Permen KP 17/2021, DPR RI: Jangan Sampai Rugikan Nelayan

(Baliekbis.com), Komisi IV DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan I Made Urip menegaskan, terkait polemik Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) 17/2021 diharapkan jangan sampai merugikan nelayan.

“Jadi kan mungkin apa alasan dari temen-temen di kementerian, kan itu. Kita harus benar-benar dengarkan, jangan sampai betul-betul merugikan para nelayan kita,” sebut Made Urip, Minggu (25/07/2021)

Politisi asal Bali ini menjelaskan, meski Permen KP 17/2021 itu sepenuhnya jadi kewenangan dari kementerian namun jika merugikan nelayan harus diperhatikan.

“Beda kalau dengan UU, harus kita bahas bersama antara kementerian dengan DPR. Jadi kalau Permen ya kewenangan dia ( Kementrian-red). Cuman kalau itu merugikan para nelayan kita, karena menghantam dari ekonominya, kurang menguntungkan dan merugikan, kan harus diperhatikan,” jelasnya.

Made Urip mengatakan, bersama anggota Komisi IV DPR RI lain berjanji akan berjuang apa menjadi keluhan nelayan jika memang merugikan. “Kita akan akomodasi itu pendapat-pendapat dari daerah, terutama daerah-daerah yang menjadi basis para nelayan kita yang dirugikan oleh Permen KP. Kan harus kita bicarakan, baik dengan Dirjen dan saudara Menterinya,” katanya.

“Jadi yang bisa dilakukan adalah penyesuaian di daerah, di kantong nelayan kita kan. Nanti ketika ada rapat kerja dengan Menteri, atau rapat dengar pendapat dengan Dirjen yang menangani itu, kita akan sampaikan nanti. Karena kondisi daerah kan beda-beda,” imbuhnya.

Sementara dihubungi terpisah TB Haeru Rahayu selaku Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak dapat memberikan tanggapan. Ia mengatakan agar mengkonfirmasi ke bidang media KKP, karena sistem informasi satu pintu.

“Maaf mas, kami harus satu pintu kebijakannya, untuk publikasi ada di Pak Wahyu dan Pak Doni (Staf Khusus Bidang Hubungan Media dan Komunikasi Publik KKP, red) dan saya hanya suplai data saja,” ujarnya singkat. Namun, sayangnya, dihubungi terpisah Doni Ismanto Darwin tidak memberikan respon. Telepon dan pesan singkat yang dikirimkan awak media untuk mengkonfirmasi tidak mendapat jawaban maupun balasan.

Sebelumnya perlu diketahui, sejumlah nelayan tangkap benih bening lobster (BBL) terutama daerah Lombok mengadu dan meminta kepada presiden Jokowi agar mempermudah aturan lalu lintas pengiriman BBL di dalam negeri.

Keadaan ini disampaikan lantaran buntut dari Permen KP 17/2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan di Wilayah Negara Republik Indonesia yang baru keluar dirasa nelayan masih belum pro rakyat.

Lalu lintas BBL di wilayah Republik Indonesia diharuskan ukuran 5 gram ke pembudidaya lobster dalam negeri menjadi beban nelayan tangkap terutama di sumber benih dan juga pembudidaya itu sendiri.

“Kami sebagai nelayan kecil di bawah, apalagi di masa sekarang ini (CIVID-19), kita butuh untuk memenuhi ekonomi atau makan menghidupi keluarga. Kami mau berkeluh kesah mengadu dan meminta kepada presiden Jokowi supaya dimudahkan menjual hasil tangkapan kami, yaitu benur (BBL),” keluh Sudarmono selaku Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Tangkap di Teluk Awang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut Lombok Tengah.

Sudarmono menjelaskan, pihaknya bersama nelayan lain mendukung ekspor BBL dihentikan dan melakukan budidaya lobster di dalam negeri. Sisi lain ia berharap, aturan lalu lintas pengiriman ke pembudidaya antar daerah jangan dipersulit. Seperti disebutkan dalam Permen KP 17/2021, dimana mengharuskan BBL sudah berukuran 5 gram baru boleh dikirim ke pembudidaya lintas provinsi.

“Kami juga berharap agar hasil tangkapan kami juga bisa dijual ke luar daerah, tidak hanya di Lombok, semisal ke Bali karena di sana kan juga ada pembudidaya. Nah, prosesnya itulah yang mudah-mudahan bisa dipermudah pemerintah. Okelah kalau harus di dederkan dulu sifatnya semisal 3-5 hari sampai berpigmen di rumah, masihlah kami kuat, baru dijual,” harapnya

Menurut Sudarmono jika nelayan dipaksa melakukan pendederan sampai satu bulan atau dua bulan dikatakan butuh modal ekstra dan besar. Belum lagi menyiapkan tempat, harus memberi makan begitu juga butuh proses waktu yang lama.

“Kalau kami harus dederkan sampai satu bulan atau dua bulan, itukan butuh modal ekstra juga. Kan harus ada dikasih makan juga.
Tempatnya juga kan gak bisa lagi didederkan di rumah, harus ada tempat khusus seperti keramba, bikin bak yang besar itu, baru bisa. Dan itu butuh modal besar,” papar Sudarmono.

Keadaan senada juga disampaikan Putu Darmaya salah satu pelopor pembudidaya lobster dari Bali. Ia menganggap Permen baru ini terlihat manis tapi pahit di nelayan tangkap BBL dan pembudidaya lobster dalam negeri.

Ketentuan lalu lintas BBL harus ukuran 5 gram dalam Permen KP 17/2021 selain dianggap membebani nelayan tangkap juga dikatakan mempersulit pembudidaya mendapatkan bibit. Misal daerah Bali diungkap, untuk mendapatkan bibit bergantung dari Lombok dan Sumbawa.

“Untuk budidaya itu kan gak gampang mencari benur (BBL-red). Ini syarat 5 gram sama saja menutup kita, karena di Bali kan ndak ada benur. Nah kita nyari benur itu harus belinya di luar. Paling banyak itu di Lombok sama di Sumbawa. Kalau buat pembudidaya yang di daerahnya ndak ada sumber benih agak susah,” ungkap Putu Darmaya. (ist)