Nawanatya, Jangan Sampai Hilang

(Baliekbis.com), “Kalau ini sampai tidak ada, bisa kehilangan media agar anak-anak terus tertarik terhadap kesenian,” tutur I Wayan Dibia tegas, Jumat (9/11). Ada apa?  Kekhawatiran Dibia pun kian meradang. Dibia yang menjabat sebagai salah satu tim pengamat dalam Gelar Seni Akhir Pekan Bali Mandara Nawanatya III ini paham betul bahwa acara ini adalah media yang sangat berpotensi untuk meningkatkan minat remaja dalam berkesenian. Tidak cuma berkesenian, lihat solidaritas mereka itu terbangun disini. Dukungan anak-anak inilah yang patut kita apresiasi, terang Dibia seusai menyaksikkan penampilan dari SLUA Saraswati Denpasar dan SMA Dwijendra Denpasar. Kondisi cuaca yang kerap turun hujan gerimis membuat pementasan yang semula direncanakan berlangsung di Kalangan Madya Mandala, Taman Budaya Denpasar pindah ke Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar yang dimulai pada pukul 19.30wita.

Sebagai penampil pertama, SLUA Saraswati Denpasar tampil dengan garapan lepas, yakni bukanlah sebuah garapan utuh layaknya fragmentari atau sejenisnya. Hanya tari dan tabuh saja untuk malam ini, ujar Made Budiadnyana selaku Kepala SLUA Saraswati Denpasar. Garapan yang dikatakan Budiadnyana terdiri dari Tabuh Pembukaan, Tari Sekar Jempiring, Tari Kebesaran Saraswati, Tari Kembang Taru (Kontemporer).

Menurut Budiadnyana, Bali Mandara Nawanatya adalah sebuah wadah berkesenian yang cocok bagi anak muda. Disinilah mereka bisa unjuk gigi dan berkreasi, serta berinteraksi dengan teman-temannya. Semoga tetap bertahan meski dengan nama yang berbeda, ungkap Budiadnyana mantap. Menurut I Wayan Dibia, garapan siswa-siswi SLUA Saraswati Denpasar sangat tradisional. Kreativitas anak-anak lumayan lah, untuk Saraswati itu tradisional sekali, jelas Dibia.

Seusai SLUA Saraswati Denpasar, pementasan pun dilanjutkan dengan garapan dari SMA Dwijendra Denpasar yang membawakan garapan bertajuk Ahangkara. Konsepnya tentang zaman Kaliyuga yakni zaman kehancuran, garapan ini menginspirasi teman-teman agar eling dengan diri kita sendiri, ujar Pande Putu Kevin Dian Muliarta selaku konseptor garapan.

Dalam garapan ini, Kevin pun mengungkapkan perkembangan zaman yang maju dengan cepat harus seimbang dengan tradisi dan budaya yang telah melekat. Kevin yang merupakan alumni SMA Dwijendra pun berharap dengan adanya garapan ini, solidaritas siswa-siswi Dwijendra dapat terjaga melalui sebuah komunitas yakni DJ Artist. Memilih dan mengikut sertakan DJ Artist yakni komunitas yang menjaga komitmen seniman SMA Dwijendra agar dapat menyatukan rasa dan pikiran, jelas Kevin yang masih mengenyam pendidikan di ISI Denpasar jurusan tari. I Wayan Dibia pun mengomentari bahwa garapan kontemporer SMA Dwijendra memiliki pesan yang bagus namun penyampaiannya terlalu eksplisit. Untuk bicara tentang kekinian dan tradisional sudah lumayan, hanya penyampaiannya terlalu eksplisit, kurang diindahkan, tutur Dibia.

Menutup kekurangan dan kelebihan masing-masing penampil, bagi Dibia yang perlu diapresiasi adalah usaha para pelajar dalam berproses. Usahanya dan dukungan anak-anak yang sangat solid hadir mendukung ini patut diapresiasi, ini suatu hal yang perlu kita berikan catatan, jangan sampai hilang, pesan Dibia.

Obat Mendung Sore Hari

Meski cuaca tak bersahabat, namun garapan SDP Negeri Tulangampiang Denpasar dan SD Cipta Dharma mengubah langit mendung menjadi suasana penuh tawa dan makna. Gelar Seni Akhir Pekan Bali Mandara Nawanatya III kembali hadir pada Jumat, 9 November 2018 di Kalangan Angsoka Taman Budaya, Denpasar. Penampil pertama yang datang dari SDP Negeri Tulangampiang Denpasar mempersembahkan Tari Kolaborasi yang menggabungkan berbagai tari dan lagu khas nusantara. Dengan garapan ini harapan kami agar anak-anak generasi penerus bangsa, selain punya kemampuan dibidang teknologi anak-anak bisa mengembangkan aktivitas dalam bidang seni dan budaya Indonesia, ujar Wakil Kepala SDP Negeri Tulangampiang Denpasar, Wayan Dika. Meski siswa-siswi SDP Negeri Tulangampiang melaksanakan fullday school, namun kendala selama proses garapan tidaklah dirasakan sebab menurut penuturan Dika siswa-siswinya sangatlah menikmati proses penggarapan yang dilangsungkan setiap pulang sekolah.

Sebagai penampil kedua, SD Cipta Dharma memilih garapan yang bertemakan religi dan kecintaan terhadap lingkungan. Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga yang menjadi hari untuk memberikan persembahan kepada tumbuhan bagi umat Hindu menjadi landasan garapan SD Cipta Dharma. Sang Hyang Taru murka sebab manusia gemar menebang pohon sehingga ada hujan dan terjadi banjir jadi Dewi Sang Hyang turun kita untuk memperingatkan pentingnya menjaga lingkungan dan tumbuhan, jelas Ni Luh Rinun selaku Kepala SD Cipta Dharma. Melibatkan kurang lebih 45 orang siswa, Rinun mengungkapkan anak-anak yang dipilih melalui proses seleksi terlebih dahulu yang sebagian besar berasal dari anak-anak ekstra tari. Sebuah keberlanjutan pun diharapkan keduanya baik bagi Dika maupun Rinun terhadap pelaksanaan Bali Mandara Nawanatya. Bagus sekali untuk dilanjutkan mungkin kalau bisa anak-anak mendapat piagam apresiasi bahwa telah berpartisipasi dalam Bali Mandara Nawanatya, ujar Rinun mengakhiri pembicaraan. (gfb)