Mengingatkan Tragedi Gelora Dewata di Piala Winners Asia

(Baliekbis.com), Masih ingat hingar bingar era Gelora Dewata Bali? Bagi para maniak sepakbola Bali, tentu tidak akan pernah lupa dengan sepak terjang tim berjuluk Naga Hitam Putih itu di kancah sepakbola elit nasional periode 90-an. Tim yang dibangun tahun 1989 oleh Haji Mislan (almarhum) itu menjelma sebagai kekuatan baru dan puncaknya di tahun 1994, tampil sebagai wakil Indonesia di Piala Winner Asia (sekarang AFC Cup).

Perjuangan itu, tentu tidak mudah diraih. Memulai berkompetisi di kasta kelas dua (Divisi I saat itu), Gelora Dewata hanya butuh setahun untuk promosi ke kompetisi elit (Divisi Utama). Dan di tahun 1994, Gelora Dewata tampil sebagai juara Piala Liga di mana di final berhasil mengalahkan tuan rumah Mitra Surabaya 1-0 lewat gol tunggal striker mungil Misnadi Amrizal Pribadi. Selang dua bulan, Gelora Dewata juga tampil di final Kompetisi Galatama, tetapi sayang di partai pamungkas (Stadion Jatidiri Semarang), Kadek Swartama dan kawan-kawan dipaksa harus mengakui keunggulan Pelita Jaya Jakarta dengan skor 0-1.

Sebagai penyandang gelar Piala Liga, Gelora Dewata pun go internasional (Winners Cup 1994/1995). Hasil undian dengan sistem knock out home & away (kandang dan tandang), Gelora Dewata bertemu Kualalumpur FA Malaysia dan akan melakoni laga tandang lebih dulu di markas Kualalumpur. Sempat unggul 1-0 lewat tembakan maut jarak jauh destroyer Wayan Sukadana, tapi pada akhirnya Gelora Dewata menyerah 1-2 lewat dua gol berbau kontroversial. Tapi sukses mencetak gol di kandang lawan menjadi modal penting, sehingga para pemain Gelora Dewata bisa pilang dengan kepala tegak.

Saat giliran jadi tuan rumah, Gelora Dewata tampil sangat percaya diri. Sebab, cukup menang 1-0 saja, tiket ke putaran selanjutnya sudah ditangan. Rasa optimistis makin tinggi, karena tiga tambahan legiun asing dari Afrika yakni; Alfonso Abel Campos (gelandang), Vata Matanu Garcia (striker) dan Mbog Nyetam Jeremy makin menambah kekuatan tim yang dibesut Sutrisno dan Suharno (keduanya sudah almarhum). Penonton yang maroritas fans tuan rumah membludak, sebanyak 16 ribu penonton menjejali Stadion Ngurah Rai Denpasar, padahal kapasitasnya hanya 12 ribu penonton. Duel pun berjalan sengit, tetapi Gelora Dewata mendominasi pertandingan. Apalagi tarian Campos sangat menghibur, beberapa kali mantan kapten Timnas Angola itu memperdaya pertahanan lawan.

Alhasil Gelora Dewata yang butuh kemenangan 1-0 saja, malah bisa menuntaskan laga dengan skor 2-0 dan satu gol lewat aksi brilian Campos, Gelora Dewata pun lolos dan bersiap menantang wakil Thailand, Bankok Bank. Sayang beberapa hari menjelang bertarung ke markas Bankok Bank, berita duka datang dari federasi sepakbola Asia (AFC). Raihan apik Gelora Dewata ternoda karena terbukti belum resmi mendaftarkan legiun asing mereka (Campos, Vata dan Jeremy). Tim kebanggaan masyarakat Bali itu pun akhirnya harus rela terdiskualifikasi dari helatan Winners Cup tahun itu. Tragedi itu kini masih jadi kenangan pahit para legenda Gelora Dewata terutama pemain lokal seperti Kadek Swartama, Wayan Kana, Ida Bagus Mahayasa, Sudarma dan Wayan Sukadana. Barangkali tragedi Gelora Dewata merupakan salah satu contoh pelanggaran terkait status pemain. Meski hanya satu, dua tiga pemain bermasalah, tetapi secara tim akhirnya menanggung akibatnya. Jika berbicara lebih jauh, tahun 2006 gelar juara Juventus juga dicabut bahkan tim berjuluk si Nyonya Tua didegradasi ke Seri B, hanya gara-gara  terbukti dalam kasus pengaturan skor yang dikenal dengan calciopoli.

Sejumlah kasus-kasus tersebut, tentu harus jadi pelajaran bagi klub-klub yang aktif berkompetisi, baik kompetisi lokal, maupun level nasional bahkan internasional. Apalagi PSSI Pusat dibawah komando Edy Rahmayadi mulai menerapkan regulasi jelas dan tegas yang kecil kemungkinan bisa ditolerasi. Dalam suatu kesempatan, Edy Rahmayadi kepada sejumlah wartawan lokal di Bali menegaskan, tekadnya untuk membangun iklim persepakbolaan Indonesia yang lebih transparan untuk menuju prestasi yang diharapkan 250 juta penduduk Indonesia. Selain regulasi yang ketat, salah satu yang dilakukan Edy Rahmayadi adalah mendatangkan wasit asing, karena wasit-wasit nasional banyak bermasalah, puluhan sudah diistirahatkan bahkan dipecat. Tentunya, apa yang dilakukan PSSI Pusat harus didukung daerah-daerah, dalam hal ini Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Bali maupun tingkatan dibawahnya seperti PSSI di Kabupaten maupun Kota (Askab/Askot).

Seperti Liga 3 Wilayah Bali yang menjadi  gawe besar PSSI Bali. Sampai even itu berakhir, banyak wasit yang jadi sorotan klub-klub peserta, tetapi tak satu pun mendapat hukuman yang layak. Pun soal regulasi, kini muncul protes Perseden Denpasar yang mempertanyakan status pemain Persekaba Bali, Noldy Saputra. Ini tentu jadi ujian bagi Ketut Suardana yang baru sekitar 6 bulan selaku nahkoda baru PSSI Bali, dalam mengambil keputusan tegas. Pastinya, regulasi sudah ada dan sekarang hanya dibutuhkan ketegasan seorang pemimpin mengambil keputusan. Jika tidak, kejadian-kejadian serupa akan sangat berpotensi terulang kembali pada kompetisi berikutnya. (ibg)