Muhlis Lugis Ajak Anak-Anak Muda Cintai Seni Grafis

(Baliekbis.com), Pegrafis muda Indonesia, Muhlis Lugis, memberikan workshop seni grafis bagi anak-anak muda, Minggu (15/07). Bertempat di Bentara Budaya Bali (BBB), seniman kelahiran Ulo, Sulawesi Selatan ini juga mengajak generasi muda untuk mencintai seni grafis yang belakangan cenderung terpinggirkan. Secara khusus, Muhlis Lugis (29) mengenalkan peserta workshop pada cukil kayu, sebuah teknik seni grafis yang kini ditekuninya. Tinimbang mengikuti arus utama seni rupa kontemporer yang begitu ringan memadukan berbagai medium, Muhlis Lugis justru setia dengan teknik kuno cukil kayu, yang kini mulai langka. Teknik ini mulanya dipopulerkan oleh Suromo, Mochtar Apin dan Baharudin Marasutan pada akhir 1940-an. Muhlis merupakan pemenang ketiga dalam Kompetisi Internasional Trienal Seni Grafis Indonesia V yang diselenggarakan Bentara Budaya tahun 2015. Karyanya bertajuk Addiction terpilih mewakili Indonesia di antara lebih dari 300 karya dan 200 aplikasi dari lebih 21 negara.

Muhlis telah mulai menekuni seni grafis sejak kuliah di Universitas Negeri Makassar, dan makin terasah sewaktu ia menempuh S2 di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia pernah menjadi Finalis Pameran Besar Seni Rupa (PBSR ) #5 Kemendikbud, Taman Budaya Ambon (2017), Pemenang ke 3 Trienal Seni Grafis V (2015), Pemenang Program Parallel Event  BIENNALE JOGJA XII Equator #2 (2013), dan lain-lain. Adapun kompetisi dan workshop seni grafis yang diselenggarakan ini selaras komitmen Bentara Budaya untuk mendorong perkembangan kehidupan seni grafis dengan melanjutkan trienal berikutnya yang direncanakan akan digelar pada 2018 ini.

Selain lokakarya grafis, Muhlis Lugis juga berbagi kepada para peserta mengenai proses kreatifnya dalam berkarya, terutama terkait pameran seni grafis tunggalnya yang tengah berlangsung di BBB, bertajuk “Kemana Harga Diri”. Pameran ini telah dibuka secara resmi pada Sabtu (14/07) oleh perupa Nyoman Erawan, dan masih akan berlangsung hingga 23 Juli 2018 mendatang. Muhlis menyatakan bahwa gagasan tematik pameran “Kemana Harga Diri” ini berangkat dari kearifan lokal tanah kelahirannya, yakni budaya siri’.  Siri’ berarti budaya malu atau harga diri. Falsafah ini yang mendorong orang Bugis untuk bekerja keras, menjaga martabat dan menjaga norma.

Konsep siri’, yang menurut Muhlis bersifat abstrak, diterjemahkannya dalam bentuk tubuh-tubuh manusia dengan visual yang tidak lazim. Misalnya bagian-bagian tubuh tertentu yang sengaja didistorsi, distilir atau diubah bentuknya. “Harga diri itu sebenarnya ada dalam diri kita (tubuh). Misalnya rasa malu, menurut saya tecermin pada kepala manusia. Manusia yang tanpa kepala, berarti dia tidak punya rasa malu. Begitu juga pada bagian-bagian tubuh tertentu yang tidak lengkap atau ganjil. Karena menurut saya orang yang tidak memilik harga diri adalah orang yang tidak lengkap,” ungkapnya. Pada pameran kali ini Muhlis Lugis banyak menampilkan seri-seri potret.  Misalnya karya berjudul Grandmother (2014) adalah sebuah ode untuk nenek dengan keriput yang dihasilkan melalui ketekunan Muhlis menyayatkan mata pisau cukilnya. Juga Grandfather (2017), menggambarkan wajah lelaki renta dengan keriput yang dramatis.

Devi Ferdianto, salah seorang juri Trienal Grafis, menyebut karya-karya Muhlis merupakan kombinasi antara konsep, keterampilan dan kerja keras. “Di setiap karyanya ia mengolah gagasan dengan cerdas baik konsep maupun rupa, dengan kecermatan yang luar biasa. Pada karya seri manusia berkepala tangan, kita diajak untuk mengarungi alam fantasi yang meski absurd, karena keterampilannya mengolah cukil, malah semakin memberi ruang apresiasi bagi pengamat untuk masuk lebih jauh kedalam gagasan visual Muhlis”. (ist)