses. Berkat hasil meditasi dan perjalanan yang sangat panjang dilakukan oleh Ida Pedanda Nabe Gede Bang Buruan Manuaba, didapatlah pantai yang indah ini, dan memiliki aura magis yang sangat kuat, karena berada di antara dua pura besar yaitu Tanah Lot dan Uluwatu, yang keduanya dapat dilihat dengan mudah pada saat laut surut.

Demikian juga Gunung Agung sebagai tempat berstananya Ratu Mas Meketel dapat dilihat dengan mudah dari pantai ini, bahkan pantai ini terletak di kaki gunung yang paling subur di Bali yaitu Gunung Batukaru, sehingga pantai ini memiliki aura magis yang kuat dan vibrasi kesuburan. Demikian Wayan Jondra yang juga Dosen Teknik Elektro Politeknik Negeri Bali ini menjelaskan secara tuntas tentang pemilihan tempat upacara. Sehingga tirtha pun yang digunakan dalam upacara dimohon kepada Ratu Mas Meketel dan Petapakan Gajahmada.

Jondra menambahkan, upacara Mlehpeh Nyomya Sunya Jagat Kertih Manusa Kertih Meagama Santih ini dilaksanakan berpedoman dengan Dresta Bali, sehingga cukup banyak banten yang digunakan antara lain : Upakara Pekelem (ayam, bebek, burung, kambing, penyejeg gumi, sayut manca kelud, sidapurna gumi, prasita gumi, dirgayusa gumi, gering bergala meraradan, serining wisesa, dreman wisesa, panca datu, pedagingan); Caru (panca mustika); Aturan (catur, bebangkit, sayut ista dewata, sayut akasa pertiwi ayuwerdi & pulegembal), Sanggar tawang ( sayut pemlepeh, daksina gede manut linggih jangkep, panca lingga, panca saraswati, sayut ardenareswari, guru bendu piduka); Surya caru (daksina +suci); caru sor surya pesaksi (brumbun); Maturan tarpana ring Ida Betara Batubolong (peras pengambean, tumpeng) pelinggih siosan (pejati); Panggungan (ayaban udelpurenan/tumpeng 11) + caru brumbun. untuk menunjang upakara ini dilengkapi dengan berbagai Uperengge : sanggar tawang, panggungan, surya upasaksi, surya thirta, surya ganapati, penjor, sanggah caru, tikar, patung lembu, dan patung kaki-nini, serta dilengkapi dengan 6 buah penjor.

“Untuk mewujudkan upacara ini tidaklah mudah banyak pengorbanan yang dilakukan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Soekarno Sang Proklamator NKRI yang menyatakan ‘Dia yang menginginkan mutiara harus menyelam ke laut dalam’. Jika dikaitkan dengan makna upakara ini artinya masyarakat yang menginginkan kedamaian dan kesejahteraan akan turut serta dan mendukung pelaksanaan upacara ini baik dengan datang secara langsung maupun melalui daring,” pungkas Jondra.

Jero Mangku Ketut Sumarya mewakili Pengurus Harian PHDI Pusat dalam sambutannya menyampaikan bahwa, Upacara Mlehpeh Nyomya Sunya Jagat Kertih Manusa Kertih Meagama Santih ini merupakan momen bersatunya masyarakat Hindu di Bali dan Indonesia. Upacara untuk mewujudkan kedamaian dalam beragama dan menjalani kehidupan melalui sebuah upacara yang mengharmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam, baik yang kasat mata maupun sunia loka.

Nuansa upacara ini sangatlah berbeda dengan upacara nangluk merana lainnya di Tilem Kenem ini. Perbedaan nuansa itu sebagai dampak dari proses hadirnya upacara ini adalah atas inisiatif rakyat dan didukung oleh masyarakat sehingga nilai keiklasan masyarakat dan pemuput dalam upacara ini lebih tinggi.

Dalam sambutannya Kakanwil Kemenag Provinsi Bali Dr. Komang Sri Marheni, M.Si yang diwakili oleh Kepala Seksi Lembaga Bidang Urusan Agama Hindu, Drs. I.B. Nyoman Gde Suastika, M.Si berharap semoga melalui upacara ini wabah ini somya, dunia kembali seperti semula. Tetapi wabah ini belum berakhir malah muncul generasi baru yang disebut vasian OMICRON yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan varian Delta.

Berdasarkan lontar purwaka bumi tujuan upacara Mlehpeh ini sama dengan Nangluk Merana yakni sebagai usaha untuk terwujudnya keselamatan dunia dan isinya melalui upakara, berdasarkan rasa tulus ikhlas, sehingga dunia menjadi aman dan bebas dari bencana. Upacara Mlehpeh ini juga sebagai upaya tercapainya jagadhita di Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Dalam kitab sastra utama Purana Bali Dwipa telah dijelaskan tentang upacara Nangluk Merana, Mlehpeh, dan Nyomya bahwa : janganlah lupa melakukan upacara Pekelem ke laut manca sanak alit, madya, utama, setiap sasih kenem, kapitu, kaulu, salah satu dapat dipilih untuk melaksanakan upacara seperti saati ini, karena dari lautlah datangnya bencana itu.

Namun upacara saja tidaklah cukup, tapi harus diikuti oleh ketaatan masyarakat terhadap prokes 5 M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, mengurangi kerumunan, dan mengurangi mobilitas). Jika ini dilakukan setiap hari, semoga wabah ini cepat berakhir.

Dari hasil pantauan di lapangan nampak antusiasme para sulinggih untuk berkontribusi dalam menyukseskan upacara ini dengan muput tanpa pamrih, demikian pula ratusan arga masyarakat yang turut serta dalam upacara ini mengikuti tahap demi tahap dengan penuh suka cita.
Dharma Adhyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Nabe Gede Bang Buruan Manuaba seusai upacara mengaku plong dan berbahagia karena telah melaksanakan kewajibannya bersama para Sulinggih lainnya dengan lancar dan sukses. Beliau menghimbau kepada seluruh umat Hindu di Indonesia untuk bersatu-padu.

“Perbedaan itu sebuah keniscayaan, namun jangan sampai membuat Hindu terpecah belah. Kita ini semua bersaudara, sudah seharusnya kompak dan bersatu” harapnya. Beliau mengaku merinding dan terharu saat mengucapkan mantra-mantra suci dalam upacara tersebut seraya berharap situasi kembali normal dan wabah Covid-19 kembali ke asalnya. Kepada Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Bali selaku guru wisesa, beliau minta agar benar-benar menjadi pengayom seluruh warga masyarakat termasuk para Sulinggih.

“Para sulinggih itu tugasnya mepuja (berdoa), agar jagat selalu aman, nyaman dan tertib. Adalah kewajiban pemerintah sebagai guru wisesa yang memilkiki kekuasaan dan kewenangan untuk menjaga keharmonisan antar warga dan memperhatikan kehidupan para Sulinggih agar selalu dapat menjalankan tugasnya sehari-hari dengan baik,” tutupnya. (ram)