Persekusi di Pasraman Sri Sri Radha Rasesvara Blumbungan Berakhir Damai, Ketua Puskor Hindunesia: Ini Dampak KEP-107/J.A/5/1984

(Baliekbis.com), Persekusi kembali terjadi di Pasraman Sri Sri Radha Rasesvara Blumbungan, Banjar Dualang, Desa Sibanggede, Kecamatan Abiansemal pada tanggal 8 Oktober 2021.

Peristiwa yang menjadi perhatian publik itu terjadi karena penganiayaan yang dilakukan I D.A. Sudartha alias Dewa Doplang (50) terhadap I Putu Dodi salah satu anggota pasraman.

Atas penganiayaan itu, korban I Putu Dodi melapor ke Polsek Abiansemal dengan laporan bernomor 91/IX/2021/Bali/ResBDG/POLSEK ABS pada pukul 17.30 Wita. Laporan diterima Aiptu Nyoman Sudarma.

Dalam laporannya I Putu Dodi mengaku
dianiaya Dewa Doplang di Pasraman Sri Sri Radha Rasesvara.  Atas peristiwa tersebut, pihak kepolisian bergerak cepat, langsung datang ke TKP.

Namun, pada hari yang sama, korban diketahui telah memaafkan pelaku dan Dewa Doplang pun menyampaikan permintaan maaf secara resmi disaksikan oleh sejumlah pihak di antaranya Drs. I Wayan Sudiara dan I Made Wibawa. Dewa Doplang dan Putu Dodi juga menandatangani surat pernyataan bermaterai 10.000.

Di sisi lain, Ketua Pusat Koordinasi Hindu Indonesia (Puskor Hindunesia) Ida Bagus Ketut Susena yang hadir saat mediasi di Kantor Polsek Abisensemal menilai, peristiwa itu terjadi karena adanya Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:KEP-107/J.A/5/1984 tentang Larangan Peredaran Barang barang Cetakan yang Memuat Ajaran Kepercayaan Hare Kresna di seluruh Indonesia.

Padahal Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Maria Farida Indrati,S.H.,M.H. dalam legal opinion terkait dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:KEP-107/J.A/5/1984 tentang Larangan Peredaran Barang barang Cetakan yang Memuat Ajaran Kepercayaan Hare Kresna di seluruh Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 8 Mei 1984 kepada Perkumpulan Internasioanal Society for Krshna Consciousness (ISKCON) di Jakarta, 1 Oktober 2021, menyampaikan pendapat hukum antara lain:

Bahwa berdasarkan hukum “Mengingat” dari Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:KEP-107/J.A/5/1984 sebagai berikut (1) UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan -ketentuan Pokok Kejaksaan RI, (2) UU No.: 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan (3) Kepres RI No.: 32/M Tahun 1981 tentang Pengangkatan Jaksa Agung RI.

Dari ketiga pertimbangan hukum yang termuat dalam Keputusan Jaksa Agung RI Nomor:KEP-107/J.A/5/1984 tersebut dapat diajukan sebagai berikut, (1) UU No. 15 Tahun 1961 telah digantikan dengan UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI dan terakhir digantikan dengan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, yang disahkan dan diundangkan tanggal 26 Juli 2004 (Lembaran Negara RI TAHUN 2004 Nomor 67), (2) UU Nomor: 4/PNPS/1963 adalah UU mula-mula disebut Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1963. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU, telah dinyatakan sebagai  UU Nomor: 4/PNPS/1963. Setelah UU Nomor: 4/PNPS/1963 dilakukan pengujian secara materiil ke Makamah Konstitusi dalam tiga perkara Nomor Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 maka sidang dalam Keputusan MK yang dibacakan pada Senin, 11 Oktober 2010 dinyatakan sebagai berikut: (a) UU Nomor: 4/PNPS/1963 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan (b) UU Nomor: 4/PNPS/1963 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, berdasarkan Putusan MK tersebut, UU Nomor: 4/PNPS/1963 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3) Kepres RI No.: 32/M Tahun 1981 tentang Pengangkatan Jaksa Agung RI, tanggal 9 Februari 1981.

Keputusan ini merupakan keputusan yang bersifat penetapan (beschikking) yang normalnya individual, konkrit dan final (sekali-selesai) sehingga berlaku sampai masa jabatan Jaksa Agung tersebut selesai, tanggal 30 Mei 1984.

Berdasarkan ketiga alasan terhadap pertimbangan hukum “Mengingat” yang termuat dalam Keputusan Jaksa Agung RI Nomor:KEP-107/J.A/5/1984, pihaknya menyatakan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor:KEP-107/J.A/5/1984 sudah tidak berlaku lagi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selain itu, pendapat tersebut didukung pula dengan berlakunya Perubahan UUD NRI 1945 yang menetapkan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J).

Sementara itu, Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Yanto Jaya, SH mengharapkan agar PHDI Bali menarik diri dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali nomor 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan nomor 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 tentang Pembatasan kegiatan pengembanan ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali. Karena SK. 107 yang dijadikan dasar hukum pembuatan SKB sudah sejak semula tidak berlaku lagi pasca-Putusan MK dan ini dikuatkan dengan Legal Opinion di atas dan juga bertentangan dengan AD/ART Parisada, yang melarang Parisada Daerah mengikat Perjanjian dengan Pihak Ketiga terkait pelarangan beribadah dan kewenangan itu harusnya menjadi kewenangan Parisada Pusat dengan Persetujuan Sabha Pandita di Jakarta, Senin (11/10). (ist)