Ketua YLKI: Perubahan Struktur Tarif  Harus Untungkan Konsumen

(Baliekbis.com), Belum tuntas prihal wacana penyederhanaan tarif listrik, Menteri ESDM kembali menelorkan wacana akan mengubah struktur tarif listrik, dengan memasukkan HBA (Harga Batubara Acuan) untuk menggantikan acuan komponen minyak. Alasannya, struktur tarif listrik sekarang lebih dominan dipengaruhi oleh harga batu bara. Sedangkan kontribusi pembangkit minyak semakin kecil, yakni hanya 6 (enam) persen.

Menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi di Denpasar, Kamis (2/2), menyikapi wacana Menteri ESDM yang akan mengubah struktur tarif listrik, pihaknya mempertanyakan apakah hal yang rasional jika memasukkan HBA ke dalam struktur tariff. Tentu saja itu hal yang rasional, mengingat komponen pembangkit batu bara yang mencapai lebih dari 60 persen. Namun masalahnya, apa tujuan utama dengan hal itu? “Jika perubahan struktur tarif itu tidak berimplikasi terhadap turunnya tarif listrik, ya sami mawon alias tidak ada manfaatnya bagi konsumen,” tandasnya. Sebab dengan dominannya pembangkit batubara maka seharusnya struktur tarif listrik lebih ramping, lebih efisien dan akhirnya bisa menurunkan BPP (Biaya Pokok Penyediaan) listrik.

Idealnya dikatakan Tulus,  jika Menteri ESDM ingin memasukkan HBA ke dalam struktur tarif menggantikan komponen ICP (Indonesian Crude Price) minyak, maka harus menggunakan HBA nasional, bukan HBA internasional. Mengingat Indonesia adalah eksportir batu bara terbesar di dunia, jadi tidak adil jika untuk menetapkan tarif listrik menggunakan HBA internasional. Sebaliknya, adalah rasional jika pemerintah menggunakan harga acuan ICP minyak untuk menetapkan tarif listrik, karena Indonesia adalah nett importer minyak.

Bahkan disebutkan pemerintah Indonesia harus berani melakukan moratorium ekspor batubara, atau bahkan menghentikannya. Pasalnya, cadangan batubara Indonesia hanya 2 (dua) persen dari cadangan dunia, tetapi menjadi eksportir terbesar di dunia. Sebaliknya, Cina dan India yang cadangan batubaranya terbesar di dunia, tidak melakukan ekspor batubara. Cina justru mengimpor batubara dari Indonesia, dengan kualitas kalori yang lebih baik.

Sedangkan pembangkit listrik di Indonesia justru dipasok dengan batubara muda, dengan kandungan kalori yang rendah. “Pemerintah Indonesia harus mengutamakan pasokan batubara untuk kebutuhan nasional, bukan untuk kebutuhan internasional (dieskpor),” kata Tulus mengingatkan. Tulus mengingatkan Kementerian ESDM harus mampu mewujudkan pembangkit batubara dengan teknologi yang bisa menghasilkan energi yang ramah lingkungan, sebagaimana pembangkit batubara di Ninghai-Cina, yang mengklaim “near zero emmission”. “Mengingat dampak emisi batubara sangat korosif bagi lingkungan global (perubahan iklim). Penggunaan batubara dalam energi listrik dipastikan harus ramah lingkungan,” pungkasnya. (abt)