Pentas Calonarang: Bergelut Sepanjang Zaman

(Baliekbis.com), Budaya dan agama di Bali saling berpadu-padan. Keduanya menghasilkan bentuk indah sebuah seni. Unsur magis turut membalut. Kesakralan dalam seni pun menjadi tercipta. Salah satunya adalah Pentas Calonarang. Saking sakralnya, Pentas Calonarang hanya dapat disaksikan saat ada odalan di Pura Dalem. Pentas  Calonarang dipentaskan pada saat malam hari hingga menjelang dini hari.

Hal yang menarik dari Pentas Calonarang adalah penonton yang tidak boleh hanya melihat setengah dari durasi pertunjukan. Penonton harus mengikuti alur ceritanya sampai selesai. Hal ini diwajibkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Masyarakat percaya bahwa  roh  jahat bisa dengan mudah merasuki manusia karena dalam pementasannya dihadiri oleh orang-orang yang memiliki ilmu sihir. Pentas Calonarang mengisahkan tentang ilmu sihir, baik ilmu sihir putih maupun ilmu sihir hitam. Ilmu sihir hitam ini lebih dikenal dengan istilah pangiwa atau pangleakan. Isi dari cerita Calonarang berasal sejak jaman pemerintahan Raja Airlangga di Kahuripan (Jawa Timur).

Namun pentas dramatari Calonarang mengalami perkembangan dari masa ke masa. Perkembangan tersebut bergeser dari sifat keskralannya. Dramatari Calonarang saat ini sudah berkembang hingga menjadi tiga jenis. Calonarang Klasik, Calonarang Prembon dan Calonarang Anyar. Ketiganya masih tetap memiliki unsur yang sama, yakni melakoni seni yang berkaitan dengan ilmu sihir.

Calonarang Klasik mencakup tiga bagian yakni: pembukaan (pategak), sajian tari dan drama (paigelan), dan penutup (panyuwud). Calonarang Klasik diperkirakan muncul sekitar akhir abad XIX di daerah Gianyar Barat (Batubulan, Singapadu, Sukawati). Calonarang ini dibentuk oleh unsur-unsur bebarongan, pegambuhan dan palegongan. Unsur bebarongan diwakili oleh barong ket, rangda dan celuluk. Pegambuhan oleh condong, putri, patih manis (Panji) dan patih keras (Pandung) dan palegongan oleh sisia-sisia. Selain itu juga terdapat bondres yang merupakan orang-orang desa yang berwatak lucu. Pertunjukan Calonarang Klasik ini biasa diiringi dengan Gamelan Bebarongan maupun Gong Kebyar. Calonarang Klasik diperankan oleh 30 orang penari dewasa secara keseluruhan, baik pria maupun wanita.  Dalam pementasannya, dramatari ini berdialog menggunakan bahasa bali.

Calonarang Klasik memiliki beberapa perbedaan dengan Calonarang sakral. Calonarang Klasik dipentaskan setiap pagi hari di daerah Batubulan sedangkan Calonarang sakral hanya dipentaskan pada malam hari pada saat ada odalan di Pura Dalem. Selain itu, Calonarang Klasik berfungsi sebagai hiburan, berbeda dengan Calonarang magis yang dipergunakan untuk membersihkan desa dari roh jahat.

Tak hanya itu, penggunaan senjata tajam pada Calonarang Klasik pun sudah dipastikan aman dan hanya dapat dilakukan oleh seorang penari yang sudah ahli. Namun pada Calonarang yang bersifat magis, terdapat adegan penusukan Rangda secara bebas saat kesurupan. Penusukan ini dilakukan oleh orang yang sudah dirasuki roh. Orang yang dirasuki roh ini tidak dapat mengendalikan tubuhnya secara sadar sehingga sebagian besar akan melukai penonton.

Calonarang Klasik tidak memperagakan adegan kematian (ada orang yang memerankan  mati suri) seperti Calonarang sakral. Orang yang mati suri ini merupakan objek untuk menantang orang yang memiliki ilmu sihir agar datang ke pementasan. Hal tersebut tidaklah ada di calonarang klasik yang banyak ditemui saat ini.  Calonarang Klasik hanya berdurasi satu jam di setiap pentasnya, berbeda dengan Calonarang sakral yang berlangsung lebih lama yakni hingga tiga jam atau lebih. Pementasan Calonarang Klasik kini masih ramai dikunjungi. Selain dimaksudkan sebagai hiburan, pementasan ini ditujukan untuk melestarikan budaya Bali melalui dramatari. (iam)