Optimisme Menghadang Gejolak Virus Corona

(Baliekbis.com), Hingga akhir April lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan kinerja -25,13% sepanjang tahun ini. Pada bulan lalu saja, IHSG sempat mengalami rebound sebesar +3,91%, namun investor asing masih melakukan aksi jual bersih dengan total Rp8,8 triliun. Masih hingga akhir bulan lalu, IHSG diperdagangkan dengan valuasi price to earnings ratio (P/E) sekitar 12,7x, merupakan valuasi yang cukup atraktif. Valuasi seperti saat ini pernah terjadi pada tahun 2008. Meski demikian, perlu diingat bahwa pasar modal pernah juga melewati koreksi serupa tahun 2008 saat berbagai aset keuangan mengalami penurunan yang tajam. Namun, di tahun berikutnya indeks kembali pulih dan mencapai posisi yang lebih tinggi dari sebelum penurunan.

Situasi yang berubah dengan sangat cepat tentunya membuat beberapa investor panik dan menjual aset yang dianggap terlalu berisiko. Likuiditas pasar berperan dalam menciptakan volatilitas, karena investor ingin mendapatkan uang tunai sementara di saat yang bersamaan terlalu sedikit pembeli di pasar. Hal yang wajar jika investor merasa khawatir namun jangan berlebihan bahkan hingga membawa kepanikan. “Pada saat pasar seperti sekarang ini setiap investor harus berpikir jernih dan melihat dalam jangka waktu yang panjang, ketika bisnis atau ekonomi telah kembali normal,” ungkap Head of Wealth Management & Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya saat Market Update online, hari ini, di Jakarta.

Ivan menyebutkan volatilitas pasar selalu cenderung meningkat di tengah ketidakpastian yang terjadi. Dengan terganggunya aktivitas ekonomi di sebagian besar belahan dunia saat ini akibat mewabahnya Covid-19, para ekonom memperkirakan akan terjadi kontraksi ekonomi dunia pada dua hingga tiga kuartal pertama pada tahun ini.

Namun, lanjut Ivan, para pembuat kebijakan di setiap negara sudah sepenuhnya memperhatikan perkembangan pandemi ini dan terlihat bersedia untuk melakukan apapun untuk membendung krisis. Kebijakan stimulus moneter maupun fiskal yang sudah dikeluarkan oleh bank sentral dan pemerintah dari berbagai negara dianggap telah berhasil meredakan kepanikan dan volatilitas pasar keuangan global maupun domestik. “Semua kebijakan ini memberikan stimulus positif untuk mengimbangi kontraksi ekonomi yang akan terjadi,” jelas Ivan.

Ivan mengungkapkan, dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) telah melakukan berbagai kebijakan moneter mulai dari pemotongan suku bunga sebanyak 50 bps sepanjang tahun ini, melakukan intervensi pasar untuk stabilisasi rupiah dan obligasi pemerintah, hingga menurunkan Giro Wajib Minimum untuk meningkatkan likuiditas perbankan.

Dari sisi kebijakan fiskal, Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan stimulus senilai Rp405,1 triliun yang difokuskan kepada 4 hal yakni keselamatan dan kesehatan dengan tambahan anggaran sebesar Rp75 triliun, perlindungan sosial senilai Rp110 triliun, insentif ekonomi (perpajakan dan stimulus kredit) senilai Rp70,1 triliun serta Rp150 triliun untuk pembiayaan pemulihan ekonomi nasional. Stimulus tersebut setara dengan 2,41% terhadap PDB, yang merupakan jumlah yang besar jika dibandingkan dengan stimulus yang sebelumnya pernah diberikan pemerintah ketika krisis terjadi. Selain itu dalam Perppu No.1 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan juga melonggarkan batas defisit anggaran menjadi di atas 3% hingga tahun 2022, memotong tarif pajak korporasi serta memperbolehkan Bank Indonesia untuk membeli obligasi pemerintah Indonesia pada pasar primer.

Ivan menyebutkan, jika dibandingkan stabilitas dan ketahanan ekonomi Indonesia saat ini dengan kondisi pada saat krisis sebelumnya, baik pada tahun 2008 maupun 1998, bisa dibilang jauh lebih baik. Sebagai contoh, inflasi saat ini yang stabil dan terjaga rendah di kisaran 3% (vs. 12% pada 2008 ; 82% pada 1998). Selain itu, cadangan devisa saat ini jauh lebih besar sehingga dapat dijadikan amunisi untuk menjaga stabilitas rupiah serta menahan laju pelemahan rupiah. Cadangan devisa Indonesia saat ini berada pada level $120 miliar (vs. $50 miliar pada 2008 ; $17 miliar pada 1998).

Kondisi fundamental Indonesia yang cukup baik ini juga dapat membuat para investor asing kembali melirik Indonesia sebagai salah satu negara emerging market yang menjadi tujuan investasi. Hal tersebut juga didukung dengan tingkat real yield Indonesia yang ditawarkan saat ini sekitar 5,45% dinilai – atraktif jika dibandingkan dengan negara emerging market lainnya.

Memang belum ada yang tahu pasti apakah IHSG sudah mencapai bottom atau belum, karena ketidakpastian dari pandemi Covid-19 masih ada. Sejarah mencatatkan pasar akan bangkit kembali setelah mengalami keterpurukan dan ini bukan pertama kali pasar mengalami kejatuhan. Namun yang lebih penting untuk dicermati adalah waktu recovery ketika IHSG masuk pada bear market. Dari sejarahnya, secara rata-rata IHSG membutuhkan waktu selama 11 bulan untuk recover (pertama kali melewati titik puncak sebelumnya) dengan durasi paling lama selama 18 bulan. “Perlu diingat bahwa kinerja masa lalu bukan jaminan kinerja masa depan, yang terpenting dalam strategi berinvestasi adalah mencari tahu tujuan Investasi, keadaan cash flow dan profil risiko kita. Seorang investor harus menyadari peta kepribadian dirinya,” ungkap Ivan.

Menurut Ivan, yang terpenting dilakukan investor di masa apapun terutama yang baik dilakukan dengan kondisi saat ini adalah diversifikasi aset. Pada saat ini, Ivan menyarankan investor untuk menyesuaikan alokasi aset portofolionya dengan tujuan untuk menurunkan volatilitas portofolio. Untuk investor dengan profil risiko balanced adalah 30% di reksa dana saham, 35% reksa dana pendapatan tetap, 25% di reksa dana pasar uang, dan 10% di deposito. Sedangkan untuk investor dengan profil risiko agresif idealnya memiliki portofolio yang terdiri dari 60% reksa dana saham, 25% reksa dana pendapatan tetap dan 15% reksa dana pasar uang, dan jangan lupa agar tetap aman investasi dari rumah saja melalui digital yaitu bisa dari internet atau mobile banking.(ist)