Ketua YLPK Bali: Memprihatinkan, Banyak Korban Fintech di Bali

(Baliekbis.com),Dalam beberapa minggu ini banyak warga di Bali mengadukan masalah pinjaman online atau financial teknologi (Fintech) ke Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali.

“Para konsumen yang menjadi korban itu sudah menyerahkan data terkait masalah yang dihadapi kepada kami dan segera akan kami tindaklanjuti,” ujar I Putu Armaya. SH, Direktur YLPK Bali I Putu Armaya,S.H., Selasa (19/2) di Denpasar.

Dikatakan yang mengadu memang baru 9 orang tapi yang sudah menghubungi dan berkonsultasi sangat banyak, mencapai ratusan orang. Menurut Armaya, sebenarnya munculnya fintech antara lain melayani peminjaman uang merupakan fenomena tak terhindarkan lantaran memberi angin segar bagi masyarakat. Terutama terkait dengan sisi efisiensi dan efektivitas.

Namun, ada sisi negatifnya. “Ada risiko besar mengintai para konsumen dan kami minta warga waspada terhadap tawaran seperti ini,” jelas pengacara ini. Sebab jika terlambat mencicil atau macet maka penagih pinjaman akan meneror dan menyebar data pribadi konsumen ke media sosial. Seperti yang dialami salah satu konsumen yang mengadu ke YLPK Bali. “YS mengaku diteror, datanya dikirim ke teman-temannya, dan merasa dipermalukan. Meski nomor penagih utang tersebut sudah diblok tapi masih meneror dengan nomor lain,” jelas Armaya mengutip pengaduan kliennya.

Begitu juga dengan konsumen lainnya yang juga melaporkan bahwa foto dirinya yang lagi menyusui anaknya disadap dan disebarkan ke medsos. Menurut Armaya tindakan yang dilakukan para penagih utang Fintech ini sudah sangat keterlaluan, menyadap data pribadi konsumen lalu menyebarkan ke medsos. Konsumen lainnya mengeluhkan sistem bunga yang tinggi. Dari data pengaduan yang diterimanya sebagian besar konsumen mengajukan pinjaman tak lebih dari Rp 2 juta. Namun, bunga yang harus dibayar berlipat.

Menurut Armaya, keberadaan OJK selaku lembaga pengatur dan pengawas kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan serta non perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya termasuk fintech sebatas yang terdaftar saja. Sedangkan fintech yang tidak terdaftar justru banyak yang melakukan pelanggaran secara masif. Bentuk pelanggaran hukum fintech nakal ini adalah di pasal 4 Undang Undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, konsumen berhak mendapatkan informasi yang baik benar dan jujur.

Begitu juga dapat dijerat dalam UU No.11 Tahun 2008 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menyatakan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan transmisi dan memindahkan informasi elektronik milik orang lain akan dipidana dengan penjara paling lama 8 tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 miliar.

Ke depan, Armaya berharap pemerintah melalui OJK agar segera membuat regulasi yang kuat masalah Fintech ini sekaligus memberikan sanksi berat, kepada fintech nakal. “Bukan saja memblokir tapi menyeret ke ranah hukum bagi pelaku usaha nakal Fintech yang banyak merugikan konsumen,” ujar Armaya sengit.

Fintech lending ilegal yang tidak terdaftar di OJK berdasarkan daftar temuan Satgas Waspada Investasi (SWI) mulai dari Juli 2018, September 2018 dan Februari 2019 totalnya 635 entitas. Ini sudah ditindaklanjuti dengan meminta Kemkominfo untuk menutup aplikasi, website ataupun sosial media yang digunakan.
OJK mengimbau agar masyarakat menggunakan Fintech Lending yang terdaftar dan berizin OJK yang sampai Februari 2019 sudah mencapai 99 perusahaan. (bas)