Mewaspadai Terjadinya Peningkatan Pengangguran Paska Covid-19

“Kami melihat pemerintah kurang efektif dalam menangani kasus Covid-19 karena masih memakai kebijakan Cyclical dan Conventional Playbook guna memerangi kasus yang merupakan structural threat untuk ekonomi kita”.

PERLU disadari bahwa bagian signifikan ekonomi Indonesia adalah UMKM yang berjumlah 99,99% dari total kurang lebih 64 juta usaha di Indonesia dan mempekerjakan s
hampir 117 juta orang di tahun 2018. Dimana 107 juta orang bekerja untuk usaha mikro.

UMKM juga penyumbang mayoritas untuk PDB Indonesia. Sehingga bantuan langsung untuk UMKM adalah perhatian mendesak agar usaha tetap hidup dan jumlah lapangan kerja bertahan. Dengan kebijakan kurang tepat sasaran, pengangguran akan meningkat drastis pasca-COVID-19.

Perlu dipertimbangkan bahwa efek stimulus moneter di Indonesia sedikit lambat bahkan pada saat situasi normal. Bisa dibilang bahwa kebijakan moneter kita adalah half glass empty karena capital movement dsb. dipengaruhi oleh faktor eksternal dimana ketika krisis ada dilema untuk melakukan capital controls yang akan membuat kepercayaan investor berkurang ke depannya. Sehingga lebih baik stimulus fiscal.

Lihat negara lain, stimulus fiskal US 2 tn USD (10% GDP), Spain dan France 200 bn EUR, Singapore 55 bn SGD (11% GDP), dan UK 90 bn GBP (lebih besar dari stimulus 2008). Sedangkan di Indonesia baru di-announce 22 tn (1.5 bn USD = 0.1-0.2% GDP).

Yang sudah dibicarakan adalah realokasi anggaran yang tidak mendesak.
Budget deficit bisa dinaikkan. Karena semua negara sedang menaikkan defisit mereka jadi secara relative balance of payments-nya kalau dijumlahkan masih par.
Indonesia masih bisa tidak pinjam uang ke IMF/WB dengan debt monetisation dan quantitative easing.
BI juga bisa cetak uang guna memberi utang kepada pemerintah untuk bantuan langsung ke sektor yang terdampak COVID-19.

Helicopter Money untuk sektor yang terdampak secara langsung. Suntik likuiditas di pasar keuangan agar suku bunga tetap rendah untuk mengurangi cost of debt ke BI dan tidak terjadi bank run dari masyarakat yang butuh uang karena panik. Perppu untuk recovery bond harus segera terbit.

Cetak uang = inflasi? Menurut kami, total ekonomi = total spending. Dan total spending = total money created + total credit created. Dengan situasi COVID-19, total kredit akan berkontraksi sehingga total money created bisa dinaikkan. Selama kenaikan uang terbit sebanding dengan penurunan total kredit, tidak akan terjadi inflasi.

Perlu diingat, kita berutang dengan BI. Jadi nanti agar utang pemerintah terhadap BI bisa terbayar dengan mudah, BI bisa melakukan quantitative tightening secara berkala. Dan ketika ada kesulitan membayar, pemerintah bisa refinancing ke BI. Selama prosesnya ditarik 10-20 tahun, efeknya bisa diminimalisir.

Cara kedua adalah menaikkan inflasi secukupnya yang disebar selama 10-20 tahun sehingga nilai utang secara riil akan turun untuk meringankan beban pemerintah membayar utang. Pemerintah berutang ke BI yang mengontrol inflasi dan suku bunga. Sehingga bisa bekerja sama dengan pemerintah untuk membantu beban utang.

Di lain sisi pemerintah harus memastikan bahwa uang pinjaman tersebut adalah untuk cash relief untuk keperluan emergency sehingga meminimalisir aliran dana keluar. Dari sisi fiskal, pemerintah bisa menaikkan sedikit pajak yang disebar jangka panjang (10-20 tahun). Panjangnya bergantung pada durasi utang terhadap BI

Perhatian kita bukan ke seberapa besar utang kita, tapi seberapa cepat dan agresif kebijakan yang bisa diambil untuk menyelamatkan populasi dan ekonomi kita. Kita harus menganggap bahwa wabah ini adalah kanker untuk negara kita dimana harus segera menyelesaikan secara dini daripada menunggu setelah terlambat.

Terkait pemanfaatan cadangan devisa Indonesia yang berjumlah sekitar 120 bn USD, sebesar 70-90 bn USD adalah untuk kebutuhan import, membayar repatriasi utang dan bunga short term. Sisanya sekitar 30-50 bn USD itu rentan terhadap resiko capital outflow di bond market. Karena kepemilikan asing yang cukup tinggi di surat utang Indonesia (32-35%) dari total outstanding bonds yang ada.

Ke depannya, jika devisa digunakan, resikonya adalah speculator forex akan menjual rupiah dan akan membuat nilai rupiah turun drastis serta memperburuk situasi yang ada. Pada intinya bond recovery yang harus dikeluarkan pemerintah itu berasal dari fresh IDR bukan dari forex reserve yang bukan milik kita.

*Masukan untuk Bisa Dipertimbangkan oleh Pemerintah dan DPR. (Agung Bagus Pratiksa Linggih, Alumni Business School, Manchester University)