Lima Seniman Gelar Karya dalam Pameran “Argya Citra” di Gourmet Garage

(Baliekbis.com), Lima seniman menggelar 29 karya dalam pameran seni rupa bertajuk “Argya Citra” mulai 2 Juli hingga 8 Agustus 2021 di Lantai 3 Gourmet Garage, Jl. Bypass Ngurah Rai Jimbaran.

Pameran ini selain untuk apresiasi karya juga sebentuk penghormatan dan mengenang seniman senior yang telah almarhum, Trisno Santoso (1930-2008). Sebanyak 13 karya Santoso ikut dipamerkan bersama karya empat seniman yakni Djadja Tjandra Kirana (77), IB Putra Adnyana (63), Handy Saputra (57), dan Tjandra Hutama (40).

Menurut Tjandra Kirana yang juga sahabat Trisno Santoso, pameran ini juga memaknai arti persahabatan dan persaudaraan yan diharapkan menggugah semangat kebersamaan bagi siapa saja. Ia bersama ketiga perupa lintas generasi sepakat memberikan penghormatan (argya) kepada karya rupa (citra) sesama seniman.

“Kami salut atas keteguhan Santoso meniti karir hingga akhir usia. Pilihannya menjadi seniman telah menapakkan jejak dan kini dikenang handai taulan, termasuk saya dan seniman yang ikut pameran ini,” kata Tjandra, di sela-sela pembukaan pameran, Jumat (2/7/2021) malam.

Pemilik Gourmet Garage Henny Santoso yang merupakan putri sulung almarhum Trisno Santoso mengatakan ingin mengenang ayahnya melalui sejumlah karya melalui pameran dengan harapan spirit kekaryaan itu menjadi motivasi positif dan inspirasi.

Henny menjelaskan meskipun tidak mewarisi bakat seni ayahnya, dia mendapat tempaan hidup dari orangtuanya itu. Sebagai seniman hingga akhir hayat, ayahnya menanamkan kepada anak-anaknya tentang hal mendasar yang bermanfaat sebagai bekal menjalani kehidupan seperti kejujuran, disiplin, tangggung jawab, dan kerja keras.

“Saya bersama kedua adik juga berterima kasih kepada empat seniman yang ikut memberikan apresiasi kepada perjalanan Papie Santoso, semoga pameran ini mengawali cita-cita kami untuk mendokumentasikan karya beliau dalam sebuah buku dokumentasi dan pameran tunggal pada tahun depan,” katanya.

Trisno Santoso lahir di Cirebon, Jawa Barat, 2 Juli 1930, dengan nama Tionghoa: Thio Siaw Tjin. Pada 1957 ia pertama kali menjejakkan kaki di Bali dan langsung jatuh hati terhadap alam, budaya, dan masyarakat Bali. Ia pun memutuskan tinggal di Bali hingga 1965, kemudian melanjutkan karir sebagai pelukis ke Bandung. Kemudian, sejak 1987 dia kembali menetap di Bali hingga meninggal pada 6 Oktober 2008.

Semasa remaja di Cirebon, Santoso menjadi asisten ayahnya, Thio Ho Tek, seorang seniman kaligrafi dan pelukis gaya chinese painting. Santoso pun belajar melukis secara otodidak dari ayahnya dan mendapat pengalaman dari melihat sahabat ayahnya berkarya, di antaranya seniman terkenal, Lee Man-fong.

Santoso juga mengasah keterampilan membuat sketsa, drawing, dan melukis dengan banyak berkarya on the spot ke berbagai daerah dengan objek yang paling ia suka: alam dan kehidupan masyarakat.

Karya Santoso menawarkan ragam visual yang sangat disukai publik karena memuaskan pandangan dan perasaan. Ia mengusung gaya impresionis dan terkahir banyak menggunakan media cat minyak di kanvas. Karyanya banyak disukai kolektor, di antaranya mantan Wapres Adam Malik.

Pada 1980-2000-an Santoso bersama sahabatnya Tjandra Kirana kerap menemani pelukis terkenal Singapura Lim Tze Peng (kini berusia 103 tahun) berkarya langsung di berbagai lokasi di Bali. ‘Tiga serangkai’ yang sama-sama mengagumi Bali ini setidaknya tiga hingga empat kali dalam setahun melukis bersama saat Lim Tze Peng berkunjung ke rumah Santoso di Ubud.

Empat karya Tjandra Kirana yang dibuat di kawasan Danau Batur, Kintamani bersama Santoso dan Lim Tze Peng pada 2000 dihadirkan dalam pameran ini. Bongkahan batu lahar dengan latar warna oranye yang merupakan polarisasi cahaya matahari divisualisasikan Tjandra di atas chinese paper. Empat karya ini merekam estetika monumen alam dengan sapuan tinta cina yang menegaskan kekokohan sekaligus keanggunan jejak geologi di kawasan Kaldera Batur.

Sementara itu, fotografer IB Putra Adnyana atau akrab disapa Gustra memamerkan empat karya yang ia sebut post-photography. Seni visual berbasis foto ini diolah Gustra secara digital dan dicetak di atas kanvas sebagai ‘artprint’. Gustra mengenal Santoso secara emosional melalui karya dan antusias mengikuti pameran ini.

Handy Saputra juga mengenal Santoso dari karya-karya almarhum yang dikoleksi Henny. Handy mengikutkan empat karya berbahan tinta dan warna cina di atas rice paper. Pengusaha yang memulai debut kesenimanan sekitar tiga tahun silam ini terus mengasah keliaran menggoreskan kuas yang melahirkan aneka figur rekaan dalam karyanya.

Sedangkan fotografer Tjandra Hutama yang mengaku respek terhadap Santoso yang melahirkan banyak karya dengan objek alam, juga menyertakan empat karya berbasis foto. Tjandra menampilkan panorama alam dan filofosi kehidupan yang saling menghargai dan menjaga keharmonisan seperti tertuang dalam sastra pewayangan Mahabarata dan Ramayana. Tjandra menggabungkan lapis-lapis citraan itu dengan teknologi olah foto yang kian canggih.

Pameran “Argya Citra” memang bukan sekadar apresiasi seni, tetapi juga merayakan ikatan batin seniman antargenerasi yang saling memberikan penghargaan atas semangat zaman yang mendorong mereka meniti karir masing-masing.

Dalam konteks masa pandemi —yang entah kapan bakal berakhir— spirit kebersamaan, persaudaraan, dan gotong royong semacam itu sangatlah perlu dikembangkan dan diperluas jangkauannya hingga ke berbagai ceruk kehidupan. (ist)