Munas X Perbarindo di Solo: AD/ART Dilanggar, Sejumlah Pendiri Pilih “Walk Out”

(Baliekbis.com), Carut marut Munas Perbarindo menjadikan munas kali ini dinilai yang terburuk dalam sejarah. Karena untuk pertama kali ada 2 DPD yang notabena sebagai pendiri melakukan tindakan WO (Walk Out).

“Sebagai anggota Perbarindo yang waras, cinta organisasi dan tidak kemaruk/haus kekuasaan (karena dalam AD/ART sudah mengatur batas waktu kepemimpinan), apa yang terjadi di Munas ini sudah dicoreng dengan label demokrasi tapi justru mencederai demorasi itu sendiri,” ujar salah satu peserta munas yang juga pendiri Perbarindo Made Arya Amitaba, Senin (29/10) usai mengikuti Munas X di Solo belum lama ini.

Menurut Amitaba, eforia demokrasi yang kebablasan terlihat dengan adanya intrik dan trik yang tidak memperhitungan logika hukum, keseimbangan hukum dan asas keadilan serta persamaan hak. Sebagi organisasi yang melindungi dan mengayomi 1.560 BPR seluruh Indonesia seharusnya, Perbarindo bisa menjadi wadah yang acountable, menjunjung tinggi kode etik serta prinsip hukum positif dan norma kewajaran dalam berorganisasi dengan melaksanakan sepenuhnya amanat AD dan ART. Bukan sebaliknya karena kepentingan pribadi dan atau kelompok lalu menghalalkan segala cara, melakukan praktek-praktek yang di luar kelaziman seperti kecurangan secara sistematis dan masif untuk melanggengkan kekuasaan dan menjadi penguasa yang absolut dengan mengenyampingkan prinsip demokrasi. “Dan ujung-ujungnya menciptakan tirani kekuasaan, anggota diurus sebagai sapi perahan dan menjadi objek kepentinggan sesaat. Bukan menjadi subjek. Dan ini menjadi keprihatinan yang sangat krusial dalam berorganisasi,” tegas mantan Ketua Perbarindo Bali ini.

Keprihatinan itu terjadi dengan cara mencederai keadilan serta tidak mempertimbangkan penggelolaan yang baik/GCG. Padahal itu adalah hal yang hakiki dalam organisasi guna kepentingan bersama bukan sepihak. Menurut Amitaba, lazimnya ketua selaku mandataris, dalam fungsinya harus melaksanakan AD/ART secara konsekwen karena pada saat terpilih wajib hukumnya mengawal AD/ART sesuai amanat Munas. Dan apa yang menjadi hak dan kewajiban baik pengurus dan para anggota harus dijamin RES dan ORDE. “Tetapi yang terjadi sekarang di Perbarindo adalah RIP (rest in peace) bagi anggota lain yang tidak seide dan sepaham,” tegas Amitaba.

Ke depan ia berharap Perbarindo benar-benar harus memperjuangkan aspirasi dan keadilan bagi anggota dengan cara hak-hak anggota harus menjadi prioritas dan suatu keniscayaan, dengan cara merombak dan merestorasi unsur-unsur
kepentingan bersama yang menjadi norma dasar dalam pengaturan jalannya organisasi dengan merumuskan kembali AD/ART yang baik, pro keadilan. Ia mencontohkan dalam penjaringan balon (bakal calon) dan pengusulan perubahan AD/ART ada tenggang waktu yang cukup sebelum Munas, ada spare waktu serta wajib melakukan verifikasi sesuai amanat AD/ART agar tidak tiba-tiba merubah AD/ART untuk kepentingan seseorang atau kelompok hanya sesaat. Padahal itu secara prinsip dan logika hukum sebetulnya sudah menyalahi (bisa dilihat dari pengkajian yang komprehensif dengan mempertimbangkan teori dan logika hukum oleh ahli).

“Hal lain yang kami anggap penting berupa kewenangan Dewan Pengawasan harus diatur lebih strategis dan rinci di dalam AD/ART agar bisa menjamin hadirnya tata kelola organisasi yang baik di perkumpulan Perbarindo. Apalagi, saudara Joko Suyanto, sebelum menjabat Ketum, sebelumnya menjabat sebagai Sekjen, dan 2 kali berturut turut menjadi Ketua Umum, dan dipaksakan pada Munas X di Solo ini menjadi ketua umum kembali dengan cara merubah anggaran dasar Perbarindo pasal 14, ayat 2 dari masa jabatan 2 periode menjadi 3 periode,” tegas Dirut BPR Kanti ini. Hal-hal seperti ini jelas-jelas mencederai sistem pengambilan keputusan secara demokrasi dan kalau ini dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi organisasi ke depannya. Karena nantinya aturan bisa saja dirubah tanpa mematuhi AD/ART. (ist)