Kinerja Wartawan Mesti Terukur dan Profesional

(Baliekbis.com), Dilaksanakannya peningkatan kompetensi bagi wartawan yang tergabung dalam PWI dimaksudkan agar wartawan tidak lagi berada dalam kotak amatir. Jadi lebih profesional, serta memiliki kompetensi yang terukur.

“Dalam program ini ditekankan wartawan itu adalah orang-orang yang menjadi bagian dari media dengan orientasi pada kepentingan publik,” ujar Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat Marah Sakti Siregar, Jumat (3/11) pada acara Peningkatan Kompetensi Wartawan yang berlangsung dari tanggal 3 s.d 9 November 2017. Diharapkan adanya peningkatan kompetensi ini wartawan dimaksud orang yang bekerja di bidangnya bukan hanya asal ikut ikutan saja atau asal menyampaikan informasi kepada public. Tapi menyampaikan informasi kepada publik melalui proses yang diatur oleh Ilmu Jurnalisme. “Informasi itu harus jelas, ingat 5 W + 1 H yang dalam penyampaiannya harus berpatokan pada Kode Etik Jurnalistik,” tukasnya sembari mengatakan orang yang tidak mengikuti kaidah-kaidah itu bisa dikatakan bukanlah seorang wartawan, namun abal abal. “Wartawan itu orang profesional,” tandasnya.

Peserta Peningkatan Kompetensi Wartawan.

Menurutnya ada banyak macam kategori wartawan. Ada yang sekadar pelapor berita atau yang dikenal sebagai Citizen Journalism (jurnalistik masyarakat), ada wartawan abal abal, dan ada wartawan amatir. “Yang amatir ini terkadang ikut kode etik jurnalistik, terkadang tidak,” sebutnya. Melalui Standar Kompetensi Nasional, Dewan Pers ingin mengajak semua wartawan yang mau disebut wartawan profesional untuk ikut dalam kompetensi yang kemudian mereka akan mendapat sertifikat bila memenuhi syarat. “PWI hingga kini telah meloloskan 8 ribu wartawan profesional dari sekitar 20 ribu wartawan anggota PWI,” kata Marwah sembari berharap peningkatan kompetensi ini berjalan terus hingga 35 provinsi cabang PWI yang ada. Bahkan dalam kesempatan ini ia juga mengungkapkan laporan terkait pelanggaran kode etik wartawan ke Dewan Pers terus meningkat dari tahun 2001 hingga 2011 mencapai dua ribuan. Sedangkan dari 2011 hingga 2017 jumlahnya meningkat dua kali lipat menjadi empat ribuan.

“Setelah diperiksa 80 sampai 90 persen itu adalah pelanggaran kode etik jurnalistik, di antaranya penyebaran berita hoax dan ini jadi tantangan kita ke depannya,” imbuhnya. Dengan digelarnya ajang peningkatan kompetensi bisa dikatakan untuk mengingatkan masyarakat dan para wartawan agar tidak terpeleset yang berujung pada pelanggaran tadi. “Yang mengurus laporan atau pengaduan serta mengambil langkah-langkah itu ada di Dewan Kehormatan dan yang memverifikasi Dewan Pers,” kata Marah. Peningkatan Kompetensi Wartawan  yang dilaksanakan di Gedung Diklat Provinsi Bali ini juga dihadiri Direktur Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI) Ahmed Kurnia Soeriawidjaja, Asisten I Bidang Ketataprajaan dan Sumber Daya Manusia Provinsi Bali  Dewa Putu Eka Wijaya Wardana, pengurus PWI Provinsi Bali serta 75 peserta diklat dari media cetak, televisi, radio, dan online di Bali. (abt)