Oknum Dewan Terjerat Narkoba, ‘Korban’ Sistem Politik Biaya Besar

(Baliekbis.com), Beberapa kasus narkoba yang menjerat oknum dewan di beberapa daerah termasuk di Bali, banyak disebabkan karena sistem politik biaya besar, bahkan sangat besar. Mereka (oknum dewan –red) adalah ‘korban’ dari sistem politik boros tersebut. Pengamat politik Dr. Luh Riniti Rahayu mengungkapkan, tidak melulu narkoba, korupsi pun merupakan  kasus jamak yang sering menyeret oknum dewan yang terhormat. “Sistem politik biaya besar inilah yang menyebabkan oknum dewan menempuh jalan pintas untuk membiayai perjalanan karir mereka di politik termasuk dalam upaya meraih kekuasaan yang lebih tinggi,” ujarnya ketika dihubungi di Denpasar, Jumat (17/11) siang.

Dosen Politik di Universitas Ngurah Rai Denpasar ini bahkan menyebutkan jika oknum dewan ini sebagai ‘korban’’ dari sistem politik yang disebutnya boros itu. Meskipun mereka menikmati gaji relatif tinggi namun dengan berbagai biaya operasional di luar kebutuhan pribadi, gaji tersebut bisa dibilang kurang. “Mereka harus memelihara hubungan baik dengan partisan, persiapan bakal maju lagi untuk periode berikutnya bahkan untuk meraih kekuasaan lebih tinggi. Misal menjadi wakil ketua, ketua atau bahkan dicalonkan partainya menjadi eksekutif. Bisa dibayangkan betapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan,” lanjut Riniti. Kebutuhan dana besar dalam waktu relatif singkat, membuat orang mencari jalan pintas bahkan cara-cara tidak terhormat pun dilakukan demi meraih kekuasaan yang lebih tinggi. “Untuk bisa bertahan sebagai anggota dewan saja, mesti berkompetisi dan itu juga butuh biaya besar. Tidak heran jika sampai terjadi kasus oknum DPRD terjerat narkoba. Ini salah siapa,” tanyanya.

Riniti Rahayu mengingatkan, sistem politik biaya besar terjadi karena masyarakat kita belum mampu memilih calon legislatif (wakil rakyat) yang baik yang punya track record bersih. “Kita punya andil dalam turut menentukan caleg yang bakal mewakili kita di dewan. Jika sampai terjadi kasus pada anggota dewan yang kita pilih, itu berarti juga salah kita. Pemilih punya andil besar dalam turut menentukan arah masa depan bangsa ini,” tandasnya. Menurut Riniti, kalau yang kita pilih punya track record buruk maka kebijakan atau aturan yang dibuatnya bakal cenderung tidak memihak rakyat tapi pada kepentingan diri sendiri dan golongannya. “Hanya diberi uang Rp 100 ribu, lantas kita memilih preman misalnya. Itu artinya kita sama dengan yang mewakili kita. Marilah mulai berani memilih orang-orang baik yang memiliki rekam jejak bersih. Saya yakin masih banyak orang-orang baik yang mampu mewakili kita. Tinggal bagaimana kita,” katanya sekaligus mengingatkan. (awm)