Lomba “Ngelawar” Karya Agung di Desa Adat Kerobokan Badung, Banjar Padang Sumbu Kaja Juara

(Baliekbis.com), Banjar Padang Sumbu Kaja akhirnya tampil sebagai juara 1 dalam lomba “Ngelawar” yang digelar Desa Adat Kerobokan, Minggu (28/7/2019) di GOR Purna Krida.

Sedangkan juara 2 Banjar Pengubengan Kangin dan Banjar Padang Sumbu Tengah sebagai juara 3. Untuk juara Favorit 1-3 yakni Banjar Umalas Kauh, Banjar Muding Kelod dan Banjar Taman.

Lomba ngelawar yang digelar dalam dua tahap masing-masing diikuti 25 banjar ini dilaksanakan serangkaian Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Ngusaba Desa, Ngusaba Nini, Tawur Balik Sumpah Utama, Pedudusan Agung lan Segara Kerthi di Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kerobokan Badung.

Lomba Ngelawar pada Minggu (28/7/2019) merupakan tahap kedua yang diikuti 25 banjar. Sedangkan lomba tahap 1 yang juga diikuti 25 banjar digelar Sabtu (20/7/2019). Lomba dilaksanakan dua kali karena animo pesertanya sangat banyak yakni 50 banjar.

Untuk juri lomba, Panitia Karya mendatangkan dari perwakilan ICA (Indonesian Chef Association) BPC Badung yakni Chef Ketut Artist, Chef Gede Baihakie, Chef Wayan Karmana, Chef Ketut Suaryana dan Chef Putu Raka Waisnawa. Turut hadir di sela-sela lomba Camat Kuta Utara A.A.N. Arimbawa serta perbekel setempat. Adapun olahan yang dibuat berupa lawar, sate serta menu pendukung lainnya.

Pemucuk Karya Agung Drs. A.A.  Ngurah Gede Sujaya, M.Pd. didampingi Jero Bendesa Desa Adat Kerobokan A.A. Putu Sutarja,S.H. dan salah seorang panitia Dr. Wayan Swandi mengatakan kegiatan ngelawar ini selain penting untuk melengkapi sarana upacara juga melestarikan kuliner tradisional yang ada agar tak tergerus oleh zaman. “Karena itu dalam lomba ngelawar ini sengaja dilibatkan generasi muda agar warisan kuliner ini bisa berkesinambungan. Apalagi sampai saat ini belum ada pengganti lawar untuk sarana upacara,” ujar A.A. Sujaya.

Dalam lawar tambah Bendesa Desa Adat Kerobokan A.A. Putu Sutarja,S.H. semua bahan dicampur merata dan menyatu yang kemudian menghasilkan rasa enak. “Jadi kita ingin tumbuhkan rasa kebersamaan melalui tradisi ngelawar ini,” ujarnya.

Rangkaian Karya Agung di Pura Puseh dan Pura Desa Adat Kerobokan ini telah dimulai sejak Buda Kliwon Gumbreg, 19 Juni lalu dengan “matur piuning dan pewintenan panitia karya”. Serangkaian upacara telah dilaksanakan di antaranya pada Saniscara Wage Julungwangi (13/7)  “Pemelaspas dan Mendem Pedagingan”. Dalam upacara ini hadir Bupati Badung Nyoman Giri Prasta, Anggota DPR RI A.A.B. Adhi Mahendra Putra serta seluruh krama Desa Adat Kerobokan.

Selanjutnya pada Anggara (16/7) dilaksanakan Nuwur Pekuluh, Buda (17/7) Ngiyas Ida Bhatara dan pada Wraspati (18/7) Melasti ke Petitenget. Pada Redite (21/7) Tawur, Saniscara (27/7) Mepepada Karya, Redite (28/7) Melaspas Upakara dan Soma Kliwon Kuningan (29/7) merupakan Puncak Karya. Sedangkan Nyineb dilaksanakan pada Anggara Pon Langkir (6/8).

Manggala Karya Drs. A.A. Ngurah Gde Sujaya,M.Pd. menjelaskan karya agung ini digelar menyusul telah selesainya pembangunan di Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kerobokan Kuta Utara Badung. Dalam upacara yang akan berakhir pada 9 Agustus nanti yakni Nyegara Gunung dan Bulan Pitung Dina Karya, seluruh rangkaian upacara dipuput 16 sulinggih siwa, buda dan bujangga.

Sujaya menambahkan upacara ini dilaksanakan sebagai wujud rasa Stiti Bhakti dan Angayubagia (Puji syukur dan bhakti) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) atas Penciptaan Alam Semesta ini dan atas segala anugrah yang telah dilimpahkan kepada umat manusia dalam kehidupan ini.

Selain itu, upacara untuk menyucikan seluruh bangunan (pelinggih) pada tempat suci atau Pura dan lingkungan Pura yang terdiri dari Tri Mandala yakni Utama Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala, dimana sebelumnya bahan bangunannya terdiri dari unsur yang belum suci, termasuk sentuhan para tukang (undagi) yang perlu disucikan. Mengingat fungsinya sebagai tempat suci yaitu tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam berbagai wujud kebesaran dan saktiNya, sebagai tempat bagi umat sedharma untuk memuja kebesaran-Nya dan menghaturkan sembah bhakti (sembahyang dan berdoa).

“Juga untuk membangun kesadaran kolektif bagi umat sedharma untuk selalu eling (ingat) akan tugas, kewajiban kehadapan Sang Pencipta Alam Semesta dengan segala isinya, termasuk membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa Ida Sang Hyang Pencipta, hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam lingkungan, yang terbalut dalam ”Tri Hita Karana”, yaitu Parhyangan/tempat suci, Pawongan dan Palemahan,” jelasnya.

Pelaksanaan karya upacara ini untuk mengingatkan kembali akan tanggung jawab hidup bagi umat sedharma bahwa Buana Agung (makrokosmos) yang telah tercipta ini, merupakan satu-satunya tempat kehidupan untuk hidupnya umat manusia dan makhluk hidup lainnya.

“Hal ini memberikan pesan agar jagat raya (alam semesta) yang terdiri dari unsur Panca Maha Bhuta yaitu Pertiwi, bumi (unsur padat), Apah (unsur cair), Teja (unsur panas), Bayu (unsur udara/angin) dan (5) Akasa/Ether (unsur kosong) untuk tetap dipelihara, dilestarikan dan tidak dirusak baik secara langsung maupun tidak langsung,” tambah Bendesa Adat Kerobokan A.A. Putu Sutarja,S.H. seraya mengatakan seluruh kegiatan pembangunan dan upacara menelan anggaran sekitar Rp6 miliar.

Sejalan dengan maksud dan tujuan upacara tersebut maka tema yang diangkat adalah “Gunaning Sarira Thirta Buana” yang artinya umat manusia sebagai yang disebutkan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki derajat tertinggi dari makhluk hidup lainnya. Karena memiliki tiga kekuatan/potensi (premana) yaitu Bayu, Sabda, Idep yang berfungsi dan berguna untuk menjaga dan memelihara kesucian, keutuhan Bhuana Agung dan Bhuana Alit dengan segala isinya (pertiwi/bumi, air/tirtha, teja/panas, bayu/udara/angin, akasa/ether, demi keberlangsungan kehidupan semua makhluk hidup dalam hidup ini secara aman, damai, harmoni, sejahtera lahir & bathin (sekala dan niskala). (bas)