Ocean Plastic Prevention Accelerator Berkolaborasi dengan Bank Sampah Induk Surabaya Untuk Mengapresiasi Pekerja Sampah

(Baliekbis.com), Sampah bertumpuk, bertebaran, bahkan tak elok dipandang dan  berbau. Beberapa orang mungkin mengatasinya dengan cara membakar atau menimbun di dalam  tanah yang justru malah mencemari lingkungan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK) menyebut di era pandemi tahun 2020, total produksi sampah nasional telah menembus angka  67,8 juta ton, atau meningkat sekitar 3 juta ton dari tahun 2018. Artinya, hampir 185.753 ton sampah setiap harinya dihasilkan oleh 270 juta penduduk Indonesia.  Melihat peningkatan tersebut tentu peran pekerja pengelola sampah amat krusial.  

Guna mengapresiasi kontribusi para pekerja pengelola sampah, program yang bergerak di bidang  pembangun ekosistem inovasi sosial, Ocean Plastic Prevention Accelerator (OPPA) berkolaborasi  dengan Bank Sampah Induk Surabaya (BSIS) menggelar “Peduli Pahlawan Lingkungan”. Aksi bakti  sosial ini membagikan 200 paket alat pelindung diri (APD) pemilahan sampah dan sembako kepada  para pekerja sektor sampah pada 10 Mei lalu. Event dihadiri pemulung, nasabah dan pegawai BSIS. 

Aksi sosial “Peduli Pahlawan Lingkungan” ini diharap mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat  mengenai pentingnya peranan, keselamatan kerja dan peningkatan kesejahteraan pekerja pengelola  sampah.  

Anjar Putro (31) selaku ketua Bank Sampah Induk Surabaya (BSIS) menuturkan, pekerjaan pengelolaan  sampah masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat di lingkungannya. “Harapannya  semoga ke depan akan ada banyak lagi pihak yang mau bersinergi untuk berkontribusi terhadap  program serupa, khususnya dari pemerintah terkait,” tutup Anjar.  

Pengelolaan sampah di Indonesia dan di seluruh dunia mayoritas dijalankan oleh pekerja informal.  Berdasarkan data International Labor Organization (ILO), hanya sekitar 4 juta dari total 9-14 juta pekerja  di sektor pengelolaan sampah di seluruh dunia terhitung formal.2 Artinya, mayoritas pekerja sektor  informal dalam kesehariannya berinteraksi dengan sampah tak memakai perlengkapan pengaman  memadai dimana risiko terinfeksi material asing dan kecelakaan kerja sangat tinggi. Belum lagi  kemungkinan tertular COVID-19. 

Dari perspektif proses kerja, pekerja sektor sampah rawan dicurangi karena kurangnya transparansi di  dalam rantai pasokan. Hal ini membuat praktik kerja etis menjadi sulit diukur. Terlebih pendapatan  pekerja pengelola sampah termasuk dalam kelompok ekonomi rentan. Berdasarkan Survei Badan  Pusat Statistik (BPS) Juni 2020, sebanyak 70,53 persen responden masyarakat dengan upah di bawah  1,8 juta rupiah per bulan mengaku mengalami penurunan pendapatan sejak COVID-19 melanda.3 

Seperti dialami Suhartono (46), salah satu pekerja sektor sampah di Surabaya yang mengeluhkan  pendapatan hariannya berkurang sejak pandemi. “Sebelum ada Corona, dapatnya 200 Ribu rupiah tiap  kali setor, sekarang ini nggak tentu, kadang 100 Ribu kadang 120 Ribu.”

Secara bersamaan, pekerja sektor sampah juga rawan kehilangan pekerjaan. Seperti dialami pekerja  salah satu BSIS, Yuda (37) yang sempat dirumahkan sementara waktu. Beberapa fasilitas pengolahan  sampah memilih menunda operasinya selama pandemi untuk mengurangi penyebaran virus dari  material asing atau omset turun drastis akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).  

Perlunya Kolaborasi 

Maka dari itu OPPA-SecondMuse, yang didukung oleh The Incubation Network (TIN), The Circulate  Initiative (TCI), Global Affairs Canada (GAC), Alliance to End Plastic Waste (AEPW), dan beberapa  organisasi lain, mencoba mencari solusi inovatif untuk mengatasi tantangan dalam sistem pengelolaan  sampah lokal dan sektor daur ulang melalui kegiatan kolaboratif. “Sektor informal juga menjadi  perhatian besar bagi OPPA, sehingga kami dengan semangat mendukung aksi sosial Peduli Pahlawan  Lingkungan yang dijalankan oleh BSIS di Kota Surabaya,” tambah Duala Okto selaku Project Manager OPPA. 

Salah satu penerima bantuan, Agus Winarto (46) menyampaikan aksi sosial ini menandai bahwa  pekerja sektor sampah mulai diperhitungkan. “Insya allah ke depannya kami lebih bersemangat dan  bisa memberikan kontribusi lebih,” lanjut Agus yang juga ketua Bank Sampah Songolikoer Surabaya. 

Saat ini, ada sekitar 3,7 Juta pemulung di Indonesia, menurut data Ikatan Pemulung Indonesia (2019)4 yang mengandalkan pendapatan hariannya dari sampah. Angka ini belum termasuk pekerja lain di  sektor serupa. Terlebih lagi, pekerja sektor informal bertanggung jawab terhadap pengumpulan  sampah plastik untuk kebutuhan daur ulang di Indonesia, berdasarkan National Plastic Action  Partnership. Sebagai aktor kunci dalam sistem manajemen sampah yang lebih baik, kesejahteraan  pekerja informal harus menjadi perhatian kita semua. 

Selain aksi bakti sosial bersama Bank Sampah Induk Surabaya, OPPA juga berkolaborasi dengan  National Plastic Action Partnership (NPAP) dan the World Economic Forum menjalankan program  “Informal Plastic Collection Innovation Challenge” (cutt.ly/IPC-Innovation-Challenge-2021). Program ini  ingin mencari solusi atas tiga tantangan penanganan sampah sektor informal di Indonesia yaitu,  menciptakan rantai pasokan yang lebih baik, meningkatkan literasi digital bagi pekerja sektor informal  dan visibilitas yang lebih baik bagi pekerja sektor sampah di mata masyarakat.  Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi https://www.oppa.id/.  (ist)