Pariwisata Merupakan Sektor Ekonomi Potensial Berdaya Saing Tinggi

(Baliekbis.com), Pengembangan sektor pariwisata merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia yang menjadi fokus perhatian pemerintah dan Bank Indonesia.

“Berkembangnya sektor pariwisata juga akan berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkesinambungan, seimbang, dan inklusif,” ujar Kepala Grup Teknologi Finansial, Kerjasama dan Komunikasi Sistem Pembayaran Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Erwin Haryono di sela acara Seminar Nasional High Level Discussion Pengembangan Pariwisata di Era Ekonomi Digital di Gedung KPw BI Bali, Senin (17/12).

Dikatakan pariwisata merupakan sektor ekonomi potensial yang berdaya saing tinggi. Sektor ini memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap devisa. Berdasarkan data Neraca Pembayaran Indonesia, pada tahun 2017, pariwisata menyumbang sekitar 14 miliar dolar bagi penerimaan devisa nasional. Nilai tersebut sudah setara dengan nilai ekspor komoditas unggulan Indonesia seperti CPO, batubara, tekstil, dan sebagainya.

“Sektor pariwisata memiliki potensi untuk ditingkatkan dan terdapat ruang yang cukup besar untuk memaksimalkan potensi pariwisata sebagai salah satu penghasil devisa utama Indonesia,” tambah Erwin Haryono. Dikatakan untuk memaksimalkan potensi pariwisata nasional, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, serta lembaga-lembaga lainnya telah bersinergi untuk menyusun strategi pengembangan pariwisata, yang disebut 3A2P. Strategi tersebut mencakup pengembangan 3A (akses, atraksi, dan amenitas) di destinasi wisata; penguatan promosi; serta penguatan pelaku usaha pariwisata.

Telah disusun pula program-program untuk mendukung pencapaian strategi tersebut. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan potensi pariwisata nasional adalah dengan mengadopsi digital platform dalam pariwisata. Strategi tersebut sejalan dengan fenomena turunnya daya beli konsumen yang ditandai dengan sepinya toko ritel konvensional. Sebagian pakar ekonomi mengatakan bahwa terjadi peralihan konsumen ke gerai ritel online. Namun, hal tersebut tidak sepenuhnya benar mengingat porsi e-commerce di Indonesia menyumbang 1,2% dari total PDB. Konsumen Indonesia yang sudah termasuk middle-class consumers, mengalami pergeseran pola konsumsi dari “goods-based consumption” menjadi “experience-based consumption”. Konsumen tak banyak membeli gadget atau elektronik (goods) dan mulai memprioritaskan menabung untuk tujuan liburan (experience).

Pada generasi millennial khususnya, dikenal istilah esteem economy dimana generasi dulu, membutuhkan leisure yang sesungguhnya, namun generasi millennial mencari esteem/pengakuan untuk media sosialnya. Sedangkan dari tempat yang sama Deputi KPw BI Provinsi Bali Azka Subhan menyampaikan, ekonomi digital adalah sebuah bentuk kebangkitan yang disebut sebagai The 4th Industrial Revolution. Saat ini, revolusi tahap IV ditandai dengan penggunaan teknologi informasi secara masif, artificial intelligence, the internet of thing dan cloud computing.

“Kebangkitan ekonomi digital adalah sebuah keniscayaan akan bentukan baru struktur ekonomi masa depan, yang tentunya harus kita sikapi dan persiapkan. Bank Indonesia senantiasa menempatkan diri sebagai institusional leader dalam mendorong pengembangan ekonomi digital,” ujarnya.

Berbagai perkembangan terkini terkait ekonomi digital telah direspon dengan berbagai kebijakan. Sebagai contoh telah dikeluarkan kebijakan untuk layanan Teknologi Financial (TekFin) dengan regulatory sandbox untuk tetap mendorong inovasi sambl memitigasi potensi risiko yang muncul. “Potensi industri digital di Indonesia memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Ada sekitar 93,4 juta pengguna internet dan 71 juta pengguna perangkat telepon pintar di Indonesia saat ini. Kondisi itu merupakan modal besar bagi Indonesia untuk mengembangkan e-commerce dan bisnis aplikasi teknologi digital di Tanah Air,” sebut Azka. (abt)