Khawatir Semakin Menghantam Usaha, Pelaku IHT Kompak Tolak Kenaikan Cukai

(Baliekbis.com), Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (GAPERO) Jawa Timur Sulami Bahar mengatakan pelaku industri hasil tembakau (IHT) amat terpukul karena pandemi COVID-19. “Sejak pandemi dan kenaikan eksesif tarif sebesar 23 persen IHT mengalami penurunan. Kami sudah sampaikan surat resmi GAPERO ke Gubernur Jawa Timur terhadap kondisi IHT,” kata Sulami ketika dikonfirmasi, kemarin.

Dalam surat resmi GAPERO Surabaya tersebut, ada dua tuntutan yang diajukan oleh para produsen rokok tersebut. Pertama, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai untuk tahun 2022 mendatang. Kedua, GAPERO mengusulkan untuk tahun fiskal 2023 dan seterusnya, pemerintah menerapkan formula kenaikan tarif cukai IHT berbasis angka inflasi atau angka pertumbuhan ekonomi, atau keduanya. Kedua hal tersebut dinilai GAPERO memiliki fungsi vital untuk menjaga kelangsungan IHT.

Gabungan Perusahaan Rokok (GAPERO) Surabaya sendiri merupakan asosiasi pabrik rokok, yang menjadi bagian dari perkumpulan nasional Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI). Di Jawa Timur, GAPPRI menaungi sedikitnya 90.000 orang pekerja yang tersebar di berbagai kabupaten/kota.

Sulami mengatakan sepanjang tahun 2020 IHT mengalami penurunan sebesar 10 persen akibat Pandemi Covid-19. Besarnya kenaikan tarif cukai yang mencapai 23 persen tersebut juga meningkatkan Harga Jual Eceran (HJE) yang naik rata-rata 35 persen di tahun yang sama. “Tahun 2021 ini kami perkirakan IHT akan kembali turun 5-10 persen, karena wabah COVID-19 masih berlangsung dan diperparah dengan kenaikan tarif cukai rata-rata 12,5 persen,” katanya.

Hal ini menunjukkan bahwa saat ini IHT sedang berada dalam tekanan, akibat kebijakan kenaikan tarif cukai yang terus mengalami peningkatan setiap tahun. Sedangkan daya beli masyarakat melemah akibat pandemi COVID-19. Apabila situasi ini terus berlangsung, GAPERO khawatir dampak turunannya akan bergulir hingga ke petani. Mulai dari penurunan harga, tidak terserapnya hasil panen tembakau, hingga terancamnya para pekerja sektor IHT terkena rasionalisasi dan efisiensi, sebagai respon alamiah pelaku industri atas terus tertekannya sektor ini.

Surat resmi GAPERO terkait penolakan adanya kenaikan tarif cukai untuk tahun depan ini merupakan aksi lanjutan dari para pelaku IHT. Sebelumnya, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) juga mengirimkan surat resmi ke Presiden Joko Widodo pada 12 Agustus lalu. “Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang sangat tinggi di tahun 2020 dengan rata-rata kenaikan 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) 35 persen. Artinya, 68 persen dari setiap penjualan rokok legal diberikan kepada pemerintah sebagai cukai dan pajak,” kata Ketua GAPPRI Henry Najoan.

Kekhawatiran para produsen IHT terhadap kenaikan tarif cukai tahun depan ini cukup masuk akal. Sebab, dalam penyampaian Nota Keuangan 2022 yang diselenggarakan pada peringatan hari Kemerdekaan RI yang lalu, Presiden Joko Widodo memberi sinyal akan ada kenaikan tarif cukai hasil tembakau tahun depan. Hal tersebut terlihat dari target penerimaan cukai pada RAPBN 2022 yang dipatok Rp 203,92 triliun. Angka tersebut naik 11,9 persen dibandingkan target pada APBN 2021.

Ketua Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (AKRINDO) Sriyadi mengkonfirmasi tekanan berat yang menimpa produsen juga dirasakan oleh para penjual. Sepanjang tahun 2020, AKRINDO mencatat rata-rata pedagang dan ritel mengalami penurunan omzet hingga 50 persen. “Kalau tahun depan naik, omzet tentu akan turun lagi,” kata Sriyadi.

Saat Konferensi Pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan tarif cukai rokok tahun depan mempertimbangkan empat hal, yakni, aspek kesehatan, tenaga buruh yang bekerja langsung di industri rokok termasuk petani tembakau, dan dari sisi penerimaan negara serta peredaran rokok ilegal.

Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan tidak membantah jika kenaikan tarif cukai yang eksesif tahun ini dapat berdampak pada peningkatan rokok ilegal. Data Ditjen Bea Cukai menyatakan sepanjang tahun ini secara total sudah melakukan tindakan terhadap barang ilegal sebanyak 14.308 ribu kasus, yang sebanyak 41,20 persen atau 5.894 kasus di antaranya berasal dari rokok ilegal, dengan jumlah  kerugian negara yang mencapai Rp 12 triliun yang 41,20 persen. Realisasi tersebut tumbuh pesat dibandingkan tahun 2020 yang lalu. Tingkat rokok ilegal terhadap total produksi rokok legal pun terus berada dalam tren naik dari sebesar 3,03 persen pada tahun 2019 menjadi 4,86 persen pada tahun 2020.

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengatakan sudah banyak menerima permohonan untuk tidak menaikkan tarif cukai tahun depan. Tapi dia mengatakan keputusan tersebut masih akan terus dibahas dan dirumuskan secara mendalam. Dia mengatakan pihaknya akan terus melakukan komunikasi mendalam dengan para pelaku IHT terkait tarif cukai. “Keputusan naik tidaknya masih panjang prosesnya. Masih harus berproses di Banggar (Badan Anggaran) DPR dulu. Di sana bisa naik atau turun targetnya,” kata Nirwala.

Anggota Komisi VI dan Banggar Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Marwan Jafar menolak adanya wacana kenaikan tarif cukai tahun depan. Menurutnya sekarang bukan momen yang tepat untuk melaksanakan wacana tersebut. Sebab meski pertumbuhan ekonomi pada kuartal II tumbuh 7 persen, tapi kondisi pandemi juga sempat memburuk dan belum membaik hingga saat ini. “Lebih baik menunda hingga kondisi ekonomi secara keseluruhan membaik. Ada banyak sekali tenaga kerja yang terlibat dalam IHT. Itu yang perlu pemerintah lindungi terlebih dahulu di saat susah seperti ini,” kata Marwan.  (ist)